Rabu, 12 Oktober 2016

Menlu Jerman: Ketegangan AS dan Rusia Lebih Bahaya dari Perang Dingin

 
Menlu Jerman: Ketegangan AS dan Rusia Lebih Bahaya dari Perang Dingin
Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walker Steinmeir memperingatkan ketegangan AS dan Rusia saat ini lebih berbahaya dari Perang Dingin. Foto/REUTERS
 
BERLIN - Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang belum mereda hingga kini lebih berbahaya dari Perang Dingin. Demikian pendapat Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman; Frank-Walker Steinmeir.

Dalam sebuah wawancara dengan tabloid Jerman, Bild, Steinmeir mengatakan selama Perang Dingin dua negara adidaya itu masih memiliki "garis merah” dan saling menghormati. Tapi, ketegangan saat ini tidak hanya terus meningkat tapi keperacayaan di antara kedua kubu sudah terkikis.

”Jika ini terus berlanjut, kita akan kembali ke masa konfrontasi antara dua kekuatan besar,” kata Steimeir memperingatkan bahaya ketegangan AS dan Rusia. ”Tapi sayangnya itu adalah ilusi untuk percaya bahwa itu adalah Perang Dingin yang lama,” katanya lagi, yang dilansir news.com.au, Selasa (11/10/2016).

”Sebelumnya, dunia dibagi menjadi dua, tapi Moskow dan Washington tahu garis merah dan menghormati mereka (satu sama lain),” lanjut Menlu Jerman tersebut.

 

Dia cenderung menyalahkan Rusia untuk menerapkan ketegangan antara Timur dan Barat. Namun, dia juga menekankan pentingnya para pemimpin dunia menemukan solusi untuk krisis Suriah sebelum terlambat.

Peringatan itu datang setelah Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Marc Ayrault, meminta Pengadilan Pidana Internasional untuk menyelidiki Rusia atas dugaan kejahatan perang di Aleppo, Suriah. Permintaan itu mendukung seruan serupa yang lebih dulu disuarakan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry.

 
Ayrault mengatakan negaranya tidak setuju dengan Rusia untuk membombardir Aleppo. Dia menganggap Rusia tidak berkomitmen seperti sebelumnya untuk menyelamatkan penduduk Suriah.

Dia mengatakan investigasi tersebut akan bergantung pada peran Moskow terkait serangan udara di bagian timur Aleppo yang dikuasai pemberontak Suriah.





Credit  Sindonews