Panglima
Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I Marsma TNI Fahru Zaini
Isnanto (kiri) berbincang dengan pilot Angkatan Udara Perancis Capitaine
Sebastian Dupont (kanan) usai uji terbang pesawat tempur Rafale di
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (25/3).
Kehadiran dua unit Rafale di Indonesia tersebut untuk memberi alternatif
sumber pengadaan calon pengganti F-5E/F Tiger II di Skuadron Udara 14.
(ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta (CB) - Penerbangan tandem demonstrasi udara Dassault Rafale beromor registrasi 104-IC ke ruang udara (
aerodome) Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, telah selesai. Kokpit tandem pesawat tempur
omnirole itu dibuka dan pilot utama, Kapten Sebastian Dupont, keluar dari kursi lontarnya.
Sesaat
sebelumnya, tandem seater-nya, Marsekal Pertama TNI Fachru Zaini, sudah
berdiri di sisi sayap delta pesawat tempur berkelir kelabu kelam itu.
Benar, mereka baru mendarat dari penerbangan uji coba Dassaut Rafale dari Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, menuju Pelabuhan Ratu, Rabu.
Pilot
kedua dari TNI AU ini dalam kesehariannya adalah panglima Komando Sektor
Pertahanan Udara Nasional I, yang bermarkas di Pangkalan Udara Utama
TNI AU Halim Perdanakusuma.
Selama 45 menit, mereka mencoba berbagai manuver. Mulai dari kecepatan dua Mach (dua kali kecepatan suara), terbang rendah di atas ombak laut, mengikuti kontur tanah, hingga menyimulasikan serangan darat.
Dassault Rafale B yang mereka pakai memang tipe kursi ganda yang populasinya paling banyak dalam Angkatan Udara Prancis (Armee de l’Air), sampai sekitar 60 persen.
Tipe
ini dibuat pabrikan Dassault Aviation untuk pendidikan konversi
penerbang hingga misi tempur sesungguhnya. Pilot utama menerbangkan
pesawat tempur itu, pilot kedua untuk misi lain tambahan yang bisa
berjalan secara simultan.
Menurut Letnan Kolonel Sylvain “Guigui” Guillard, instruktur penerbang Armee de l’Air yang turut dalam misi pengenalan Dassault Rafale ke Jakarta sesudah turut dalam Langkawi International Maritime and Aerospace 2015, Rafale sejak lahir dirancang untuk memenuhi semua keperluan pilot tempur.
“Anda
hanya menyaksikan data dalam satu layar monitor saja, yang di tengah.
Jadi Anda tidak akan disibukkan dengan hal lain selain misi
menghancurkan sasaran atau mengacaukan serbuan lawan,” kata “Guigui”, yang telah mengoleksi 1.500 jam terbang dengan Rafale.
Dassault Aviation merancang C01 Rafale dalam banyak varian, yaitu Rafale A, Rafale B, Rafale C, Rafale D, Rafale M, dan Rafale N untuk menggotong senjata nuklir.
Belakangan, cuma tiga varian yang paling banyak diproduksi, yaitu Rafale B (Biplace - tandem seater), Rafale C (Chasseur - kursi tunggal), dan Rafale M (Marine - ditempatkan di kapal induk untuk Korps Udara Angkatan Laut Prancis/Aeronavale).
Perbedaan paling pokok Rafale M dengan kedua varian lain adalah perangkat roda pendarat yang lebih kekar dan bobotnya yang bertambah 500 kilogram.
Dalam konfigurasi standar, Dassault Rafale dilengkapi sistem avionika (sistem sensor dan kinerja elektronika dalam keseluruhan sistem aviasi) yang dinilai cukup mumpuni.
Tipe-tipe awal dilengkapi Spectra
yang digadang-gadang menciptakan situasi siluman virtual berbasis
peranti lunak. Belakangan dipertinggi kemampuannya melalui radar AESA
RBE2 AA, yang dipercaya mampu meladeni berbagai keperluan.
Radar
alias mata dan telinga bagi pesawat terbang. Semakin tajam dan awas
mata-telinga itu, semakin menakutkan pesawat tempur itu karena akan
meninggikan efektivitas pemakaian persenjataan, baik peluru kendali
ataupun sistem roket yang dibawa.
Dia akan lebih mampu mengenali mana sasaran yang harus dimusnahkan sesegera dan sebanyak mungkin, dan mana yang tidak perlu.
Radar AESA dan sistem avionika lainlah yang juga diadopsi serta dipercanggih habis-habisan oleh banyak pabrikan pesawat tempur.
Sebut JAS39 Gripen dari SAAB AB (Swedia) yang juga menjadi pesaing Dassault Rafale di Tanah Air sebagai calon pengganti F-5E/F Tiger II dari Skuadron Udara 14.
Gripen juga memiliki teknologi andalan serupa yang disebut portal www.aviatia.com “lebih lethal” ketimbang yang dimiliki Dassault Rafale.
Menurut data dari pabrikan, Rafale, dalam operasionalisasinya, memiliki “otak” bernama Integrated Modular Avionics dalam arsitektur Modular Data Processing Unit.
Inilah semua yang memungkinkan pilot untuk fokus saja pada misi
sepanjang data yang dimasukkan akurat. Jikapun kurang akurat, pilot
masih bisa mengambil keputusan secepat mungkin sesuai situasi yang dia
hadapi.
Zaini pun ingin mencoba fitur-fitur yang ada di kokpit Dassault Rafale dalam penerbangan ujicoba ini.
“Saya
coba simulasikan penyerangan darat terhadap obyek vital. Saya cuma
masukkan data koordinat sasaran, pilih jenis persenjataan atau bom yang
dipakai, lalu Rafale meluncur secara otomatis ke arah sasaran,” kata
dia, segera setelah mendarat dalam percakapan tentang performansi
pesawat tempur bersayap delta itu.
Secara otomatis pula, katanya, pesawat tempur dengan sayap kanard di belakang dome
radar utama itu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, termasuk
ketinggian dan kontur daratan sasaran, cuaca saat itu, hingga potensi
ancaman yang ada.
“Saya
sampai lepas tangan saja, semuanya dikerjakan pesawat tempur sesuai
data dan saya tinggal menentukan kapan jari tangan ini bergerak memencet
tombol pelepasan senjata,” kata dia.