Jumat, 28 Desember 2018

Lakukan Kunjungan Kejutan, Legislator Irak Ramai-ramai Kutuk Trump


Lakukan Kunjungan Kejutan, Legislator Irak Ramai-ramai Kutuk Trump
Kunjungan kejutan Presiden AS Donald Trump ke pangkalan udara di al-Asad menuai kecaman dari legislator Irak. Foto/Istimewa

BAGHDAD - Para pemimpin politik dan milisi Irak mengutuk kunjungan mendadak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke pasukan Amerika di Irak. Trump dianggap telah melanggar kedaulatan Irak.

Sabah al Saadi, pemimpin blok Islah perlemen Irak, menyerukan sidang darurat parlemen untuk membahas pelanggaran kedaulatan Irak secara terang-terangan dan untuk menghentikan tindakan agresif oleh Trump yang seharusnya tahu batas-batasnya.

"Pendudukan AS di Irak sudah berakhir,” tegasnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (27/12/2018).

Sementara Blok Bina, saingan Islah di parlemen dan dipimpin oleh pemimpin milisi yang didukung Iran Hadi al-Amiri, juga keberatan dengan perjalanan Trump ke Irak.

"Kunjungan Trump adalah pelanggaran nyata dan jelas terhadap norma-norma diplomatik dan menunjukkan penghinaan serta permusuhannya dalam berurusan dengan pemerintah Irak," kata Bina dalam sebuah pernyataan.

Sementara dalam sebuah pernyataan kantor Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi bahwa pihak berwenang AS telah memberi tahu Baghdad sebelumnya mengenai kunjungan Trump. Pernyataan itu mengatakan Perdana Menteri Irak dan Presiden AS berbicara melalui telepon karena ketidaksepakatan tentang bagaimana melakukan pertemuan.

Anggota parlemen Irak mengatakan kepada Reuters bahwa keduanya tidak setuju mengenai di mana lokasi pertemuan mereka. Trump telah meminta untuk bertemu di pangkalan militer Ain al-Asad, tapi tawaran itu ditolak Abdul Mahdi.

Kunjungan Trump datang di tengah latar belakang meningkatnya ketegangan antara Washington dan Teheran, ketika Washington berupaya untuk melawan pengaruh Iran di Timur Tengah. Pembentukan pemerintah Irak juga terhenti di tengah meningkatnya perselisihan antara blok Islah dan Bina.

Falih Khazali, mantan pemimpin milisi yang menjadi politisi beraliansi dengan Bina, menuduh Amerika Serikat ingin meningkatkan kehadirannya di Irak.

"Kepemimpinan Amerika dikalahkan di Irak dan ingin kembali lagi dengan dalih apa pun, dan inilah yang tidak akan kami izinkan," ujarnya.

Bina mengatakan kunjungan Trump menempatkan banyak tanda tanya tentang sifat kehadiran militer AS dan tujuan sebenarnya, dan apa yang bisa ditimbulkan oleh tujuan-tujuan tersebut bagi keamanan Irak.

Sementara tidak ada kekerasan skala penuh di Irak sejak Negara Islam menderita serangkaian kekalahan tahun lalu, sekitar 5.200 tentara AS berlatih dan memberi tahu pasukan Irak yang masih melakukan kampanye melawan kelompok militan.

Islah dipimpin oleh ulama Syiah populis Moqtada al-Sadr. Sadr telah lama menentang kehadiran AS di Irak sejak invasi pimpinan AS menggulingkan Saddam Hussein pada tahun 2003. Ia memimpin dua pemberontakan melawan pasukan AS di Irak dan merupakan salah satu dari sedikit pemimpin Syiah yang juga menjauhkan diri dari Iran.

Milisi Syiah Irak, juga dikenal sebagai PMF, yang banyak di antaranya didukung oleh Iran, menentang kehadiran pasukan AS di wilayah tersebut. PMF secara resmi menjadi bagian dari pasukan keamanan tahun ini setelah membantu militer mengalahkan Negara Islam di Irak pada tahun 2017.

Qais al-Khazali, pemimpin milisi Asaib Ahl al-Haq yang juga didukung Iran mengatakan di Twitter: "Irak akan menanggapi dengan keputusan parlemen untuk menggulingkan pasukan militer Anda (AS). Dan jika mereka tidak pergi, kami memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menyingkirkan mereka dengan cara lain yang sudah biasa dilakukan pasukan Anda." 

Namun, beberapa warga Irak kurang peduli dengan kunjungan presiden AS.

"Kami tidak akan mendapatkan apa pun dari Amerika," kata penduduk Baghdad Mohammad Abdullah.

"Mereka sudah berada di Irak 16 tahun, dan mereka belum memberikan apa pun kepada negara ini kecuali kerusakan dan kehancuran," tegasnya.



Credit  sindonews.com





Kamis, 27 Desember 2018

KALEIDOSKOP 2018 : Uighur dan Dugaan Penindasan China Pada 2018


Uighur dan Dugaan Penindasan China Pada 2018
Dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur oleh rezim komunis China menjadi salah satu persoalan yang mencuat sepanjang 2018. (REUTERS/Thomas Peter)


Jakarta, CB -- Persoalan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah China terhadap etnis minoritas, seperti Uighur, dan pemeluk agama mencuat sepanjang 2018. Negeri Tirai Bambu disorot karena dianggap menghalangi kebebasan beragama dengan dalih penyeragaman budaya dan menekan radikalisme.

Khusus soal etnis Uighur di Xinjiang semakin gencar diberitakan, sebab ada dugaan pemerintah China sengaja ingin membungkam mereka. Sekitar satu juta etnis Uighur dikabarkan dijebloskan ke kamp khusus. Sebagian 'alumnus' mengaku mereka diperlakukan secara buruk, bahkan ada juga yang disiksa, di dalam kamp itu.

Pemerintah China dikenal berlaku diskriminatif terhadap wilayah Xinjiang dan etnis Uighur yang memeluk Islam. Mereka kerap memberlakukan aturan tak masuk akal, seperti melarang puasa saat Ramadhan, dilarang menggelar pengajian, hingga salat berjamaah. Bahkan aparat China secara ketat menempatkan pos-pos pemeriksaan di seluruh wilayah hingga perbatasan Xinjiang.


Alasan pemerintah China melakukan hal itu adalah untuk mencegah penyebaran ideologi radikal di kalangan etnis Uighur. Namun, dari sisi etnis Uighur, mereka menyatakan justru perlakuan pemerintah China yang memicu radikalisme dan ekstremisme.



Saat pemimpin Partai Komunis China, Mao Tse Tung meluncurkan program Revolusi Budaya pada 1966 hingga 1976, sejumlah masyarakat yang memegang teguh prinsip religius ikut terdampak. Padahal, mulanya gagasan itu bertujuan memerangi kaum bangsawan di masa kekaisaran yang dianggap menyusup ke pemerintahan, dan hendak mengembalikan posisi mereka.

Karena program itu pula China mengirim Tentara Merah untuk menyerbu dan mencaplok Tibet. Hal itu menyebabkan pemimpin Tibet, Dalai Lama, mengungsi dan hingga saat ini berada di pengasingan di India.

Sejumlah orang Uighur yang pernah merasakan dijebloskan ke kamp konsentrasi itu mengaku dipaksa mempelajari propaganda Partai Komunis China setiap hari. Bahkan beberapa mengaku disiksa.

Menurut pernyataan 270 orang akademisi, konon etnis Uighur yang tidak mengikuti seluruh 'pendidikan politik' ala pemerintah China bakal dipukuli, dimasukkan ke sel, atau dihukum dengan cara menekan kejiwaan atau melanggar norma agama.


Memang ada sejumlah warga Uighur yang terlibat perkara terorisme. Namun, hal itu dianggap tidak bisa dijadikan pembenaran untuk bersikap diskriminatif.

Uighur dan perlawanan adalah sejarah panjang. Mereka sudah merasakan dipimpin oleh berbagai kekuatan, mulai dinasti Yuan dari Mongolia, Qing, hingga Partai Komunis China.

Etnis Uighur sempat bisa bernapas sedikit lega ketika masa kepemimpinan Deng Xiaoping pada akhir Perang Dingin. Pemerintah memberi mereka keleluasaan untuk beribadah dan mengaktualisasikan diri serta merawat budaya. Lagi pula ketika itu Uni Soviet sudah berantakan dan China tidak khawatir penduduk setempat akan kembali bergolak.

