Sedikitnya 70 warga Rohingya tewas
terbunuh di negara bagian Rakhine dalam gelombang kekerasan baru
terhadap etnis minoritas Muslim Myanmar itu. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Jakarta, CB
--
Sedikitnya 70 warga Rohingya tewas terbunuh di
negara bagian Rakhine dalam gelombang kekerasan baru terhadap etnis
minoritas Muslim Myanmar itu. Menurut pengamat, warga sipil Rohingya
kembali menjadi sasaran kebengisan militer Myanmar yang memiliki catatan
buruk pelanggaran hak asasi manusia.
"Masalahnya, tentara Burma
[Myanmar] memiliki catatan yang sangat buruk jika berhubungan dengan
warga sipil. Mereka benar-benar menembak dulu, baru bertanya kemudian,"
kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia di lembaga HAM Human
Right Watch (HRW), seperti dikutip CNN.
Pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi berdalih mengejar teroris saat
menggelar operasi di desa-desa Rohingya di Rakhine. Namun kenyataannya,
berbagai laporan kekerasan muncul, seperti pembunuhan, penyiksaan,
pembakaran hingga perkosaan terhadap warga Rohingya dilakukan oleh
tentara Myanmar.
Suu Kyi yang dilabeli sebagai tokoh demokrasi
Myanmar hingga saat ini tidak terlihat batang hidungnya. Peraih
Penghargaan Nobel Perdamaian ini bungkam dalam mengomentari kekerasan
terhadap Rohingya.
Rohingya, warga yang tidak memiliki
kewarganegaraan, menjadi target serangan militer setelah 300 orang
bersenjata menyerang dan membunuh tentara dan polisi Myanmar. Pemerintah
Suu Kyi tidak menyebut siapa pelakunya, namun PBB mengatakan bentrokan
terjadi antara "organisasi etnis bersenjata" dengan militer.
Sejak
saat itu, polisi dan tentara menutup wilayah Maungdauw di Rakhine dan
Rohingya kena getahnya. Tentara menyisir desa-desa Rohingya yang
diyakini tempat bersembunyi para penyerang aparat. Dalam penyisiran,
pembunuhan dan penjarahan dilakukan militer terhadap etnis yang dijuluki
"paling tertindas di dunia" itu.
HRW mencatat lebih dari 1.000
rumah warga Rohingya rata dengan tanah. Bangunan-bangunan mereka
dibakar, terlihat dari titik-titik api pada citra satelit pada beberapa
desa. Militer juga mengerahkan helikopter untuk menembaki warga Rohingya
di Rakhine.
"Mereka melakukan bumi-hangus. Militer memang berhak
mencari siapa yang menyerang penjaga perbatasan, tapi ini
sudah berlebihan," kata Robertson.
Menurut Komisi Penasihat untuk
Negara Bagian Rakhine yang juga mantan Sekjen PBB, Kofi Annan,
kekerasan terhadap Rohingya membuat negara itu "kembali tidak stabil dan
menyebabkan pengungsi baru."
Gelombang kekerasan kali ini
membuat 30 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Berbagai lembaga
non-pemerintahan menyebut pemerintah melarang mereka masuk ke daerah
konflik, informasi dari wilayah itu juga terbendung. Mereka juga
mendesak pemerintah Myanmar memperbolehkan masuk pelapor PBB untuk
menyelidiki kekerasan dan pelanggaran HAM.
"Ini benar-benar
peningkatan kekerasan, dan dikombinasikan dengan melarang masuk semua
orang ke wilayah itu.Membiarkan Militer Burma menyelidiki sendiri adalah
jurus untuk menutupi [kejahatan]," lanjut Robertson.
Credit
CNN Indonesia
Lebih Dari 1.000 Rumah Warga Rohingya Rata Dengan Tanah
Dalam pengamatan citra satelit oleh
lembaga Human Right Watch, rumah warga Rohingya yang hancur lebih banyak
ketimbang yang diklaim pemerintah Myanmar. (AFP Photo/Ye Aung Thu)
Jakarta, CB
--
Lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya di lima desa
negara bagian Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah. Laporan berdasarkan
pengamatan satelit lembaga Human Right Watch ini mematahkan klaim
pemerintah Myanmar soal dampak kekerasan terhadap Rohingya yang memuncak
akhir tahun ini.
Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya,
Senin (21/11), mengatakan setidaknya ada 1.250 bangunan milik warga
Rohingya yang hancur akibat terbakar atau ambruk karena serangan militer
atau warga di distrik Maungdauw, Rakhine, antara 10-18 November. Citra
satelit juga menunjukkan titik api yang masih menyala di beberapa desa
distrik tersebut selama beberapa hari dari 12-15 November lalu.
Jumlah rumah warga Rohingya yang hancur ini bertentangan dengan klaim
pemerintah yang mengatakan "hanya" ada 300 bangunan yang dirusak. HRW
mendesak pemerintah Myanmar segera bergerak untuk menyelidiki serangan
terhadap warga Rohingya, ketimbang hanya membela diri dan menuding
"teroris" berada di balik serangan itu.
"Daripada merespons
dengan tudingan gaya zaman militer dan membantahnya, pemerintah
seharusnya melihat faktanya. Citra satelit yang mengkhawatirkan ini
menunjukkan kehancuran desa-desa Rohingya jauh lebih buruk dibanding
yang diakui pemerintah," kata Brad Adams, direktur Asia untuk HRW.
Kekerasan
terhadap warga Rohingya di Myanmar kembali memuncak setelah terjadi
serangan terhadap pos polisi pada 9 Oktober lalu, menewaskan sembilan
aparat. Pemerintah Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik
serangan itu, namun belum ada bukti yang jelas soal tuduhan tersebut.
Myanmar
kemudian menjadikan distrik Maungdaw sebagai "zona operasi militer"
dengan menerapkan penggeledahan, jam malam dan pembatasan pergerakan
warga. Dalam operasi ini, dilaporkan 70 warga Rohingya tewas terbunuh,
lebih dari 400 orang ditahan.
Tentara juga dituding melakukan
pelanggaran HAM dengan menjarah, membakar rumah, menyiksa dan memperkosa
warga Rohingya. Menurut laporan PBB, lebih dari 30 ribu warga Rohingya
kehilangan tempat tinggal. Mereka kemudian mencoba kabur ke Bangladesh,
tapi tidak diperbolehkan melintas.
Pemerintahan Myanmar pimpinan
Aung San Suu Kyi membantah terjadinya pelanggaran HAM. Namun mereka juga
tidak memperbolehkan penyidik internasional dan jurnalis untuk memasuki
wilayah Rohingya yang hancur. Selain itu, lembaga bantuan kemanusiaan
juga terhambat memasuki daerah tersebut karena dicegah pemerintah.
Rohingya
adalah warga minoritas Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka karena dianggap keturunan
Bangladesh, kendati telah tinggal beberapa generasi di negara itu.
Pemerintah Bangladesh juga menolak mengakui mereka, membuat Rohingya
terombang-ambing tanpa status.
PBB menjuluki Rohingya sebagai
masyarakat paling tertindas di dunia. Tahun 2012, lebih dari 100 warga
Rohingya tewas dibunuh oleh kelompok Buddha radikal pimpinan biksu
Wirathu.
Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mendesak
pemerintah Suu Kyi untuk segera bertindak dan melindungi warga sipil
Rohingya. Lee menyayangkan kekerasan terhadap Rohingya selalu dibekingi
oleh militer.
"Aparat keamanan seharusnya tidak diberikan
katebelece (surat sakti) untuk meningkatkan operasi mereka," kata Lee
dalam pernyataannya, dikutip AFP.
Credit
CNN Indonesia
Tentara Myanmar Dituding Perkosa Puluhan Wanita Rohingya
Ilustrasi wanita Rohingya. (Reuters/Beawiharta)
Jakarta, CB
--
Puluhan wanita dari etnis Muslim Rohingya mengaku
telah menjadi sasaran kekerasan dan perkosaan tentara Myanmar yang
menyerbu desa mereka. Pengakuan ini kian menambah derita etnis Rohingya
yang telah dijuluki "paling tertindas di dunia ini".
Pengakuan
ini disampaikan oleh delapan wanita Rohingya dari desa U Shey Kya di
negara bagian Rakhine yang diberitakan Reuters, Jumat (28/9). Mereka
mengatakan, tentara Myanmar menyerbu desa mereka, masuk ke rumah-rumah
warga, menjarah harta benda dan memperkosa para wanita di bawah todongan
senjata.
