Ilustrasi perbudakan. (Thinkstock/MagMos)
Jakarta, CB --
"Selamat datang di kapal neraka!"
Suara itu
masih terngiang di telinga Bambang Suherman, seorang bekas makelar motor
asal Tegal. Pada suatu pagi di bulan April lima tahun silam, hidupnya
mendadak suram saat melaut bersama Rich 01, sebuah kapal milik warga
Tiongkok.
Ia tak menyangka pada hari itu ia akan berkeliling dunia: melintasi
samudera, dan melewati berbagai benua. Bambang yang tadinya hidup jauh
dari laut—ia bahkan tak bisa berenang, tak menduga bakal bekerja di
kapal itu. Kisahnya panjang dan memilukan, dan berawal dari tergiurnya
ia bekerja di negeri asing.
Dari Jakarta ia pun terbang ke
Amsterdam, lalu berlanjut ke Trinidad. Dari Trinidad ia menjangkau Port
of Spain. Lalu dengan menumpang kapal kecil ia sampai ke Tobago. Dari
sini, ia dijemput si pemberi kerja, dan dibawa ke tengah laut. Total
perjalanannya 15 hari dari daratan Trinidad ke Tobago, Amerika Selatan,
hingga sampai ke geladak kapal Rich 01 itu.
“Ucapan ‘selamat
datang di neraka’ itu cukup mengagetkan saya,” ujar lelaki berusia 37
tahun itu kepada CNN Indonesia awal April lalu. Sapaan itu, kata
Bambang, datang dari seorang warga Indonesia yang sudah lebih dulu
bekerja di kapal penangkap ikan itu.
Kapal mulai bergerak. Ia
masih cukup letih. Di perairan lepas samudera Atlantik, ombak ganas
mengguncang keras. Ia bukan pelaut, perutnya seperti diaduk-aduk.
Bambang akhirnya ambruk karena mabuk. Saat itu ia rasanya ingin pulang
ke kampung. Tapi jaraknya begitu jauh.
Baru beristirahat dua jam,
dan mencoba untuk tidur, sebuah tendangan membangunkannya. Mual dan
pusing mendadak hilang. Tubuhnya kini perih dan sakit akibat pukulan dan
lecutan tali pinggang. “Saya dihardik dalam bahasa China, yang saya
tahu kala itu mungkin saya diperintahkan bekerja,” kata Bambang
mengenang.
Beranjak dari dek tempat tidur para anak buah kapal, lelaki tak
tamat SMP itu kembali bersua dengan para penyapanya di haluan kapal: Edi
Siswanto, Sanang dan Dober. Mereka awak kapal asal Indonesia, dan sudah
setahun lebih dulu bekerja. Lantaran belum pernah melaut, Bambang pun
bingung. Di tengah puyengnya menahan mabuk, ia membantu sebisanya,
menarik benang pancing sekuat tenaganya.
“Hari pertama saya
bekerja dari jam 12 siang sampai besok paginya, hanya sempat dua jam
tidur lalu ditendang untuk bekerja lagi,” katanya. “Saya rasa mungkin
ini hanya hari awal bekerja di kapal neraka.”
Tapi pekerjaan itu
memang cukup berat. Ia menarik benang pancing nyaris 20 jam sehari.
Tangan mulusnya sebagai makelar motor kini luka serius tersayat senar.
“Bangun setelah tidur dua jam, tangan saya tiba-tiba kaku. Untuk
menyendok nasi putih pun tak sanggup. Saya cuma bisa menangis,” ujar
lelaki berperawakan kekar itu.
Roda kekejaman itu terus
bergulir. Hari demi hari, tak pernah berhenti. Hitungan 20 jam kerja
rupanya dianggap lumrah. Mereka bekerja bagaikan budak di kapal neraka.
Bersama
Bambang, di kapal Rich 01 milik Kwo Jeng Trading Co Ltd itu, ada 15 kru
yang diperlakukan seperti budak. Lima orang dari Indonesia, tujuh dari
Tiongkok, empat orang Vietnam. Dua juragan kapal, masing-masing adalah
juru mesin dan kapten, berasal dari Tiongkok.