Meski demikian tak bisa dipungkiri benih-benih radikalisme juga tumbuh di sebagian penduduk Uighur. Mereka yang bergabung di dalam Partai Turkestan Timur disebut terlibat dalam jejaring terorisme, termasuk Al Qaidah. Bahkan dilaporkan ada sejumlah etnis Uighur yang ikut dalam perang sipil di Suriah.


Di Indonesia, sejumlah etnis Uighur ditangkap karena terlibat dalam kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur. Mereka sempat dipimpin mendiang Santoso, sebelum tewas dalam operasi Tinombala gabungan Polri dan TNI di Poso, Sulawesi Tengah.

Perserikatan Bangsa-bangsa sudah mendesak untuk bisa melihat ke kamp konsentrasi Uighur. Namun, hal itu belum menjamin apakah tekanan terhadap etnis Uighur bakal berkurang atau hilang sama sekali pada 2019.




Credit  cnnindonesia.com







KALEIDOSKOP 2018 : Dari AS, Kisruh Status Yerusalem Merembet ke RI-Australia


Berawal dari keputusan AS untuk memindahkan kedubes untuk Israel dari Tel Aviv, kisruh status Yerusalem merembet hingga membuat relasi RI-Australia memanas. (Reuters/Ronen Zvulun)


Jakarta, CB -- Status Kota Yerusalem menyita perhatian internasional selama setahun terakhir lantaran kembali 'menyulut' konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung lebih dari setengah abad lamanya.

Semua berawal dari keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 7 Desember 2017 untuk memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Tak hanya dari negara Arab dan negara Muslim, sekutu-sekutu AS turut mengecam langkah kontroversial Trump tersebut, yang dianggap mengancam prospek perdamaian Israel-Palestina bahkan memicu gerakan "intifada" ketiga.



Yerusalem selama ini merupakan salah satu sumber konflik Israel-Palestina, di mana kedua belah pihak sama-sama mengklaim kota suci bagi tiga agama itu sebagai ibu kota mereka.


Selain itu, keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel ini juga dianggap bertentangan dengan hukum dan resolusi internasional yang ada.

Meski begitu, Trump berkeras memindahkan kantro perwakilan AS untuk Israel ke Yerusalem dengan membuka kantor kedutaan sementara pada 14 Mei lalu.

Dari AS, Kisruh Status Yerusalem Merembet ke RI-Australia
Donald Trump berkeras memindahkan kantro perwakilan AS untuk Israel ke Yerusalem dengan membuka kantor kedutaan sementara pada 14 Mei lalu. (Reuters/Ronen Zvulun)
Jika dilihat dari sisi kedaulatan, AS berhak menentukan kebijakan luar negerinya, termasuk merelokasi kedubes untuk Israel ke Yerusalem.

Selain itu, langkah kontroversial itu dilakukan Trump semata-mata demi mengimplementasikan Undang-Undang tentang relokasi kedutaan AS untuk Israel ke Yerusalem yang disahkan Kongres AS pada 1995 lalu.

Namun, para pendahulu Trump selalu menggunakan hak perogatifnya untuk membuat surat penangguhan terkait relokasi kedutaan tersebut dengan alasan menghindari agar konflik Timur Tengah tidak memburuk.

Langkah kontroversial AS ini menjadi "inspirasi" bagi sejumlah negara lain. Sejak AS merelokasi kedutaannya untuk Israel ke Yerusalem, beberapa negara mengikuti langkah serupa.

Guatemala mengumumkan akan merelokasi kedutaannya untuk Israel ke Yerusalem pada 16 Mei 2018, dua hari setelah AS membuka misi diplomatiknya di kota tersebut.

Paraguay juga sempat mengumumkan keputusan serupa pada 22 Mei lalu, namun membatalkannya empat bulan kemudian.

Presiden Brasil yang baru terpilih, Jair Bolsonaro, juga menyatakan keinginan untuk merelokasi kedutaan besar negaranya untuk Israel ke Yerusalem sesuai janji kampanyenya. Meski begitu, sejumlah pihak menganggap rencana tersebut tak akan benar-benar terjadi.

Pada Oktober lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga mengumumkan bahwa kabinetnya tengah mempertimbangkan rencana merelokasi kedutaan Negeri Kanguru untuk Israel ke Yerusalem.

Pengumuman ini sempat membuat relasi RI dan Australia panas Selain menyalahi resolusi internasional terkait status quo Yerusalem, Indonesia menilai pemindahan kedutaan untuk Israel ke kota tersebut bisa memperburuk peluang proses damai Palestina-Israel melalui solusi dua negara.




Credit  cnnindonesia.com




Kaleidoskop 2018: Senjata Nuklir di Tangan Donald Trump


Presiden Donald Trump.
Presiden Donald Trump.
Foto: EPA-EFE/Michael Reynolds
Sepanjang 2018, Donald Trump mengubah tatanan kesepakan senjata nuklir dunia.



Oleh Redaktur Republika.co.id: Nur Aini


Sepanjang 2018, konstelasi kesepakatan senjata nuklir dunia berubah drastis. Sosok Presiden AS, Donald Trump berada di balik berbagai peristiwa yang terkait dengan perubahan tatanan kesepakatan senjata nuklir. Ambisi Trump untuk mengubah kesepakatan senjata nuklir sesuai keinginannya merontokkan dua kesepakatan senjata nuklir. Ambisi itu pula yang melahirkan kesepakatan baru senjata nuklir dengan Korea Utara. 

Ada tiga peristiwa penting yang menandai perubahan konstalasi senjata nuklir dunia sepanjang 2018. Pertama, keputusan Donald Trump menarik Amerika Serikat dari perjanjian kesepakatan nuklir Iran yang dibuat pada 2015. Kedua, pertemuan Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura pada 12 Juni 2018 yang melahirkan kesanggupan denuklirisasi Korut. Ketiga, Donald Trump menarik AS dari perjanjian Intermediate-range Nuclear Forces (INF) yang disepakati dengan Rusia (Uni Soviet).

Donald Trump mengumumkan penarikan AS dari kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 8 Mei 2018 yang sekaligus menandai pemulihan sanksi ekonomi untuk Iran. Kesepakatan nuklir Iran ditandatangani di Vienna pada 14 Juli 2015 antara Iran dengan lima anggota Dewan Keamanan PBB yakni Cina, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS dengan ditambah Jerman dan Uni Eropa.


Dalam kesempatan itu, Iran setuju mengurangi persediaan uranium hingga 98 persen. Iran juga hanya diperbolehkan menambah Uranium 3,6 persen selama 15 tahun. Iran juga harus mengizinkan inspektur internasional masuk ke fasilitas nuklirnya. Sebagai gantinya, sanksi ekonomi terhadap Iran dicabut.

Kesepakatan JCPOA itu dinilai Trump memiliki kecacatan karena tak membahas program rudal balistik Iran, kegiatan nuklir Iran setelah 2025, dan peran Iran dalam konflik Yaman dan Suriah. Oleh karena itu, AS mengusulkan adanya revisi baru untuk kesepakatan nuklir Iran. Tawaran revisi tersebut ditolak oleh Iran yang memilih untuk mempertahankan JCPOA.


Sanksi AS kemudian diberlakukan dengan menyasar sektor perdagangan metal berharga Iran, keuangan dan perbankan nasional, serta industri otomotif. Perusahaan yang memulai transaksi bisnis dengan Iran akan disanksi dan diminta mengakhiri kontrak  selama periode 90 hari dan 180 hari. Sanksi tersebut diberlakukan meski laporan badan pengawas atom dari PBB yakni Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan Iran mematuhi kesepakatan nuklir 2015.

Uni Eropa berusaha menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran 2015 tersebut. Hingga akhir 2018, Iran pun tetap mempertahankan kesepakatan nuklir tersebut. Akan tetapi, Iran kembali mempertanyakan masa depan JCPOA jika tidak memberikan manfaat ekonomi bagi negaranya.

Setelah menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran, Donald Trump mencatatkan sejarah baru dengan menemui pemimpin Korut, Kim Jong-un di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura pada 12 Juni 2018. Dalam pertemuan itu, Trump dan Kim menandatangani dokumen yang berisi pernyataan bersama kedua pemimpin negara. Ada empat hal yang terdapat dalam dokumen tersebut yakni pembangunan hubungan baru antara AS-Korut, kerja sama perdamaian di Semenanjung Korea, komitmen denuklirisasi Semenanjung Korea, dan penyelesaian tahanan perang dan repatriasi jenazah sisa perang Korea.