Militer memang telah diturunkan ke Maungdauw sejak 9 Oktober, dengan
alasan memburu kelompok militan Rohingya yang diduga terlibat pembunuhan
sembilan polisi dan lima tentara serta mencuri senjata.
Kepada
Reuters, wanita berusia 40 tahun dari U Shey Kya mengatakan empat
tentara telah memperkosanya dan menyerang putrinya yang berusia 15
tahun. Perhiasan dan uang miliknya juga dijarah.
"Mereka membawa
saya masuk ke dalam rumah. Mereka merobek pakaian saya dan melepas
kerudung saya," kata ibu dua anak ini saat diwawancara Reuters di luar
rumahnya.
"Dua pria mencengkeram saya, setiap orangnya memegang
satu tangan saya, seorang lagi memegang rambut saya dan memperkosa
saya," lanjut dia lagi.
Juru bicara Presiden Myanmar Htin Kyaw,
Zaw Htay, membantah pengakuan tersebut. Htay bahkan menelepon komandan
militer di Maungdaw yang membenarkan ada penyerbuan pada 19 Oktober,
namun membantah adanya perkosaan.
"Tidak logis memperkosa di tengah desa yang berisi 800 rumah, tempat pemberontak bersembunyi," ujar Htay.
Pihak militer tidak merespons permintaan konfirmasi dari Reuters.
Warga
desa yang didatangi Reuters membenarkan terjadinya perkosaan dan
perusakan properti oleh tentara. Beberapa rumah terlihat terbakar di
desa itu. Menurut warga, tentara melakukan "operasi pembersihan."
Wanita Rohingya lainnya yang berusia 30 tahun juga mengaku diperkosa oleh tentara Myanmar.
"Mereka mengatakan kepada saya, 'Kami akan membunuhmu. Kami tidak akan membiarkanmu tinggal di negara ini," kata dia.
Wanita
ini mengatakan tentara menjarah emas, uang dan harta bendanya yang
lain. Selain itu tentara juga memasukkan pasir di tempat penampungan
beras di rumahnya.
"Kami tidak bisa pindah ke desa lain untuk
berobat. Saya tidak punya pakaian atau makanan untuk dimakan. Semuanya
dihancurkan. Saya merasa malu dan takut," kata wanita lainnya berusia 32
tahun.
Rohingya hidup menderita di Myanmar karena mereka tidak
dianggap sebagai warga negara oleh pemerintah. Sebagai warga yang
diabaikan, Muslim Rohingya tidak bisa menempuh pendidikan, mendapat
pekerjaan atau kebutuhan medis.
Mereka juga kerap terlibat
bentrok dengan umat Buddha Rakhine. Ratusan ribu di antara mereka kabur
ke luar negeri dengan perahu-perahu seadanya, beberapa terdampar di Aceh
tahun lalu.
Credit
CNN Indonesia
Bentrok dengan Militer, Warga Rohingya Lari ke Bangladesh
Ratusan Muslim Rohingya mencoba
melarikan diri dari Myanmar menyusul rangkaian bentrokan yang kian
memburuk sejak awal Oktober lalu (Foto: olivia harris)
Jakarta, CB
--
Ratusan Muslim Rohingya mencoba melarikan diri dari
Myanmar menyusul serangkaian bentrokan dengan pasukan militer di Rakhine
utara, Myanmar, pada akhir pekan lalu. Berdasarkan data dari militer
Myanmar, bentrokan ini telah menewaskan 130 orang.
Bentrokan ini
merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan sektarian oleh kelompok
Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu, yang menewaskan
200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Etnis
Rohingya selama ini dilaporkan menghadapi diskriminasi dan kekerasan
karena tidak dianggap sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah Myanmar
menganggap etnis Rohingya merupakan imigran ilegal dari Bangladesh.
Reuters melaporkan,
sejumlah warga Rohingya langsung ditembak mati saat mereka mencoba
menyebrangi Sungai Naaf, sungai yang memisahkan wilayah Myanmar dengan
Bangladesh. Sementara itu, sebagian warga Rohingya lainnya yang berupaya
mencapai perbatasan menggunakan perahu ditolak oleh penjaga perbatasan
Bangladesh, sehingga mereka diperkirakan akan terombang-ambing di laut.
