Kubu pendukung perubahan UUD memandang
UUD Jepang merupakan simbol kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
(Courtesy of the National Archives/Newsmakers/Getty Images)
Tokyo, CB
--
Apakah Undang-Undang Dasar Jepang merupakan simbol
perdamaian dan penghormatan terhadap nilai-nilai universal atau
pengingat kekalahan yang memalukan?
Sementara Perdana Menteri
Shinzo Abe bergegas meloloskan perundangan tak populer yang mengijinkan
penggunaan militer Jepang secara lebih luas ini, perdebatan sengit soal
keamanan menutupi perbedaan lebih besar terkait UUD pasifis yang dibuat
oleh para pejabat di masa Pendudukan AS setelah Jepang kalah Perang
Dunia II.
Pendukungnya memandang UUD itu sebagai sumber perdamaian, kemakmuran dan demokrasi Jepang.
Banyak
pendukung Abe yang konservatif, dan sejak lama ingin mengubah UUD
tetapi tidak memiliki kendaraan politik, memandangnya sebagai dokumen
buruk yang disusun “dengan niat buruk dan rasa balas dendam” agar Jepang
tetap tunduk selamanya.
“Jika kita mempertahankan UUD yang dibuat oleh GHQ (kantor pusat
pendudukan AS) kepada Jepang yang kalah perang, Jepang selamanya akan
diingat sebagai negara yang kalah,” ujar seorang kakek tua yang muncul
dalam kartun yang dirilis oleh Partai Demokrat Liberal pimpinan Abe
ketika menjelaskan alasan UUD itu harus diubah.
Pandangan ini
memperkuat kecurigaan dari pengkritik Abe bahwa rancangan perundangan
yang diusulkan untuk melonggarkan batasan pada militer merupakan langkah
untuk mengubah konstitusi, tidak hanya Pasal 9 yang pasifis, tetapi
prinsip-prinsip dasar seperti menghormati hak asasi manusia.
“Menurut
saya dia membenci konsep konsitualisme modern, konsep bahwa kekuasaan
pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang Dasar,” ujar Yasuo Hasebe,
pakar konstitusi dari Universitas Waseda kepada Reuters.
UUD
yang dibuat oleh para pejabat AS berdasarkan prinsip dari Jenderal
Douglas MacArthur dalam satu pekan yang penuh kekacauan di bulan
Februari 1946 ini melepaskan hak untuk berperang atau memiliki angkatan
bersenjata, dan mendahulukan demokrasi serta hak asasi manusia.
UUD
ini kemudian diperluas agar Jepang memiliki kekuatan militer sebesar
militer Inggris, tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan angkatan
bersenjata negara lain.
Ketika diminta berbicara di depan satu
panel parlemen oleh LDP, Hasebe menyatakan perundangan untuk mengijinkan
Jepang melaksanakan hak membela diri secara bersama, atau berjuang
untuk membela satu negara sahabat yang diserang, tidak konstitusional.
Pernyataan tersebut tentu saja menuai berbagai komentar.
Meski
muncul kehebohan itu, anggota parlemen dari partai yang berkuasa akan
mendorong RUU yang mengijinkan peran lebih besar bagi militer melalui
majelis rendah pada minggu ini agar lolos sebelum parlemen reses pada 27
September. Hal ini akan memperburuk tingkat popularitas Abe yang memang
semakin menurun.
Interpretasi BaruAbe
menegaskan dia ingin mengubah UUD, tetapi amandemen resmi memerlukan
dukungan dari dua pertiga kedua majelis parlemen, dan suara mayoritas
dalam referendum. Syarat-syarat ini hingga sekarang belum terpenuhi.
Alih-alih,
kabinetnya - yang mengatakan bahwa ancaman keamanan baru seperti China
membuat perubahan itu perlu dilakukan - mengadopsi satu resolusi yang
menginterpretasi ulang UUD agar bisa melakukan bela diri secara bersama.
“Ini adalah UUD yang diterapkan pada kita dan harus ditulis
ulang,” ujar Akira Momichi, guru besar Universitas Nihon, salah satu
ilmuwan yang mendukung upaya Abe.
 UUD
Dasar Jepang disusun berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh
Jenderal Douglas MacArtbur. (Andrew Lopez/Central Press/Getty Images)
|
“Tetapi proses amandemen merupakan proses dengan hambatan sulit, jadi kita harus mengambil jalan yang terbaik untuk kita semua.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar pakar konstitusi, pengacara dan hakim tidak sependapat.
“Karena mereka tidak bisa mengubah UUD, mereka tidak akan mengindahkannya,” kata Setsu Kobayashi, guru besar Universitas Keio.
Kekhawatiran mengenai perubahan memicu aksi unjuk rasa dan kegiatan akar rumput.
“Ini tidak sekadar masalah Pasal 9,” ujar Keiko Ota, pengacara yang hadir dalam pertemuan kecil di Tokyo.
“Pertanyaannya adalah apakah kita akan mau membuat negara ini tidak lagi diatur oleh hukum,” kata Ota.
Pembela UUD ini mengatakan bahwa meskipun dibuat oleh penjajah, UUD itu sudah diterima secara luas oleh rakyat Jepang.
Sementara kubu yang mendukung perubahan mengatakan perubahan UUD harus dilakukan sesegera mungkin.
“Kami
harus, dibawah pemerintah Abe, mengambil segala tindakan untuk
melindungi Jepang,” ujar Yoshiko Sakurai, pengamat dan sekutu Abe. “Ini
adalah waktu yang tepat untuk menulis ulang UUD.”
Credit
CNN Indonesia