Korea Utara memang kerap membuat negara-negara lain khawatir dengan perkembangan senjata nuklir yang dimilikinya. Uji coba senjata nuklir dilakukan oleh Korut sejak Oktober 2006. Pada 2018, Korsel mengungkap Korut diyakini memiliki 60 senjata nuklir.

Dalam pelaksanaan kesepakatan tersebut, Donald Trump membatalkan sebagian besar latihan militer dengan Korsel. Korut juga mengirimkan jasad sisa era perang Korea ke AS. Akan tetapi, perlucutan senjata nuklir Korut tidak berjalan mulus. Korut menolak seruan AS untuk melakukan denuklirisasi secara sepihak. Pemerintah Pyongyang tidak mau melucuti senjata nuklir melalui tekanan dan menuntut pencabutan sanksi bagi Korut. Korut juga meminta kesepakatan denuklirisasi mencakup wilayah yang lebih luas. Akan tetapi, AS menolak mencabut sanksi bagi Korut sebelum ada kemajuan dalam denuklirisasi. Donald Trump memilih untuk kembali bertemu dengan Kim Jong-un pada awal 2019.

Di pengujung 2018, Donald Trump kembali mengumumkan mundurnya AS dari kesepakatan senjata nuklir. Pada 18 Desember 2018, AS secara resmi mundur dari perjanjian INF. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 1987 oleh mantan presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan mantan presiden AS Ronald Reagan. Kesepakatan melarang kedua belah pihak memiliki dan memproduksi rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer. Pada 1991, kesepakatan tersebut telah memusnahkan 2.700 rudal balistik dan jelajah.

Trump menuding Rusia melanggar kesepakatan INF tersebut. Moskow diyakini tengah mengembangkan senjata sistem peluncuran dari darat. Pengembangan senjata itu diprediksi bisa membuat Moskow mampu melancarkan serangan yang menjangkau Eropa dalam waktu singkat. Tudingan itu telah berkali-kali dibantah oleh Rusia.

Ketiga peristiwa penting tersebut menggambarkan keinginan Donald Trump untuk mengatur senjata nuklir negara-negara yang menjadi "musuh" AS. Akan tetapi, keluarnya AS dari JCPOA dan INF justru meninggalkan dunia tanpa tatanan kesepakatan senjata nuklir. Lantaran hal itu, 2018 menjadi tahun di mana dunia kembali masuk ke era perlombaan senjata nuklir, seperti saat Perang Dingin.





Credit  republika.co.id






Masa Depan Dunia di Era Lomba Senjata


Reaktor Nuklir Nebraska, Amerika Serikat
Reaktor Nuklir Nebraska, Amerika Serikat
Foto: Reuters
Keluarnya AS dari kesepakatan nuklir Iran dan Rusia diyakini mendorong lomba senjata.


Oleh Redaktur Republika.co.id: Nur Aini


Keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik AS dari dua perjanjian nuklir yakni kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) dan kesepakatan senjata nuklir jarak menengah dengan Rusia/Uni Soviet (INF) menimbulkan kekhawatiran global. Kekhawatiran tersebut terutama disuarakan oleh Uni Eropa. Uni Eropa ingin tetap mempertahankan kesepakatan nuklir Iran meski tanpa AS. Bagi Uni Eropa, kesepakatan nuklir Iran tersebut dapat membantu memecahkan masalah seperti program rudal balistik Iran.

Iran menilai dukungan Uni Eropa saja tidak cukup jika tanpa tindakan yang membantu Iran tetap berada dalam kesepakatan tersebut. Uni Eropa diminta untuk mengamankan perdagangan minyak dengan Iran dan tanpa melewati sistem keuangan AS. Uni Eropa pun menanggapinya dengan mengaktifkan undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan dan pengadilan Uni Eropa mematuhi sanksi AS terhadap Iran. Meskipun, perusahaan-perusahaan tersebut akan menghadapi pilihan yang sulit karena AS mengancam menjatuhi hukuman bagi prusahaan yang melanggar sanksi terhadap Iran.

Masalah Uni Eropa selanjutnya adalah ancaman keamanan setelah AS keluar dari perjanjian INF. Kesepakatan INF selama ini menjadi salah satu pilar keamanan di wilayahnya. Kesepakatan INF bermula dari kekhawatiran misi nuklir Uni Soviet, S-20 yang mampu menargetkan negara-negara Barat. Setelah AS keluar dari INF, Presiden Rusia Vladimir Putin mengajukan resolusi untuk mendukung INF ke PBB namun ditolak dalam pemungutan suara. Sementara, setelah mengumumkan keluar dari INF, Trump menyatakan siap membangun dan mengembangkan senjata nuklirnya. Runtuhnya kesepakatan INF itu pun dinilai Rusia akan membuat dunia masuk ke dalam perlombaan senjata dan konfrontasi langsung.

Hingga saat ini, terdapat sembilan negara yang memiliki senjata nuklir. Sementara, jumlah senjata nuklir di seluruh dunia tercatat mencapai 14.500 unit. Berdasarkan dari Asosiasi Kontrol Senjata dan Federasi Ilmuwan Amerika, Rusia memiliki senjata nuklir terbanyak yakni 6.800 senjata. Negara itu telah melakukan tes senjata nuklir sebanyak 715 kali sejak pertama kali dilakukan pada Agustus 1949. Sementara, uji coba senjata nuklir terakhir dilakukan pada Oktober 1990.

Negara kedua yang memiliki senjata nuklir adalah AS dengan total 6.500 senjata nuklir. AS telah melakukan uji coba senjata nuklir hingga 1.030 kali dari tes pertama pada Juli 1945. Tes senjata terakhir pada September 1992. Negara lainnya yang memiliki senjata nuklir yakni Prancis dengan 300 senjata, Cina (270 senjata), Inggris (215 senjata), Pakistan (130-140 senjata), India (120-130 senjata), Israel (80 senjata), dan Korea Utara (10-20 senjata).


Negara-negara yang dituding AS mengembangkan senjata nuklir seperti Iran justru tidak tercatat memiliki senjata tersebut, sementara cadangan senjata nuklir Korut jauh lebih kecil dari AS dan Rusia. Akan tetapi, dua negara yang memiliki stok senjata nuklir terbesar yakni AS dan Rusia tidak lagi terikat dalam kesepakatan pengendalian senjata. Dengan runtuhnya kesepakatan nuklir, bisa jadi jumlah senjata tersebut terus bertambah jika tak ada kesepakatan baru di tahun-tahun mendatang.




Credit  republika.co.id








Erdogan: Jangan Harapkan Keadilan dari PBB


Erdogan: Jangan Harapkan Keadilan dari PBB
Erdogan kembali melemparkan kritikan terhadap PBB, khususnya terhadap DK PBB, dengan mengatakan bahwa tidak ada keadilan yang dapat diharapkan dari PBB. Foto/Istimewa

ANKARA - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan kembali melemparkan kritikan terhadap PBB, khususnya terhadap Dewan Keamanan (DK) PBB. Dia mengatakan bahwa tidak ada keadilan yang dapat diharapkan dari PBB.

"Jangan mengharapkan sesuatu seperti keadilan dari DK PBB dan PBB, jangan mencarinya, tidak ada yang seperti itu," kata Erdogan pada upacara penghargaan untuk Dewan Penelitian Ilmiah dan Teknologi Turki (TUBITAK) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Turki (TUBA).

Erdogan, seperti dilansir Anadolu Agency pada Rabu (26/12), mengatakan bahwa umat Islam tidak diberi hak untuk berbicara tentang masalah mereka dan masalah internasional di DK PBB.

"Fakta bahwa dunia Islam, yang memiliki populasi sekitar 1,7 miliar jiwa, tidak memiliki satupun negara yang menjadi anggota tetap di DK PBB sebagai akibat dari penyimpangan ini," ungkapnya.

Dia kemudian menambahkan, bahwa inilah alasan mengapa dia secara berkala menyerukan reformasi di tubuh DK PBB, dengan slogan "dunia lebih besar dari lima".


"Dunia lebih besar dari lima" adalah semboyan terkenal yang berulang kali digunakan oleh Erdogan untuk mengkritik lima anggota tetap DK PBB, yakni China, Prancis, Rusia, Amerika Serikat dan Inggris. 





