Ilustrasi prajurit Amerika Serikat. (Delil SOULEIMAN / AFP)
Jakarta, CB -- Amerika Serikat memutuskan memindahkan sejumlah pasukan mereka di Libya. Hal itu terjadi karena pasukan dua pemerintah yang saling berseberangan di negara itu bertempur di Tripoli.
"Situasi keamanan di Libya semakin rumit dan sulit diperkirakan," kata Komandan Komando Afrika AS (AFRICOM), Jenderal Marinir Thomas Waldhauser, seperti dilansir CNN, Senin (8/4).
Juru Bicara AFRICOM, Kolonel Chris Karns, menyatakan pasukan AS saat ini dievakuasi ke lokasi rahasia. Namun, dia menjamin hal itu tidak mengganggu kemampuan mereka untuk menanggapi ancaman dan sasaran.
"Untuk alasan keamanan, saya tidak akan memberitahu ke mana pasukan ini berpindah. Ini penting supaya kelompok bersenjata tidak tahu keberadaan kami, tetapi kami menggunakan seluruh sumber daya secara efisien," kata Karns.
"Situasi keamanan di Libya semakin rumit dan sulit diperkirakan," kata Komandan Komando Afrika AS (AFRICOM), Jenderal Marinir Thomas Waldhauser, seperti dilansir CNN, Senin (8/4).
Juru Bicara AFRICOM, Kolonel Chris Karns, menyatakan pasukan AS saat ini dievakuasi ke lokasi rahasia. Namun, dia menjamin hal itu tidak mengganggu kemampuan mereka untuk menanggapi ancaman dan sasaran.
"Untuk alasan keamanan, saya tidak akan memberitahu ke mana pasukan ini berpindah. Ini penting supaya kelompok bersenjata tidak tahu keberadaan kami, tetapi kami menggunakan seluruh sumber daya secara efisien," kata Karns.
Panglima Angkatan Bersenjata Pasukan Nasional Libya (LNA), Jenderal Khalifa Haftar, mengirim pasukannya mencoba menguasai Tripoli. Haftar yang mendukung pemerintah tandingan di Benghazi menyerang pemerintah yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pertempuran sengit terjadi sejak Minggu (7/4) pekan lalu. Misi PBB untuk Libya (UNSMIL) meminta kedua pasukan melakukan gencatan senjata demi kemanusiaan, pada pukul 16.00 sampai 18.00 waktu setempat.
Pemerintah Libya yang didukung PBB (GNA) membalas penyerbuan pasukan Haftar. Menurut juru bicara pasukan GNA, Kolonel Mohamed Gnounou, bertujuan menumpas pasukan liar dan yang menyerang kota-kota Libya.
Sejak pasukan pemberontak yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berhasil menumbangkan Moamar Khadafi pada 2011, pemerintah Libya justru kacau balau. Haftar yang mempunyai pasukan menguasai wilayah timur dengan pusat pemerintahan di Benghazi.
Sejumlah persenjataan pasukan Libya di masa mendiang Khadafi juga dicuri dan dijual di pasar gelap.
Pemerintahan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj pun tidak efektif. Sebab, dia tidak mampu menjaga wilayahnya karena sejumlah suku mempersenjatai diri dan menguasai ladang-ladang minyak, dan beberapa kelompok bersenjata malah saling serang memperebutkan banyak hal.
PBB hanya mengakui pemerintah Libya di Tripoli. Sedangkan faksi lain membentuk pemerintah tandingan di Benghazi. Karena konflik terus-terusan terjadi, juga menjadi lahan subur kelompok bersenjata dan persembunyian teroris seperti ISIS, Libya dianggap sebagai negara gagal (failed state).
Sebelum pecah pertempuran, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sudah berupaya membujuk Haftar supaya mengurungkan niatnya menyerbu Tripoli. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil.
Konflik ini bisa membuat arus pengungsi dari Libya bisa bertambah.
Credit cnnindonesia.com