Selasa, 09 Februari 2016

Kisah Heroik Orang NTT Merebut Kapal Perang Belanda (Mengenang 83 Tahun Perebutan Kapal Perang Belanda De Seven Provincien )

Mengenang 83 Tahun Perebutan Kapal Perang Belanda De Seven Provincien
Sebanyak 20-an warga Sabu dan keluarga memperingaati tragedi perebutan kapal perang Belanda, De Seven Provincien di TMP Kalibata, Jumat (5/2) khususnya Pahlawan Nasional asal Sabu Provinsi NTT, Marthin M. Paradja. FOTO: Timor Express/JPNN.com
Sebanyak 20-an warga Sabu dan keluarga memperingaati tragedi perebutan kapal perang Belanda, De Seven Provincien di TMP Kalibata, Jumat (5/2) khususnya Pahlawan Nasional asal Sabu Provinsi NTT, Marthin M. Paradja. FOTO: Timor Express/JPNN.com





Tanggal 4 Februari adalah tanggal terjadinya tragedi perebutan kapal perang Belanda, De Seven Provincien. Pemimpin pasukannya Marthin M. Paradja, pria asal Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Untuk memperingati peristiwa itu, puluhan warga asal Sabu di Jakarta, nyekar dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, tempat Paradja dimakamkan.

Kebanyakan masyarakat Provinsi NTT tidak begitu mengenal pahlawan nasional, salah satunya Martijn M. Paradja. Walau tidak dikenal, negara tetap mengakui perjuangannya, dalam melawan penjajah Belanda, dan hingga tewas bersama 20 rekan lainnya di Laut Jawa. Siapa gerangan Martijn M. Paradja?
Perjuangan memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda, menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tak terhitung nilainya. Patriotisme dan keinginan bebas dari penjajah menjadi modal bersama menentang kolonialisme Belanda. Walau dengan kemampuan dan peralatan seadanya, pahlawan Indonesia, mampu memerdekan negara Indonesia tercinta pada 17 Agustus 1945 silam.
Dalam perjuangan itu, seluruh rakyat Indonesia, termasuk NTT yang merasa senasib dan sepenanggungan, angkat senjata demi membebaskan negara ini. Salah satu pejuang dan pahlawan nasional yang turut ambil bagian yakni Martijn Marseha Paradja.
Pejuang asal Sabu Raijua itu, tercatat dalam sejarah bangsa yang lebih dikenal sebagai pejuang Kapal Tudjuh (De Seven Provincien). Untuk mengenang dan menapaktilasi perjuangan seorang Martijn Paradja, Kamis (4/2) Keluarga Besar Sabu diaspora Jakarta, dipimpin Imanuel Gunung Toebe dan Peter A. Rohi serta sejumlah keluarga terkait lainnya, nyekar dan menabur bunga di pusara 21 pahlawan Kapal Tudjuh, termasuk Martijn Paradja.
Pantauan media ini, kedatangan keluarga Sabu, NTT, diawali dengan penghormatan terhadap seluruh Pahlawan Nasional yang berada di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan. Usai penghormatan terhadap 9.071 pahlawan, dilanjutkan dengan nyekar di makam Martijn Paradja dan rekan-rekanya.




Sebanyak 20-an warga Sabu dan keluarga Kawilarang, mengawali dengan doa, dan dilanjutkan dengan penuturan sejumlah catatan sejarah pahlawan nasional itu dan diakhiri dengan tabur bunga.
Wartawan Senior dan pemerhati Sejarah asal  NTT, Peter A. Rohi dalam penuturannya mengatakan, pidato Bung Karno di Surabaya, pasca keluar dari Penjara Sukamiskin tahun 1932, membakar jiwa nasionalis pemuda-pemuda pribumi yang menjadi anggota Marine Belanda.
Kebangkitan nasionalisme para marine pribumi, mendapatkan momentum ketika beberapa bulan kemudian, setelah Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan penurunan gaji para pelaut.
Demontrasi dilakukan di Surabaya untuk memprotes rencana pemerintah Belanda itu. Larangan demonstrasi dilanggar dan tak dapat dihentikan. Emblem Merah Putih bergambar Soekarno dan yel yel revolusi dikumandangkan.
Pada 3 Februari 1933, katanya, seorang Marine, Julian Henderik (Ludji He) memimpin teman-teman di sebuah gedung bioskop di Ulehle, Kotaradja (Banda Aceh), dengan izin melakukan halal bihalal, usai Idul Fitri 29 Januari. Tapi pada acara itu, mereka membahas taktik perebutan kapal.
Dalam rapat kedua yang lebih rahasia, yang dihadiri suku-suku seperti Madura, Bugis Makassar, Pelembang, Padang, Ambon dan Sunda Kecil.
Jermias Kawilarang diminta mengomandani kapal perang itu, sementara pemimpin pergerakan diserahkan kepada Martijn M. Paradja.