Credit  sindonews.com





Kunjungi Tentara di Irak, Trump Dianggap Langgar Kedaulatan


Kunjungi Tentara di Irak, Trump Dianggap Langgar Kedaulatan
Sejumlah legislator Irak menganggap kunjungan mendadak Presiden Donald Trump ke markas militer AS di negara tersebut sebagai tindakan yang melanggar kedaulatan. (Reuters/Carlos Barria)


Jakarta, CB -- Sejumlah legislator Irak menganggap kunjungan mendadak Presiden Donald Trump ke markas tentara Amerika Serikat di negara tersebut sebagai tindakan yang melanggar kedaulatan.

"Kunjungan Trump merupakan pelanggaran yang sangat jelas atas norma diplomatik dan menunjukkan pelanggaran dan permusuhannya dalam berurusan dengan pemerintah Irak," demikian pernyataan salah satu blok di parlemen Irak, Bina, seperti dikutip Reuters, Rabu (26/12).

Pernyataan ini disampaikan tak lama setelah Trump mengunjungi pasukan AS di Irak, sementara pertemuannya dengan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi batal karena masalah tempat.



Bina menganggap kunjungan ini "menimbulkan pertanyaan mengenai kehadiran militer AS dan tujuannya, juga sejauh mana tujuan itu berbahaya bagi keamanan Irak."


AS memang sudah mulai mengurangi kehadiran militernya di Irak sejak ISIS mengalami kemunduran, tapi Washington masih menempatkan sekitar 5.200 tentara di negara itu untuk melatih pasukan lokal melawan berbagai kelompok militan lainnya.

Tak hanya Bina, blok Islah juga menganggap kunjungan mendadak Trump ke pangkalan militer AS itu tak pantas.

Pemimpin blok Islah, Sabah al Saadi, pun menyerukan pertemuan mendadak "untuk membahas pelanggaran berat atas kedaulatan Irak dan menghentikan tindakan agresif Trump yang seharusnya tahu batasan bahwa okupasi AS atas Irak sudah berakhir."



Namun, Abdul Mahdi sendiri mengatakan bahwa otoritas AS sudah memberi tahu Irak terlebih dulu sebelum Trump mengunjungi tentara AS.

Menurut Abdul Mahdi, konfirmasi itu disampaikan langsung saat ia dan Trump berbicara melalui sambungan telepon untuk membahas "ketidaksepakatan mereka mengenai bagaimana cara menggelar pertemuan."

Sejumlah anggota dewan mengatakan kepada Reuters bahwa kedua pemimpin berbeda pendapat mengenai lokasi pertemuan. Trump ingin bertemu di pangkalan militer Ain Al-Asad, tapi Abdul Mahdi menolak.



Credit  cnnindonesia.com



Di Irak, Trump Deklarasikan Berakhirnya Peran AS Sebagai 'Polisi'


Di Irak, Trump Deklarasikan Berakhirnya Peran AS Sebagai Polisi
Presiden Donald Trump berpidato dihadapan tentara AS yang ada di Pangkalan Udara al-Asad, Irak. Foto/Istimewa

BAGHDAD - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggunakan kunjungan kilatnya ke Irak untuk mempertahankan keputusannya menarik pasukan dari Suriah. Ia juga mendeklarasikan berakhirnya peran Amerika sebagai "polisi" global.

Trump mendarat pukul 7:16 malam waktu setempat di Pangkalan Udara al-Asad di Irak dalam kunjungan pertamanya ke zona perang. Ia didampingi oleh istrinya Melania, dalam kunjungan yang ia sebut sebagai penerbangan rahasia yang mengerikan dan tertutupi dalam Air Force One yang "gelap gulita".

Trump berbicara kepada sekitar 100 personel pasukan yang sebagian besar pasukan khusus dan secara terpisah dengan para pemimpin militer sebelum pergi beberapa jam kemudian. Pertemuan yang direncanakan dengan Perdana Menteri Irak Adel Abdel Mahdi dibatalkan dan diganti dengan panggilan telepon, kata kantor perdana menteri Irak.

Video Gedung Putih memperlihatkan Trump yang tersenyum berjabat tangan dengan personel yang berpakaian kamuflase, menandatangani tanda tangan dan berpose untuk foto.

Kunjungan meningkatkan moral presiden ke pasukan AS di zona perang telah menjadi tradisi yang telah berlangsung lama di tahun-tahun setelah serangan teroris 11 September 2001. Trump selama ini di kritik karena menolak berkunjung dalam dua tahun pertama masa kepresidenannya.

Tetapi spekulasi telah meningkat bahwa ia akhirnya akan membuat gerakan setelah keputusannya yang kontroversial untuk memangkas tingkat pasukan di Afghanistan dan menarik diri sepenuhnya dari Suriah.

Di pangkalan militer, Trump berusaha untuk mempertahankan kebijakan "American first" untuk menarik kembali AS dari aliansi multinasional, termasuk apa yang bagi banyak orang Amerika tampak seperti perang tanpa akhir di Timur Tengah.

"Itu tidak adil ketika bebannya ada pada kita," katanya seperti dikutip dari Arab News, Kamis (27/12/2018).

“Kami tidak ingin dimanfaatkan lagi oleh negara-negara yang menggunakan kami dan menggunakan militer kami yang luar biasa untuk melindungi mereka. Mereka tidak membayar untuk itu dan mereka harus melakukannya," ujarnya.

“Kami tersebar di seluruh dunia. Kami berada di negara yang belum pernah didengar oleh kebanyakan orang. Terus terang, ini konyol," tambahnya.

Trump mengatakan kepada wartawan bahwa ia telah menolak para jenderal yang meminta untuk memperluas penempatan pasukan di Suriah, di mana sekitar 2.000 pasukan AS dan pasukan asing lainnya kebanyakan membantu pejuang lokal memerangi ISIS.

"Kamu tidak bisa punya waktu lagi. Anda punya cukup waktu," katanya kepada para petinggi.

Penarikan - dan cara yang tiba-tiba diumumkan - turut menjadi penyebab pengunduran diri Menteri Pertahanan, Jim Mattis, yang telah menjadi salah satu tokoh penting pemerintah.

Dalam surat pengunduran dirinya dengan kata-kata yang luar biasa kuat, Mattis tampak mencaci Trump ketika dia menekankan pandangannya sendiri yang sangat kuat tentang memperlakukan sekutu dengan hormat dan juga menjadi jernih tentang aktor jahat dan pesaing strategis.

Trump juga menerima kritik dari Prancis dan mitra asing lainnya serta tokoh senior di partainya sendiri dari Partai Republik. 


Namun, membebaskan Amerika dari perang telah menjadi priorita bagi Trump sejak pemilu 2016 dan dia mengatakan waktunya tepat.

Kelompok ISIS, yang pernah mengendalikan petak-petak wilayah di Irak dan Suriah, sebagian besar telah didorong untuk bersembunyi dan Trump mengatakan pada hari Rabu: "Kami telah menjatuhkan mereka."

Di Afghanistan, ia ingin menarik sekitar setengah dari 14.000 tentara yang terkunci dalam perang melawan gerilyawan Taliban yang telah lama menyerupai jalan buntu.

Perjalanan ke Irak juga akan mengakhiri beberapa kecaman atas kegagalan Trump untuk bertemu tentara di lapangan, bahkan ketika ia berulang kali menggembar-gemborkan dukungannya bagi militer dalam kampanye.

Dan kunjungan itu memberikan beberapa gangguan dari gelombang pasang masalah politik domestik, termasuk penutupan pemerintah yang disebabkan oleh perselisihan Trump dengan Kongres atas pendanaan untuk tembok perbatasan AS-Meksiko. Tekanan juga meningkat dari serangkaian penyelidikan kriminal ke dalam keuangan Trump dan tautan ke Rusia.

Menurut Trump, penerbangan ke Irak tidak seperti apa yang dia alami sebelumnya.

"Jika Anda akan melihat apa yang harus kami lalui di pesawat yang gelap dengan semua jendela tertutup tanpa cahaya di mana pun - gelap gulita," katanya.

“Saya sudah berada di banyak pesawat terbang. Semua jenis dan bentuk serta ukuran. ”

"Jadi, apakah aku punya kekhawatiran? Ya saya punya masalah. "

Kantor perdana menteri Irak mengatakan dia menyambut Trump dan telah mengundangnya untuk mengunjungi Baghdad.

