AFP PHOTO / EMMANUEL DUNAND
Aparat keamanan membuat barikade di dekat Stasiun Metro Maalbeek,
Brussels, Belgia, setelah ledakan bom yang terjadi pada Selasa
(22/3/2016).
CB - Belgia,
selama ini dianggap sebagai sebuah negeri yang tenang, dikenal dunia
lewat kartu-kartu pos yang menampilkan kota-kotanya yang indah dan
permen cokelatnya.
Namun, penangkapan Salah Abdeslam, tersangka
pelaku serangan Paris tahun lalu yang menewaskan 130 orang, di distrik
Molenbeek, Brussels, menggeser kesan indah negeri mungil ini.
Kini, Belgia dianggap sebagai salah satu lahan subur tumbuhnya paham radikalisme di Eropa.
Kesan
itu semakin kuat setelah pada Selasa (22/3/2016), dua ledakan bom
mengguncang bandara Brussels dan stasiun kereta bawah tanah, dengan
korban puluhan orang tewas.
Apa yang menyebabkan Belgia menjadi lahan berkembangnya terorisme di Eropa?
Belgia adalah sebuah negara seluas 30.528 kilometer persegi dengan penduduk 11 juta jiwa.
Belgia,
secara ekonomi, merupakan negara yang makmur dengan pendapatan per
kapita mencapai lebih dari 43.000 dollar AS per tahun.
Dari sisi
kebhinekaan, Belgia juga bukan negara yang homonim. Hingga tahun 2007,
92 persen penduduk adalah warga Belgia dan sisanya adalah warga negara
Uni Eropa lainnya.
Selain itu sebagai sebuah negara, Belgia cukup terbuka untuk menerima warga negara baru.
Pada awal 2012, sekitar 25 persen warga Belgia adalah mereka yang memiliki latar belakang dan keturunan asing.
Jika
dirinci maka 1,2 juta orang adalah keturunan Eropa dan 1,35 juta
adalah keturunan negara non-Eropa, sebagian besar berasal dari Maroko,
Turki dan Republik Demokratik Kongo.
Sejak undang-undang
kewarganegaraan Belgia direvisi pada 1983, hingga saat ini sudah 1,3
juta migran menerima status sebagai warga negara Belgia.
Kelompok terbesar imigran yang kini beranak pinak di Belgia berasal dari Maroko, dengan jumlah lebih dari 450.000 orang.
Dari sisi keagamaan, meski mayoritas penduduk Belgia memeluk Katolik, namun kerajaan ini adalah negara sekuler.
Semua
agama bebas berkembang di negeri itu. Di Belgia kini 6 persen
penduduknya atau sekitar 628 ribu jiwa memeluk Islam, mayoritas adalah
warga keturunan Maroko.
Umat Muslim Belgia kebanyakan tinggal di kota-kota besar seperti Brussels, Antwerp, dan Charleroi.
Dari
profil ringkas Belgia itu, maka secara kasat mata seharusnya negeri
semakmur Belgia tidak menjadi ladang persemaian pemahaman radikal di
Eropa.
Molenbeek dan radikalismeSalah
Abdeslam, tersangka penyerangan Paris, meski warga negara Perancis, dia
lahir dan dibesarkan di distrik Molenbeek, Brussels.
Molenbeek
adalah sebuah distrik kelas pekerja dan sejak lama distrik ini identik
dengan kemiskinan dan kriminalitas di ibu kota Uni Eropa itu.
Bagi
warga Brussels, bukan hal yang aneh jika warga distrik ini terlibat
dalam berbagai kejahatan seperti penodongan, narkotika hingga
perampokan.
Bahkan dua serangan teror terakhir di Paris yaitu
penembakan kantor majalah Charlie Hebdo dan serangan yang gagal terhadap
kereta cepat Thalys, juga melibatkan warga Molenbeek.
Seperti
halnya kawasan miskin di berbagai belahan dunia, Molenbeek juga
merupakan kawasan terpadat di Brussels yang disesaki 95.000 orang, atau
dua kali lipat dari kawasan lain di Brussels.
Molenbeek dulu, pernah menjadi daerah yang makmur, tepatnya di akhir abad ke-18.
Revolusi industri dan pembangunan kanal Brusses-Charleroi membuat daerah ini makmur dari perdagangan dan manufaktur.
Kemunduran
Molenbeek terjadi pada akhir abad ke-19, ketika pemerintah Brussels
mereintegrasikan kanal dengan kawasan pelabuhan baru.
Kemunduran industri di Molenbeek sudah dimulai sebelum Perang Dunia I pecah, dan semakin cepat di masa Depresi Besar.
Sejak
itu upaya untuk mengembalikan kejayaan Molenbeek selalu gagal. Alhasil
sebagian besar penduduk distrik ini hidup dalam kondisi miskin.
Apalagi,
hampir 30 persen warga Molenbeek adalah pengangguran. Sehingga mereka
sangat mudah terjatuh dalam kriminalisme hingga radikalisme.
Ali, bukan nama sebenarnya, kepada
CNN mengatakan diskriminasi dan kurangnya peluang di Belgia membuat para pemuda negeri itu memilih jalan pintas.
Dua saudara laki-laki Ali, sudah berangkat ke Suriah dan salah satunya telah tewas di garis depan pertempuran.
"Banyak
dari kami merasa tak diterima di negara kami sendiri. Perasaan
termarjinalisasi inilah yang dieksploitasi para perekrut," ujar Ali.
