Sultan Hassanal Bolkiah (Reuters/Olivia Harris)
Jakarta, CB -- Sultan Brunei Darussalam
meminta warganya untuk memperkuat ajaran Islam jelang pemberlakuan
hukum syariat baru termasuk hukum rajam sampai mati untuk kaum LGBT dan
perzinaan di negara itu pada hari ini, Rabu (3/4).
"Saya ingin melihat ajaran Islam di negara ini tumbuh lebih kuat," kata Sultan Hassanal Bolkiah dalam pidato publik di dekat ibukota Bandar Seri Begawan, dikutip dari AFP.
Namun, ia tidak sepenuhnya menyinggung terkait pidana baru yang kontroversial atau mengumumkan bahwa hukum tersebut mulai berlaku. Padahal, pemerintah negara itu sebelumnya telah mengumumkan bahwa aturan hukum baru tersebut akan sepenuhnya berlaku pada hari Rabu.
Di saat bersamaan, Sultan yang telah berada di atas takhta negara kaya minyak selama 51 tahun, justru mengatakan bahwa Brunei "adil dan bahagia", dalam menghadapi kritik global yang berkembang tentang hukuman baru.
"Saya ingin melihat ajaran Islam di negara ini tumbuh lebih kuat," kata Sultan Hassanal Bolkiah dalam pidato publik di dekat ibukota Bandar Seri Begawan, dikutip dari AFP.
Namun, ia tidak sepenuhnya menyinggung terkait pidana baru yang kontroversial atau mengumumkan bahwa hukum tersebut mulai berlaku. Padahal, pemerintah negara itu sebelumnya telah mengumumkan bahwa aturan hukum baru tersebut akan sepenuhnya berlaku pada hari Rabu.
Di saat bersamaan, Sultan yang telah berada di atas takhta negara kaya minyak selama 51 tahun, justru mengatakan bahwa Brunei "adil dan bahagia", dalam menghadapi kritik global yang berkembang tentang hukuman baru.
"Siapa pun yang datang untuk mengunjungi negara ini akan memiliki
pengalaman manis, dan menikmati lingkungan yang aman dan harmonis,"
katanya kepada hadirin di sebuah pusat konvensi, dalam sebuah pidato
untuk perayaan Isra Mi'raj yang jatuh hari ini.
Brunei pertama kali mengumumkan rencana hukum baru ini pada 2013, tetapi implementasinya telah tertunda. Undang-undang baru itu menetapkan hukuman mati untuk sejumlah pelanggaran, termasuk pemerkosaan, perzinahan, sodomi, perampokan dan penghinaan atau pencemaran nama baik Nabi Muhammad.
Hukum ini juga memperkenalkan cambuk publik sebagai hukuman untuk aborsi, serta hukum potong tangan dan kaki atas pencurian, dan mengkriminalkan mengekspos anak-anak Muslim terhadap kepercayaan dan praktik agama apa pun selain Islam.
Penerapan hukum ini akan membuat Brunei menjadi negara pertama di Timur atau Asia Tenggara yang menerapkan hukum Syariat, setelah negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia.
"Saya ingin menekankan bahwa Brunei adalah negara yang selalu menyembah kepada Allah," ucapnya.
Brunei pertama kali mengumumkan rencana hukum baru ini pada 2013, tetapi implementasinya telah tertunda. Undang-undang baru itu menetapkan hukuman mati untuk sejumlah pelanggaran, termasuk pemerkosaan, perzinahan, sodomi, perampokan dan penghinaan atau pencemaran nama baik Nabi Muhammad.
Hukum ini juga memperkenalkan cambuk publik sebagai hukuman untuk aborsi, serta hukum potong tangan dan kaki atas pencurian, dan mengkriminalkan mengekspos anak-anak Muslim terhadap kepercayaan dan praktik agama apa pun selain Islam.
Penerapan hukum ini akan membuat Brunei menjadi negara pertama di Timur atau Asia Tenggara yang menerapkan hukum Syariat, setelah negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia.
"Saya ingin menekankan bahwa Brunei adalah negara yang selalu menyembah kepada Allah," ucapnya.
Rencana hukuman ini pun langsung mendapatkan sorotan di dunia.
Sejumlah selebriti kenamaan Hollywood bahkan ikut bergabung untuk
menentangnya dengan menyerukan gerakan pemboikotan hotel-hotel yang
dimiliki kesultanan Brunei, termasuk Hotel Beverly Hills dan Hotel
Bel-Air, yang kerap menjadi tempat para selebritas Hollywood.
Tak cuma itu, rencana aplikasi hukum ini juga memancing reaksi dari PBB yang melabelinya sebagai hukuman kejam dan tak berkeprimanusiaan.
Phil Robertson, direktur deputi Asia di Human Rights Watch mengatakan bahwa ini adalah hukuman 'biadab pada intinya karena menjatuhkan hukuman kuno."
Tak cuma itu, rencana aplikasi hukum ini juga memancing reaksi dari PBB yang melabelinya sebagai hukuman kejam dan tak berkeprimanusiaan.
Phil Robertson, direktur deputi Asia di Human Rights Watch mengatakan bahwa ini adalah hukuman 'biadab pada intinya karena menjatuhkan hukuman kuno."
Credit cnnindonesia.com