Trump mengundang Abdel Mahdi ke Washington, kata kantor itu, dan kedua pihak sepakat untuk terus memperkuat hubungan bersama antara kedua negara.





Credit  sindonews.com




Trump Diam-diam Kunjungi Tentara AS di Irak


Trump Diam-diam Kunjungi Tentara AS di Irak
Presiden AS Donald Trump tengah menghadapi masa sulit dengan militer AS, usia menarik pasukan dari Suriah. (REUTERS/Carlos Barria)


Jakarta, CB -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan ibu negara Melania Trump diam-diam mengunjungi tentara AS di Irak pada Rabu (26/12). Kunjungan liburan ini menuntaskan janjinya untuk mengunjungi salah satu zona perang AS.

Setelah penerbangan diam-diam dari Washington, Trump dan sang istri mendarat di jalur udara gelap di Pangkalan Udara Al Asad di sebelah barat Baghdad. Situasi keamanan yang tidak pasti membuat Trump harus melakukan kunjungan diam-diam di wilayah yang sudah diinvasi oleh AS lebih dari 15 tahun ini.

Dikutip dari CNN, sebuah foto yang diunggah di Twitter oleh juru bicara Presiden menunjukkan Trump mengenakan mantel hitam dan dasi merah, berpose untuk foto dengan pasukan berseragam. Sementara ibu negara berdiri tersenyum di sampingnya, mengenakan blus berwarna mustard.



Trump meninggalkan sejumlah masalah di Washington, termasuk penutupan sebagian pemerintah (government shutdown) dan ekonomi yang tidak stabil. Dia juga menghadapi kritik karena serangkaian keputusan kebijakan luar negeri yang membuat tim keamanan nasionalnya berselisih.


Trump telah berusaha untuk menjauhkan diri dari keterikatan asing yang ia gambarkan sebagai kesalahan bodoh yang dilakukan oleh para pendahulunya, termasuk perang di Irak. Dia baru-baru ini memerintahkan penarikan 14 ribu tentara AS di Afghanistan dan 2.000 tentara dari Suriah.

Dia belum menyatakan rencananya untuk menarik lebih dari 5.000 pasukan Amerika di Irak yang tengah memerangi ISIS. Menurut Reuters, Trump mengatakan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk menarik pasukan dari Irak.
Trump sebelumnya telah berbicara dengan pasukan AS yang bertugas di luar negeri dari gedung putih melalui konferensi video. "Kita (AS) sekarang adalah polisi dunia dan AS membayar untuk itu. Kita bisa menjadi polisi dunia, tetapi negara-negara lain harus membantu kita," ujarnya saat itu.



Pendahulu Trump, George W. Bush melakukan empat perjalanan ke Irak setelah memerintahkan pasukan Amerika ke negara itu pada tahun 2003. Barack Obama pernah berkunjung. Keduanya juga melakukan perjalanan beberapa kali ke Afghanistan.

Kunjungan Trump dilakukan di tengan masa sulitnya dengan militer. Sekretaris pertahanan Trump mengundurkan diri pekan lalu setelah keputusan pasukan Suriah, menulis dalam surat pengunduran dirinya bahwa Trump pantas bersanding dengan pimpinan militer yang memiliki pandangan yang sama.

Penggantinya, mantan eksekutif Boeing, minim pengalaman kebijakan luar negeri maupun militer.

Trump menghadapi sorotan karena menunda kunjungan ke pasukan AS. Secara pribadi, dia bertanya-tanya apakah perjalanan seperti itu hanya akan berfungsi untuk menyoroti perang yang tidak didukungnya dan ingin diakhiri.


Namun, setelah menghadapi kritik karena membatalkan kunjungan ke pemakaman militer di Prancis karena hujan, Trump mengumumkan bahwa ia akan segera melakukan perjalanan ke zona perang pada November lalu.

Seperti presiden sebelum dia, kunjungan Trump diselimuti kerahasiaan. Dia meninggalkan Gedung Putih dengan tenang pada malam Natal dan detail perjalanannya sangat erat dilakukan di Sayap Barat.

Satu setengah tahun setelah dimulainya perang yang telah menewaskan hampir 5.000 tentara Amerika, Irak tetap menjadi tempat yang berbahaya.

Invasi yang dipimpin AS pada 2003 menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein, tetapi selama beberapa tahun kemudian pasukan AS terlibat dalam pertempuran panjang di seluruh negara itu, memerangi pemberontakan dan kemudian kekerasan sektarian.

Pada puncaknya, jumlah pasukan AS di Irak hampir mencapai 166 ribu. Setelah misi tempur berakhir pada 2010, beberapa pasukan tetap tertinggal untuk membantu menstabilkan negara.

Ribuan lainnya kembali empat tahun kemudian untuk bertempur melawan ISIS. Irak secara resmi menyatakan kemenangan terhadap kelompok teror itu setahun yang lalu, tetapi pasukan AS tetap membantu menstabilkan wilayah negara itu dan melatih tentara Irak.



Trump mengkritik pendahulunya, Obama, karena menarik pasukan terlalu cepat dari Irak, mengklaim itu memungkinkan ISIS bergerilya.

Pemerintahan Obama tidak dapat mencapai kesepakatan dengan pemerintah Irak untuk memungkinkan sisa pasukan AS menjaga stabilitas di negara itu. Namun, dengan membawa pasukan pulang dan menyatakan akhir resmi untuk Perang Irak, Obama memenuhi janji kepada pemilih untuk mengakhiri perang yang dimulai Bush.

Trump sekarang mendapati dirinya bersemangat untuk memenuhi janji-janjinya sendiri mengurangi keterlibatan AS di luar negeri. Itulah yang mendorong keputusannya baru-baru ini untuk membawa pasukan AS keluar dari Suriah dan Afghanistan.

Namun, keputusan itu tidak populer di antara tim keamanan nasionalnya sendiri, termasuk Menteri Pertahanan James Mattis, yang mengundurkan diri pekan lalu.

Mereka dan pejabat lainnya memperingatkan Trump bahwa meninggalkan wilayah itu sekarang akan memungkinkan ISIS, atau kelompok teror lain, untuk mendapatkan kembali pijakan. Namun, Trump bersikeras bahwa sudah tiba waktunya bagi personel AS untuk pulang.





Credit  cnnindonesia.com








Arab Saudi Bantah Bakal Bangun Kembali Suriah



Arab Saudi Bantah Bakal Bangun Kembali Suriah
Seorang bocah Suriah duduk diatas sebuah tank yang hancur akibat perang saudara di negara itu. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Seorang pejabat di Kedutaan Arab Saudi di Washington mengatakan bahwa pihak kerajaan belum membuat perjanjian keuangan baru yang besar untuk Suriah sejak Agustus. Saat itu, Departemen Luar Negeri mengumumkan bahwa Arab Saudi telah berkomitmen USD100 juta untuk dana stabilisasi wilayah Suriah dibebaskan dari militan ISIS oleh koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS).

"Kerajaan Saudi adalah kontributor utama Koalisi Global untuk Mengalahkan ISIS, menerbangkan jumlah sorti tertinggi kedua terhadap ISIS di Suriah, dan juga, menyumbangkan jutaan dolar untuk upaya bantuan di sana," kata seorang pejabat kedutaan Saudi seperti dilansir dari CNBC, Kamis (27/12/2018).

Pernyataan ini sekaligus membantah perkataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengumumkan bahwa Arab Saudi setuju untuk menghabiskan uang yang diperlukan guna rekonstruksi Suriah.

"Arab Saudi kini telah setuju untuk menghabiskan uang yang diperlukan untuk membantu membangun kembali Suriah, bukan Amerika Serikat," kata Trump di akun Twitternya.

"Lihat? Bukankah itu menyenangkan ketika negara-negara yang sangat kaya membantu membangun kembali tetangga mereka daripada sebuah Negara Besar, AS, yang berjarak 5.000 mil. Berkat Saudi A!" imbuhnya.


Pada hari Rabu waktu setempat, Gedung Putih mengklarifikasi bahwa tweet Trump tidak dimaksudkan untuk mengumumkan komitmen baru dari Arab Saudi.


"Amerika Serikat menyambut baik kontribusi semua anggota koalisi terhadap kekalahan ISIS di Suriah, termasuk kontribusi masa lalu yang kuat dari Arab Saudi," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Garrett Marquis.