Dia
menambahkan, meski sebagian besar dari mereka lahir dan besar di
Belgia namun negara selalu menganggap mereka sebagai orang asing.
"Negara
menganggap kami orang asing sehingga kami sulit mencari pekerjaan.
Negara memenuhi diri kami dengan kebencian dan mengatakan kami tak
berguna," tambah Ali.
"Jadi para pemuda melihat apa yang tengah terjadi di Suriah akhirnya memutuskan berangkat agar menjadi berguna," lanjut Ali.
Situasi ini adalah hal yang sangat berbahaya dalam memupuk bibit-bibit radikalisme.
"Ini
adalah kombinasi berbahaya antara kemiskinan dan kemunculan berbagai
organisasi berhaluan radikal," kata Bilal Benyaich, peneliti senior di
lembaga riset Itinera Institute seperti dikutip
CNBC.
"Di
Molenbeek, banyak anak muda yang belum pernah melihat pusat kota
Brussels. Mereka berkutat di ruang-ruang chat dan Facebook, berhubungan
dengan kelompok-kelompok paling radikal," tambah Benyaich.
Benyaich menegaskan, kelompok radikal jumlahnya sangat kecil dibanding jumlah seluruh umat muslim Belgia.
Namun,
dia mendesak, agar para politisi segera menelurkan strategi tepat untuk
memberantas radikalisme dengan layanan sosial, pendidikan, sistem hukum
dan kepolisian ditambah kebijakan luar negeri yang realistis.
Politik, politik dan politikNamun,
usulan Benyaich itu nampaknya sulit diwujudkan dalam waktu dekat, dan
penyebabnya adalah sistem politik Belgia yang unik jika tak mau disebut
aneh.
Seorang politisi Belgia, Hans Bonte, seperti dikutip harian Jerman
Spiegel, mengatakan, dia tak heran jika banyak tersangka kasus terorisme berasal dari Molenbeek.
Bonte
menyebut dua hal yang menyebabkan masalah ini, yaitu politik Belgia
yang terlalu lokal dan mininya pengawasan serta kontrol sosial terhadap
mereka yang sudah teradikalisasi.
Brussels, sebuah kota dengan penduduk sebanyak 1,2 juta jiwa, tak memiliki satu dinas kepolisian.
Kota ini, memiliki enam kepolisian yang bertanggung jawab terhadap 19 wali kota yang tak jarang adalah para rival politik.
Selain
itu, konflik tak teratasi antara dua populasi terbesar Belgia yaitu
warga Flemish yang berbahasa Belanda dan Waloons yang berbahasa Perancis
juga membayangi.
Usai serangan Paris tahun lalu, Menteri Dalam
Negeri Belgia Jan Flambon, yang seorang Flemish, mengusulkan agar keenam
kepolisian di Belgia melakukan merjer untuk mengantisipasi serangan
serupa.
"Itu adalah mimpi orang Flemish," kata Ahmed El Kahnnouss, wakil wali kota Molenbeek.
Dia mengatakan, Molenbeek, sebagai kawasan dengan penduduk berbahasa Perancis harus memiliki kepolisian dengan bahasa yang sama.
Hal ini, lanjut Kahnnouss, terkait dengan prinsip tradisional Belgia soal otonomi komunal.
Selain itu, aparat kepolisian terutama di kawasan-kawasan "kurang makmur" seperti Molenbeek, tak memiliki fasilitas memadai.
Eksportir anggota kelompok radikalDengan
berbagai kerumitan di lapangan itu, tak heran jika Belgia kini menjadi
saah satu "eksportir" utama pemuda ke kancah perang di Suriah dan Irak.
Menurut
data dari ICSR, Kings College London, hingga akhir tahun lalu sebanyak
500 warga Belgia berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Dari sisi jumlah warga yang pergi ke Timur Tengah, Belgia menempati urutan ketiga setelah Perancis dan Inggris.
Namun,
jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hanya 11 juta jiwa, maka
Belgia menjadi negara terbanyak yang mengirim pemudanya untuk berperang
di Suriah dan Irak.
Di Suriah, ratusan warga Belgia yang sebagian
besar masih berusia muda itu menjadi semakin teradikalisasi dan yang
paling berbahaya adalah mendapat pelatihan militer.
Setelah
kenyang pengalaman tempur mereka pulang dari Suriah dan setibanya di
Belgia tak ada sistem apapun yang bisa memantau aktivitas para veteran
perang ini.
"Untuk seorang pemuda yang teradikalisasi maka
dibutuhkan sebuah solusi terbaik yang khusus dibuat untuk dia. Dan itu
tak terjadi di Brussels dan sekitarnya," ujar Bonte.
Jadi yang diperlukan mungkin adalah pengawasan dan penanganan yang terukur dan bukan sekadar tindakan represif.
Sayangnya, Perdana Menteri Belgia Charles Michel memandang, tindakan represif menjadi yang utama.
"Hampir
selalu terdapat kaitan dengan Molenbeek. Kami sudah mencoba mencegah.
Kini kami harus represif. Kami selama ini tak ingin campur tangan dan
lemah. Kini kami harus membayar mahal," ujar Michel.
Yang jelas,
masalah radikalisme di Belgia adalah masalah bersama negara-negara
Eropa. Apalagi Brussels, jaraknya hanya "sepelemparan batu" dari Paris,
Perancis.
Brussels juga hanya berjarak beberapa jam dari kota-kota utama Eropa seperti Amsterdam, Koln, Strasbourg, Frankfurt atau Berlin.
Credit
KOMPAS.com