"Pada Selasa pagi, 86 warga Rohingya termasuk 40 wanita dan 25 anak-anak
dicegat oleh penjaga perbatasan Bangladesh (BGB) di titik perbatasan
Teknaf," ucap Letnan Kolonel Anwarul Azim, komandan sektor Cox Bazar di
Bangladesh Timur.
"Seluruhnya berupaya masuk ke Bangladesh dengan
menggunakan dua perahu. Tentara Bangladesh telah meningkatkan patroli
dan pasukan untuk memastikan keamanan di perbatasan," kata Anwarul
menambahkan.
Empat etnis Rohingya yang dihubungi oleh
Reuters membenarkan adanya upaya penembakan pada etnis Rohingya saat menyebrangi perbatasan untuk melarikan diri dari Myanmar.
Menurut
pemimpin komunitas Rohingya yang menolak identitasnya dipublikasikan,
sekitar 72 etnis Rohingya tewas terbunuh di tepi Sungai Naaf. Ia
mengatakan, militer Myanmar menembaki kerumunan etnis Rohingya yang
berusaha kabur secara membabi-buta.
"Banyak mayat yang mengambang
di laut," ucap salah satu pria yang berasal dari Maungdaw. Ia
menyebutkan sebagian kaum perempuan dan anak-anak Rohingya yang berasal
dari 10 desa di sana berupaya menyebrangi perbatasan. Sebagian dari
mereka terbunuh saat berusaha mencapai perahu.
Tentara Myanmar
telah melakukan operasi pembersihan dengan memperketat pengawasan di
utara Rakhine, wilayah yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, sejak
bentrokan pada 9 Oktober lalu. Bentrokan itu menewaskan sembilan polisi
Myanmar dan melukai lima lainnya.
Berdasarkan perhitungan
Reuters, bentrokan ini telah menewaskan 102 terduga militan dan 32 polisi.
Dalam
insiden itu, puluhan senjata dan lebih dari 10 ribu amunisi dicuri dari
polisi perbatasan. Pihak berwenang Myanmar meyakini etnis Rohingya yang
memantik bentrokan tersebut.
Petugas kemanusiaan serta pihak
berwenang Bangladesh memperkirakan sekitar 500 warga Rohingya telah
melarikan diri dari Myanmar sejak bentrokan awal Oktober lalu itu. Kini,
para pengungsi Rohingya untuk sementara terpaksa tinggal di empat kamp
penampungan yang terletak di perbatasan Bangladesh.
Namun,
pengamanan militer Myanmar yang ketat di wilayah itu juga menghambat
pengiriman bantuan, seperti pasokan makanan dan obat-obatan.
Sumber dari
Reuters mengatakan, kecil kemungkinan kelompok Rohingya itu kembali ke desa-desa mereka di Myanmar.
Penduduk
dan para aktivis HAM menduga, pasukan keamanan Myanmar telah melakukan
eksekusi, pemerkosaan, dan pembakaran rumah warga Rohingya. Dugaan ini
diperkuat dengan citra satelit yang menunjukan kerusakan yang meluas di
desa-desa yang dihuni etnis Rohingya, termasuk pembakaran sekitar 430
rumah warga.
Publik internasional telah menyarankan pemerintah
Myanmar melakukan penyelidikan independen terkait konflik kemanusiaan
yang mendera etnis Rohingya. Namun, alih-alih menyelesaikan insiden
kemanusian ini, pemerintah malah memperingatkan warganya akan adanya
dugaan "pengalihan persepsi publik" yang dilakukan oleh "kelompok
militan yang berbasis di Rakhine."
"Kelompok militan memanfaatkan
negara sebagai dasar untuk menyebabkan kerusuhan dan kekacauan demi
mendapat perhatian internasional untuk menekan Myanmar," ucap Direktur
Jenderal Kementerian Luar Negeri Myanmar Aye Aye Soe.
Menteri
Urusan Perbatasan negara bagian Rakhine, Kolonel Htain Lin, menolak
memberi komentar terkait situasi ini. Kepala Kepolisian Maungdaw, Mayor
Kyaw Mya Win berkata, warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah
mencoba menyerang anggota militer di sana.
"Penduduk desa di
Rakhine (yang sebagian besar merupakan etnis Rohingya) telah menjadi
pemberontak, termasuk para penduduk perempuan di sana," ucap Kyaw.
Credit
CNN Indonesia