"Ketika kita melihat upaya masa depan untuk memastikan kekalahan ISIS yang abadi, termasuk menstabilkan daerah yang terbebas dari ISIS, kami akan bekerja sama erat dengan sekutu dan mitra untuk berbagi beban upaya ini," tukasnya. 



Credit  sindonews.com




Tahun Depan Rusia Miliki Sistem Rudal Berkekuatan Nuklir


Rusia akan mengambil reaksi keras jika Amerika Serikat melakukan segala bentuk serangan militer ke Iran
Rusia akan mengambil reaksi keras jika Amerika Serikat melakukan segala bentuk serangan militer ke Iran
Foto: irib
Sistem rudal ini memungkinkan tepat sasaran hingga antarbenua.



CB, MOSKOW— Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada tahun depan untuk pertama kali Rusia akan membuat rudal hipersonik berkekuatan nuklir dalam jumlah besar.


Ia menambahkan dengan langkah ini artinya Rusia memiliki tipe senjata strategis baru.


Hal ini Putin katakan saat memeriksa pra uji coba sistem rudal yang baru itu. Kantor Kepresidenan Rusia, Kremlin mengatakan sistem rudal yang baru tersebut dinamakan Avangard.


"Uji coba ini, yang mana sudah selesai, berakhir dengan sangat sukses, mulai tahun depan, 2019, pasukan bersenjata Rusia akan memiliki sistem rudal antarbenua yang baru Avangard," kata Putin kepada jajarannya, Rabu (26/12).


Putin mengatakan momen ini sangat penting bagi angkatan bersenjata dan bangsa Rusia.


Ia dengan bangga mengatakan Rusia telah memiliki tipe senjata strategis baru. Sistem rudal baru ini adalah salah satu dari beberapa senjata baru mereka yang Putin umumkan pada bulan Maret lalu.


udal-rudal Avangard dapat dengan mudah menghindari sistem pertahanan udara musuh.


Putin mengamati uji coba ini lewat jarak jauh di gedung Kementerian Pertahanan Rusia.


Dalam pernyataannya, Kremlin mengatakan uji coba senjata baru ini dilakukan di sebelah barat Rusia. Senjata itu berhasil menghancurkan sasaran yang berada di sebelah Timur Jauh Rusia.


Putin mengumumkan serangkaian senjata baru Rusia pada Maret lalu. Salah satu di antaranya Avangard. Senjata itu yang paling gencar Putin promosikan.


Dalam pidatonya Putin mengatakan kini Rusia dapat mengenai sasaran di mana pun di seluruh dunia dan menghindari sistem pertahanan rudal Amerika Serikat.  



Credit  republika.co.id








Darurat Militer di Ukraina Berakhir


Petro Poroshenko
Petro Poroshenko
Foto: Kyivpost
Tidak ada serangan besar dari Rusia.



CB, KIEV -- Keadaan darurat militer yang diberlakukan pada 25 November di beberapa kawasan Ukraina berakhir Rabu (26/12). Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengatakan awal bulan ini, ia tidak merencanakan untuk memperpanjang darurat militer melebihi satu bulan seperti diramalkan sebelumnya jika tidak ada serangan besar dari Rusia.

Sebelumnya, kapal-kapal angkatan laut Ukraina disita di Selat Kerch, antara Krimea yang dicaplok Rusia dan bagian selatan Rusia. Rusia mengatakan kapal-kapal itu memasuki perairan Rusia ketika berusaha melintasi selat tersebut tanpa pemberitahuan. Sementara, Ukraina menyatakan kapal-kapalnya tak memerlukan izin Rusia untuk melintasi selat itu.

Berdasarkan darurat militer, Ukraina melarang orang-orang Rusia yang berusia tempur memasuki negara itu. Ukraina juga meningkatkan keamanan di tempat-tempat strategis seperti pembangkit tenaga nuklir dan pelabuhan-pelabuhan di Laut Hitam.

Kepala militer Ukraina mengatakan bulan ini, Rusia telah menambah jumlah tentaranya dekat perbatasan sejak Agustus dan sekarang menimbulkan ancaman militer paling besar sejak tahun 2014, tahun negara itu mencaplok Krimea.




Credit  republika.co.id




Militerisasi Ruang Angkasa, AS Tebar Ancaman ke Rusia dan China


Militerisasi Ruang Angkasa, AS Tebar Ancaman ke Rusia dan China
Foto/Ilustrasi/Istimewa

MOSKOW - Cita-cita Washington untuk mendominasi militer di ruang angkasa berpotensi menimbulkan risiko bagi keamanan Rusia dan China. Demikian yang dikatakan oleh Duta Besar Rusia untuk China, Andrey Denisov.

"Memang, mitra AS kami mengklaim beberapa posisi dominan, termasuk militer di ruang angkasa, yang tentu saja, berpotensi menimbulkan ancaman bagi China, Rusia dan semua negara," kata Denisov seperti disitir dari Sputnik, Rabu (26/12/2018).

Denisov mengatakan baik Rusia maupun China memiliki sikap yang sama mengenai perlunya mencapai kesepakatan mengenai penciptaan sistem kontrol internasional dan pembatasan penyebaran senjata di ruang angkasa.

"Kami memiliki dialog yang cukup aktif dalam organisasi internasional tentang beberapa bentuk kontrol atas penyebaran senjata di ruang angkasa. Penempatan senjata ofensif adalah sesuatu yang dapat dikenai sistem regulasi berdasarkan basis internasional," tuturnya.

"Jika masalah tersebut memungkinkan solusi, itu tidak ada hubungannya dengan meningkatkan potensi teknis tetapi terkait dengan mencapai kesepakatan tertentu yang akan membatasi proses ini, menempatkannya dalam kerangka kerja yang masuk akal. Dan masalah itu kami punya pandangan yang sama dengan China," ujar Denisov.

Pada 2008, Rusia dan China mengajukan diskusi di Konferensi Perlucutan Senjata tentang Perjanjian Pencegahan Penempatan Senjata di Luar Angkasa, Ancaman atau Penggunaan Kekuatan Terhadap Benda-benda Luar Angkasa. Dokumen itu berupaya menjaga ruang angkasa bebas dari senjata dan terbuka untuk penelitian damai oleh semua negara tanpa kecuali.

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyerukan pembentukan "Komando Luar Angkasa," cabang baru dari Departemen Pertahanan AS yang secara efektif akan memiliki kendali atas operasi militer AS di luar angkasa.

Pada bulan Oktober, Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan pada pertemuan pertama Dewan Antariksa Nasional yang baru dihidupkan kembali bahwa AS perlu menjadi dominan di ruang angkasa seperti di Bumi, karena musuh Washington secara aktif mengembangkan gangguan, peretasan, dan teknologi lainnya yang dimaksudkan melumpuhkan sistem komunikasi navigasi pengawasan militer. 




Credit  sindonews.com





Jalur Kereta Penghubung Dua Korea Terganjal Sanksi Amerika


Korea Utara dan Korea Selatan setuju untuk menjalankan sebuah proyek jalur kereta yang menghubungkan kedua negara sejak perang Korea meletup pada 1950 - 1953. Sumber:  Yonhap via REUTERS
Korea Utara dan Korea Selatan setuju untuk menjalankan sebuah proyek jalur kereta yang menghubungkan kedua negara sejak perang Korea meletup pada 1950 - 1953. Sumber: Yonhap via REUTERS

CB, Jakarta -Rencana pembangunan jalur kereta yang akan menghubungkan Korea Utara dan Korea Selatan masih dihadapkan pada kendala. Pembangunan jalur kereta ini belum bisa di mulai sampai sanksi ekonomi terhadap Korea Utara dicabut.
Dikutip dari Reuters, Rabu, 26 Desember 2018, Korea Utara dan Korea Selatan menyetujui pembangunan proyek jalur kereta ini sejak Oktober 2018 menyusul membaiknya hubungan kedua negara. Akan tetapi, proses pembangunan sampai sekarang masih tertatih.
"Ada banyak hal yang harus dilakukan sebelum proses pembangunan yang sebetulnya dimulai," kata Menteri Transportasi Korea Selatan, Kim Hyun-mee.

Menurut Kim, bahan-bahan dan investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan masih dilarang masuk ke Korea Utara oleh PBB dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat. Washington berkeras sanksi harus tetap diberlakukan hingga Korea Utara benar-benar menghentikan program senjata nuklirnya.