Credit JPNN


Kisah Heroik Orang NTT Merebut Kapal Perang Belanda



Pada 4 Februari 1934, ketika Komandan Eikenboom dan perwira Belanda sedang berpesta dansa di darat, mereka mulai bergerak sesuai tugas yang ditunjuk. Para pelaut dibawa pimpinan Martijn Paradja melucuti senjata dan Martijn Paradja kemudian membongkar gudang senjata dan menyiapkan peluru meriam. Pasukan lain, menghidupkan mesin kapal dan akhirnya kapal berhasil dibawa meninggalkan pelabuhan.




Tabur Bunga di Pusara Makam Pahlawan Nasional asal NTT di TMP Kalibata, Martijn Paradja. FOTO: Timor Express/JPNN.com


Komanda Eikenboom tidak percaya akan hal itu, karena para pahlawan tidak tahu menakhodai kapal. Namun, sadar kapal perang telah dibawa Martijn Paradja dan Kawilarang. Gubernur General Hindia Belanda, De Jonge yang mendapat laporan, memerintakan Eikenboom menggunakan kapal Aldibaren mengejar Kapal De Seven Provincien yang sudah direbut marine pribumi.
Sejumlah Kapal seperti De Java dan Soemba juga dikerahkan mengejar dan mengepung kapal De Seven Provincien. Seruan menyerah mereka abaikan.
“Jangan mendekat. Kami akan berlayar ke Surabaya untuk membebaskan teman-teman yang sudah ditahan. Itu tujuan kami. Sampai disana kami akan menyerahkan kembali kapal kepada tuan Eikenboom,” ucap Martijn Paradja ketika itu seperti dilansir Timor Express (Grup JPNN).


Ketika berada di Laut Jawa, sebuah pesawat donier menjatuhkan bom seberat 50 kg, di atas geladak Kapal De Seven Provincien. Martijn Paradja dan 20 marine lainnya tewas. Mereka dimakamkan di satu liang kubur di Pulau Kelor, Gugusan Pulau Seribu. Kejadian itu, dimuat harian  Soeara Oemoem di Surabaya, dan media itu dibredel dan Pemrednya, Tjindarboemi dipenjarakan.
Salah satu Tokoh Sabu Jakarta, Imanuel Gunung Toebe mengatakan, dirinya tidak mengenal Marthin Paradja secara langsung. Namun dirinya mengenal keluarga Pahlawan Nasional itu.
Ayahnya Paradja merupakan seorang guru di Sabu. Berdasarkan sejumlah cerita, Martijn Paradja bersekolah pada sekolah pelayaran di Makassar, dan akhirnya menjadi pelaut. Dalam perjuangan, dia bersama Kolonel Kawilarang melawan Belanda, hingga tewas dibom.
Sementara itu, Yoseph Ully mengutarakan, Pahlawan Nasional, Marthijn Paradja sangat membanggakan orang NTT. Karena dari pulau kecil, kemudian menjadi pahlawan karena melawan penjajah.
Orang NTT, paparnya, bukan warga negara kelas dua, namun warga negara utama, karena orang NTT berkontribusi besar terhadap kemerdekaan. Kedepan, dia berharap Pemerintah Provinsi NTT, menyusun satu buku, terkait pahlawan di NTT. 
“Pahlawan kok tidak ada nama kapal perang. Harusnya salah satu kapal perang diberi nama Kapal Perang Martijn Paradja,” katanya.
Pada bagian yang sama, Harry Kawilarang menuturkan, meneliti pejuang Kapal Tudjuh, antara orang Timor dan Minahasa sangat akrab. Marthen dan Josias Jermias Kawilarang merupakan pejuang yang patut dihormati. Pasca Paradja tewas, Kawilarang divonis penjara 17 tahun, dan meninggal dunia pada 1960.
Sementara itu, menantu Josias Jermias Kawilarang, Soedarno Gino mengatakan, menantunya meninggal pada tahun 1960, di Pusara Bakti, Tanjung Pinang, dengan nomor ke 15. Kawilarang meninggalkan 2 putri.
Kawilarang dan Paradja, kata dia, merupakan pejuang luar biasa. Besar harapan jiwa nasionalis tetap tumbuh dalam sanubari kita.




Credit  JPNN