Rabu, 07 Maret 2018

China Pertegas Sikap Soal Taiwan dan Hong Kong


China Pertegas Sikap Soal Taiwan dan Hong Kong 
 China mengisyaratkan akan bersikap tegas untuk meredam perlawanan di Taiwan dan Hong Kong dalam Kongres Parlemen Tahunan di Beijing. (REUTERS/Damir Sagolj)


Jakarta, CB -- China mengisyaratkan akan bersikap tegas untuk meredam perlawanan di Taiwan dan Hong Kong, di tengah meningkatnya frustasi atas pemerintahan Presiden Xi Jinping di dua wilayah tersebut.

Dalam pidato pembukaan Kongres Rakyat Nasional (Parlenen) Tahunan di Beijing, Perdana Menteri Li Keqiang memperingatkan bahwa China "tidak akan mentolerir skema separatis" di Taiwan, di tengah meningkatnya ketegangan antara daratan utama dan pulau yang ingin melepaskan diri tersebut.

Laporan tersebut mengatakan bahwa Beijing akan terus menegakkan prinsip "satu China" dan mempromosikan "hubungan damai" dengan Taiwan berdasarkan konsensus 1992.


Konsensus tersebut menyetujui adanya satu China tanpa spesifik menyebut Beijing atau Taipei sebagai perwakilan sahnya.

Beijing juga akan "mengupayakan kembali reunifikasi China secara damai," kata Li.

Tapi, dia menambahkan, bahwa pihaknya "tidak akan pernah mentoleransi skema separatis atau aktivitas 'kemerdekaan Taiwan'."


China masih menganggap Taiwan bagian dari wilayahnya yang menunggu penyatuan kembali. China telah memutus komunikasi resmi dengan Taipei setelah Presiden Tsai Ing-wen menolak untuk mengakui pulau demokratis tersebut sebagai bagian dari "satu China".

Dewan Urusan Daratan Utama Taiwan, menangani hubungan dengan China, mengatakan bahwa pulau tersebut ingin "mempertahankan status quo yang damai dan stabil di Selat Taiwan".

"Kami mendorong China untuk mengadopsi pemikiran positif dan pandangan ke depan yang inovatif mengenai pengembangan hubungan lintas selat," kata lembaga itu dalam sebuah pernyataan.

China mangungkapkan kemarahan minggu lalu setelah Senat AS mengeluarkan undang-undang untuk mendorong kunjungan antara Washington dan Taipei "di semua level".

Washington memutus hubungan diplomatik formal dengan Taiwan pada 1979 untuk mendukung Beijing. Tetapi mereka mempertahankan hubungan dan menjual senjata kepada pulau tersebut, membuat China marah.




Meningkatnya Kekhawatiran

Laporan tersebut juga mengisyaratkan penegasan sikap Beijing untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di kota semi otonomi Hong Kong dan Makau, yang dipimpin Beijing dengan prinsip "Satu negara, Dua sistem".

Tahun lalu, bagian laporan tentang bekas koloni Eropa tersebut mengatakan mereka akan diberikan "otonomi tingkat tinggi". Tahun ini, bagian tersebut dihilangkan.

Laporan tahun ini mengacu pada konsep "Satu negara, dua sistem" tetapi tidak lagi disebutkan akan diterapkan dengan "tegas".

Perubahan itu mungkin tampak kecil tetapi bisa berarti besar dalam sistem dimana berbagai dokumen pemerintah diedit hingga koma terakhirnya.

Hong Kong diperintah di bawah kesepakatan "satu negara, dua sistem" sejak 1997, ketika Inggris menyerahkan wilayah itu kembali ke China.


Berbeda dengan pendahulunya yang lebih kompromis, Presiden Tsai Ing Wen lebih keras terhadap China.
Foto: REUTERS/Taipei Photojournalists Association
Berbeda dengan pendahulunya yang kompromis, Presiden Tsai Ing Wen lebih keras terhadap China.


Sistem tersebut memungkinkan pengakuan hak-hak warga yang tidak berlaku di daratan utama. Termasuk kebebasan berbicara dan pemilihan pemimpin Hong Kong yang 'setengah' langsung, serta pengadilan yang independen.

Tapi ada kekhawatiran bahwa kebebasan ini terancam oleh Beijing.

Tanya Chan, seorang anggota parlemen pro-demokrasi di kota tersebut, mengatakan hilangnya penyebutan orang-orang Hong Kong yang mengatur dirinya sendiri bukanlah suatu kesalahan.

"Saya tidak berpikir ada kelalaian tanpa tujuan, terutama bila orang Hong Kong prihatin dengan otonomi dan sistem secara keseluruhan," katanya kepada AFP.

"Saya khawatir apakah pemerintah China masih menghormati janji-janji penting ini," Chan menambahkan, memprediksi lebih banyak intervensi "serius dan terbuka" oleh Beijing.

Claudia Mo, seorang legislator pro-demokrasi Hong Kong lainnya, menambahkan kesepakatan "satu negara, dua sistem" sudah mati. "Mereka baru saja memastikannya," kata dia.




Credit  cnnindonesia.com