Terkait hal ini, Wakil Menteri Perkeretaapian Korea Utara, Kim Yun Hyok, menyerukan gerakan melawan sanksi yang berdampak pada pembangunan proyek kereta api ini. Dia mengatakan pembangunan proyek jalur kereta ini adalah keinginan rakyat.Kendati masih diselimuti sanksi ekonomi, namun Korea Utara dan Korea Selatan berencana melakukan survei tambahan dan tetap merancang jalur rel kereta yang proses penyelesaian proyek ini bisa memakan waktu satu sampai dua tahun.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un sebelumnya sudah setuju untuk melakukan denuklirisasi saat bertemu Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Juni 2018. Namun pelaksanaan denuklirisasi ini tak banyak mengalami kemajuan karena Pyongyang kecewa dengan Washington yang masih memberlakukan sanksi pada negara itu hingga program senjata nuklir Korea Utara benar-benar dihentikan.





Credit  tempo.co






Korea Selatan-Korea Utara Luncurkan Proyek Jalur Kereta


Korea Selatan-Korea Utara Luncurkan Proyek Jalur Kereta
Korea Selatan-Korea Utara Luncurkan Proyek Jalur Kereta

SEOUL - Dua Korea kemarin meluncurkan proyek untuk menghubungkan kembali jalur kereta dan jalan yang terputus sejak Perang Korea 1950-1953. Meski demikian, pembangunannya tidak dapat dimulai karena berbagai sanksi masih diterapkan pada Korea Utara (Korut).

Korea Selatan (Korsel) dan Korut telah sepakat pada Oktober untuk bekerja menghubungkan kembali jalan dan jalur kereta sebagai bagian perbaikan hubungan dua Korea. Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) khawatir perbaikan hubungan itu akan merusak upaya menekan Korut agar bersedia menyerahkan senjata nuklirnya.

“Ada banyak hal harus dilakukan sebelum kita benar-benar dapat memulai konstruksi,” ungkap Menteri Transportasi Korsel Kim Hyun-mee, kemarin, sebelum upacara peluncuran di kota Kaesong di sisi perbatasan Korut.

Bahan material dan investasi diperlukan untuk konstruksi itu dilarang sesuai sanksi AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diterapkan dalam program nuklir dan rudal Korut. Washington menegaskan berbagai sanksi itu tetap diberlakukan hingga Pyongyang menyerahkan senjata nuklirnya.

Para pejabat Korsel, politisi dan anggota keluarga yang mengungsi akibat perang dibawa dengan kereta khusus menuju upacara peluncuran tersebut. Shin Jang-chul yang mengemudikan kereta barang terakhir antara dua Korea saat keduanya mengoperasikan kawasan industri bersama satu dekade lalu tidak pernah menduga dia akan kembali ke Korut.

“Saya sangat tersentuh. Ini sudah 10 tahun dan saya bertanya-tanya apakah saya dapat kembali lagi setelah saya pensiun,” ungkap Shin pada kantor berita Reuters.

Shin dan lainnya itu bergabung dengan delegasi Korut, serta para pejabat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), China, Rusia dan Mongolia. Berbicara dalam acara itu, Wakil Menteri Kereta Korut Kim Yun-hyok menyerukan tekad untuk berdiri melawan hembusan angin yang mengancam proyek tersebut.

“Hasil proyek kereta dan jalan ini bergantung pada semangat dan tekad rakyat kita,” papar Kim.

Menteri Transportasi Korsel Kim Hyun-mee menyatakan kedua pihak akan melakukan survei gabungan tambahan dan desain kerja yang membutuhkan waktu satu atau dua tahun hingga selesai.    

Upacara peluncuran proyek yang digelar kemarin itu menjadi contoh baru membaiknya hubungan antara dua Korea yang secara teknis masih berperang setelah konflik itu berakhir dengan gencatan senjata dan bukan traktat perdamaian.

Meski demikian, berbagai inisiatif ekonomi skala besar belum dimulai karena kurangnya kemajuan dalam denuklirisasi Korut.
Pemimpin Korut Kim Jong-un sepakat bekerja untuk denuklirisasi saat konferensi tingkat tinggi (KTT) dengan Presiden AS Donald Trump di Singapura pada Juni lalu. 

Namun berbagai negosiasi tak mengalami kemajuan besar karena Pyongyang kecewa dengan Washington yang tetap menerapkan sanksi hingga Korut mengambil langkah nyata menyerahkan senjata nuklir.

“Korsel berupaya membangun sesuai berbagai kesepakatan yang ada, yakin bahwa membaiknya hubungan antar-Korea akan memiliki dampak positif pada denuklirisasi,” ujar Shin Beom-chul, pengamat di Asan Institute for Policy Studies, Seoul, Korsel.

Dia menambahkan, “Tapi karena tidak ada konstruksi nyata, Korut akan tetap menekan Korsel agar mewujudkannya meski ada berbagai sanksi, sesuai upaya Kim untuk menopang rezimnya.”

Sementara, hubungan antara Korut dan AS justru semakin memburuk dengan berbagai langkah yang diambil Washington. Pekan ini, Pengadilan AS memerintahkan Korut membayar ganti rugi sebesar USD501 juta (Rp7,3 Triliun) terkait penyiksaan dan kematian mahasiswa AS Otto Warmbier. 

Warmbier meninggal dunia pada 2017 beberapa saat setelah dibebaskan dari penjara Korut. Orangtua Warmbier menggugat Korut pada April terkait kematian putranya. Mahasiswa usia 22 tahun itu meninggal beberapa hari setelah dia kembali ke AS dalam keadaan koma. Seorang koroner asal Ohio menyatakan penyebab kematiannya adalah kekurangan oksigen dan darah ke otak.

“Korut bertanggung jawab atas penyiksaan, penyanderaan dan pembunuhan di luar proses pengadilan terhadap Otto Warmbier dan melukai ibu dan ayahnya, Fred dan Cindy Warmbier,” papar Hakim Bery Howell di Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Kolumbia dalam vonis yang dibacakannya, dilansir Reuters.

Pyongyang menyalahkan botulisme dan menelan obat tidur sebagai penyebab kematian Warmbier serta menyangkal tuduhan telah terjadi penyiksaan.

Fred dan Cindy Warmbier menyatakan mereka telah menjanjikan keadilan untuk putranya. “Kami berterima kasih bahwa AS memiliki sistem pengadilan yang terbuka dan adil sehingga dunia dapat melihat bahwa rezim Kim secara legal dan moral bertanggung jawab atas kematian Otto,” ungkap pernyataan keduanya.



Credit  sindonews.com




Australia Dukung Palestina Merdeka Usai Klaim Soal Yerusalem


Australia Dukung Palestina Merdeka Usai Klaim Soal Yerusalem
Australia menyatakan tetap mendukung kemerdekaan Palestina dan solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik, walau mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel. (Anadolu Agency/Mostafa Alkharouf)




Jakarta, CB -- Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan menyatakan negaranya tetap mendukung kemerdekaan Palestina, walau mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel.

Quinlan juga menuturkan Australia tetap berkomitmen mendukung solusi dua negara menjadi satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

"Sesuai dengan komitmen kami untuk solusi dua negara, Pemerintah Australia mengakui aspirasi rakyat Palestina untuk sebuah negara masa depan dengan Ibu Kota di Yerusalem Timur," ucap Quinlan melalui pernyataan yang ia unggah di akun Twitternya pada Senin (17/12).



Pernyataan itu diutarakan Quinlan menyusul sikap Perdana Menteri Scott Morrison soal Yerusalem Barat pada Sabtu (15/12) lalu.

Keputusan itu diambil Morrison lantaran Yerusalem Barat selama ini telah menjadi tempat di mana parlemen Israel, Knesset, dan lembaga pemerintah Israel lainnya beroperasi. Namun, Morrison menuturkan Australia belum berniat memindahkan kantor kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem Barat.

Quinlan menuturkan relokasi kedutaan itu tidak akan dilakukan "sampai status final Yerusalem telah diputuskan melalui negosiasi antara Palestina dan Israel."

Australia telah mempertimbangkan merelokasi kedutaan besarnya untuk Israel ke Yerusalem sejak Oktober lalu.

Kala itu, Morrison mengatakan pertimbangan ini muncul lantaran proses perdamaian antara Israel dan Palestina tak kunjung usai. Penyebabnya adalah kedua negara memperebutkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka kelak.

Pernyataan Morrison ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Indonesia. Sebagai pendukung Palestina, Indonesia menentang keras rencana Australia tersebut karena dianggap semakin mengancam prospek perdamaian Israel-Palestina.

Palestina juga menyatakan kecewa dengan sikap Australia dengan pengakuan atas Yerusalem Barat.


Selain itu, Indonesia menilai langkah kontroversial Australia yang terinspirasi dari Amerika Serikat itu melanggar hukum internasional.

Tak lama setelah rencana kontroversial itu diumumkan Morrison, Indonesia langsung menerbitkan pernyataan kecaman hingga memanggil duta besar Australia di Jakarta.

Indonesia bahkan mengancam rencana Negeri Kangguru itu bisa mempengaruhi proses penyelesaian perjanjian perdagangan bernilai US$11,4 miliar (sekitar Rp17,3 triliun) dengan Australia.



Credit  cnnindonesia.com




Rusia Tuding Israel Langgar Kedaulatan Suriah


Burung merpati terbang di Alun-Alun Marjeh di Damaskus, Suriah, Sabtu, 27 Februari 2016.
Burung merpati terbang di Alun-Alun Marjeh di Damaskus, Suriah, Sabtu, 27 Februari 2016.
Foto: AP Photo/Hassan Ammar
Serangan Israel menyebabkan tiga tentara Suriah terluka.



CB, MOSKOW – Rusia menuduh Israel telah melanggar kedaulatan Suriah. Dalam serangan udara yang dilancarkan pada Selasa (25/12), pesawat tempur Israel bahkan mengancam dua penerbangan sipil di Damaskus.


"Kami sangat prihatin dengan serangan-serangan itu dan bagaimana serangan itu dilakukan. Ini merupakan pelanggaran berat terhadap kedaulatan Suriah," kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan dikutip Aljazeera, Rabu (27/12).

Menurut media pemerintah Suriah, pertahanan udara Suriah berhasil mencegah rudal Israel di dekat Damaskus. Namun, Israel berdalih rudal itu merupakan upaya perlindungan diri dari tembakan tembakan anti-pesawat.


"Sebuah sistem pertahanan udara (milik Israel) diaktifkan sebagai tanggapan terhadap rudal anti-pesawat yang diluncurkan dari Suriah," tulis akun Twitter resmi tentara Israel.


Moskow juga mengatakan serangan Israel membahayakan dua pesawat penumpang.


Juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia Igor Konashenkov mengatakan serangan dari wilayah Libanon itu terjadi ketika dua pesawat, bukan dari Rusia, bersiap mendarat di bandara Beirut dan Damaskus.


Konashenkov menjelaskan pembatasan diberlakukan pada penggunaan sistem pertahanan udara pasukan pemerintah Suriah untuk mencegah terjadinya tragedi. Salah satu pesawat dialihkan ke pangkalan udara Rusia di Suriah.


Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan, tiga tentara Suriah terluka dalam serangan. Pesawat-pesawat tempurIsrael menjatuhkan sebanyak 16 bom. Dari jumlah tersebut, 14 dihancurkan oleh sistem pertahanan Suriah.




Credit  republika.co.id




Rusia Sebut Serangan Israel ke Suriah Ancam Dua Penerbangan


Rusia Sebut Serangan Israel ke Suriah Ancam Dua Penerbangan
Ilustrasi serangan rudal. (Reuters)



Jakarta, CB -- Kementerian Pertahanan Rusia menyebut serangan rudal Israel di Suriah pada Selasa (25/12) secara langsung mengancam dua penerbangan sipil.

Dikutip dari Reuters, laporan media setempat, Interfax pada Rabu (26/12) menyebut Kementerian Pertahanan tidak merinci penerbangan mana yang sempat terancam. Namun, mereka menyebut pertahanan udara Suriah telah menghancurkan 14 dari 16 rudal Israel yang diluncurkan terhadap sasaran yang tidak ditentukan di dekat Damaskus.

Media pemerintah Suriah melaporkan tiga tentara Suriah terluka dalam serangan itu. Sedangkan militer Israel menolak mengomentari serangan rudal yang dilaporkan dan dituduhkan Rusia.



Berbicara pada upacara kelulusan untuk pilot baru di pangkalan angkatan udara Israel pada hari Rabu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak membuat referensi langsung ke serangan spesifik atau kritik Moskow.

Namun, dia menegaskan kembali niat Israel untuk mencegah pertahanan militer Iran yang ditujukan terhadap Israel di Suriah.

"Kami akan bertindak menentangnya, dengan penuh semangat dan terus-menerus, termasuk selama periode saat ini," kata Netanyahu.

Selama lebih dari tujuh tahun perang di negara tetangga Suriah, Israel telah tumbuh sangat mengkhawatirkan dengan musuh bebuyutan Iran, sekutu kunci Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Angkatan udara Israel telah menyerang sejumlah target yang digambarkannya sebagai penyebaran atau transfer senjata Iran ke gerakan Hizbullah yang didukung Iran di Libanon dalam konflik Suriah.





Credit  cnnindonesia.com





Survei Ungkap Separuh Warga Israel Menolak Kembali Dipimpin Netanyahu


Survei Ungkap Separuh Warga Israel Menolak Kembali Dipimpin Netanyahu
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Otoritas Penyiaran Israel terungkap bahwa setengah dari warga Israel tidak ingin Netanyahu menjadi PM Israel berikutnya. Foto/Istimewa

TEL AVIV - Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Otoritas Penyiaran Israel, terungkap bahwa setengah dari warga Israel tidak ingin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menjadi pemimpin Israel berikutnya.



Survei itu menunjukkan bahwa 37 persen orang Israel melihat Netanyahu sebagai favorit kuat untuk memenangkan pemilu dini yang akan digelar pada 9 April 2019 mendatang. Namun, 52 persen responden percaya bahwa Netanyahu seharusnya tidak menjadi Perdana Menteri berikutnya.



Melansir Anadolu Agency pada Rabu (26/12), dalam survei itu juga disebutkan bahwa responden yakin partai Likud yang dipimpin Netanyahu akan memenangkan 30 kursi dari 120 kursi di Knesset atau Parlemen Israel.



Survei itu juga meramalkan bahwa Partai Yesh Atid dan Arab Joint List akan memenangkan masing-masing 13 kursi dalam pemilu mendatang, diikuti oleh partai Jewish Homedengan 12 kursi dan Uni Zionis dengan hanya 10 kursi.



Sebelumnya diwartakan, juru bicara Netanyahu pada Senin mengatakan, Israel akan mengadakan pemilu dini pada bulan April mendatang, Pemilu ini digelar setelah anggota koalisi pemerintahan Netanyahu bertemu untuk membahas perbedaan mengenai undang-undang.



"Para pemimpin koalisi memutuskan dengan suara bulat untuk membubarkan parlemen dan menggelar pemilu pada awal April," tulis juru bicara itu di Twitter.



Di bawah hukum Israel, pemilu harusnya diadakan pada November 2019. Pemerintah Netanyahu akan tetap di tempatnya sampai Perdana Menteri dan pemerintah Isral yang baru disumpah. 





Credit  sindonews.com




Kritik Erdogan, Netanyahu Dikecam Hamas


Kritik Erdogan, Netanyahu Dikecam Hamas
Kepala politik kelompok perjuangan Hamas, Ismail Haniyeh. Foto/Istimewa

GAZA - Kepala politik kelompok perjuangan Hamas, Ismail Haniyeh, mengecam kritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan baru-baru ini. Haniyeh menyebut Netanyahu penjahat, tidak pantas mengkritik Erdogan.

"Seorang penjahat dan pembunuh anak-anak seharusnya tidak memberi pelajaran tentang kemanusiaan," kata Haniyeh, merujuk pada perdana menteri Israel itu.

"Mereka yang melanjutkan aksi terorisme dan ketidakadilan di Palestina seharusnya tidak mengkritik mereka yang mendukung kaum tertindas di seluruh dunia," tambahnya seperti dikutip dari Anadolu, Rabu (26/12/2018).

Haniyeh mengaitkan pernyataan Netanyahu yang bermusuhan terhadap Erdogan dengan "kepanikan" yang melandanya menghadapi boikot global terhadap Israel dan semburan tuduhan korupsi.

Dalam tweetnya pada hari Minggu, Netanyahu menyerang Erdogan atas upaya kontra-terorisme Turki yang sedang berlangsung di tenggara Turki. Netanyahu juga menyerang Erdogan terkait permasalahan dengan Siprus. 




Credit  sindonews.com