Pada siang hari,
mereka dipaksa menantang ombak ganas Atlantik di bawah matahari terik.
Lalu pada malam hari, disergap angin laut yang ganas, tangannya yang
luka dipaksa menarik senar pancing untuk mengangkat ikan yang terjerat
kail itu.
Tak usah bicara perlindungan, pekerjaan itu bahkan tak
dihargai. Para budak kapal menganggap semua itu hanya sebuah kewajiban.
“Bahkan merenggut nyawa juga tak mereka tak pedulikan,” kata Bambang.
Mirip
nasib Bambang, Imam Syafi’i punya cerita sama. Sebelum melaut dan
diperbudak, pemuda asal Tegal itu bekerja sebagai satpam di sebuah
perusahaan. Tapi seorang calo TKI di kampungnya bernama Birin
membujuknya bekerja di luar negeri. “Saya tidak tahu bekerja apa, yang
dia jelaskan pokoknya bekerja di luar negeri gajinya US$ 180 per bulan
dan dijanjikan bonus dua kali lipat jika pekerjaan bagus,” kata lelaki
29 tahun itu saat ditemui CNN Indonesia.
Imam meninggalkan
Indonesia pada Agustus 2011. Butuh dua hari tiga malam perjalanan udara,
tentu dengan singgah di sejumlah bandara, untuk mencapai Trinidad
Tobago. Setidaknya itu yang diingat Imam. “Port of Spain itu nama
pelabuhan tempat saya bertolak ke kapal penyiksa ABK bernama Rich 7.
Istilah kapal penyiksa itu saya simpulkan setelah saya diperbudak selama
dua tahun tanpa upah,” katanya kepada CNN Indonesia.
Perusahaan
tempat para anak buah kapal Indonesia bekerja dinyatakan organisasi
dunia sebagai pelaku illegal fishing. (CNN Indonesia/Sandy Indra
Pratama)
|
“Kok mau diajak masuk neraka?” ucapan itu meluncur dari seorang senior ABK yang bekerja lebih dulu tiga bulan dari Imam.
Setelah
sepekan bekerja, Imam baru sadar. Di atas kapal, jam kerja tergantung
pada kaptennya, seorang berkebangsaan Taiwan. Artinya bila kapten masih
menyuruh bekerja, terutama saat di fishing ground, para ABK tak boleh
berhenti sedetik pun. “Berhenti, maka pukulan dan tendangan bakal
melayang,” ujar Imam. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, bawaan dari
kapal neraka itu.
Ia terus bekerja, dan gilanya selama dua
tahun kapal itu tak pernah bersandar di dermaga mana pun. Hasil
tangkapan dijemput oleh kapal kecil, demikian juga kebutuhan logistik
kapal diantarkan di tengah laut.
Selama dua tahun upah US$ 180
yang mestinya diterima Imam tak pernah ia dapatkan. Pemilik kapal lantas
menelantarkan mereka mengapung di perairan Trinidad-Tobago pada 2013,
hingga akhirnya diselamatkan setelah enam bulan mengapung di tengah
lautan. (Baca cerita selanjutnya: Rayuan Permen Bagi Budak Indonesia di
Kapal Neraka)
Bambang dan Imam adalah sepenggal kisah muram
dari nasib awak kapal yang bekerja di kapal asing penangkap ikan. Ada
sekitar 262 ribu anak buah kapal warga Indonesia bekerja di luar negeri
berdasarkan data Kementerian Luar Negeri yang dicatat oleh Serikat
Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN). Sekitar 77% bekerja di kapal
penangkap ikan, dan mereka tersebar di Asia Pasifik, Amerika Selatan dan
Afrika. Sisanya melaut bersama kapal kargo (6,57%), kapal pesiar
(6,80%), kapal tanker (0,68%), dan tugboat (8,84%).
Bambang,
Imam, dan sejumlah rekan mereka bekas ABK yang diberangkatkan oleh PT
Karltigo pernah memperkarakan persoalan ini. Mereka menuntut perusahaan
perantara itu dan kasusnya dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Kondisi tempat tidur para anak buah kapal asal Indonesia saat terdampar di Trinidad dan Tobago (Dok.Istimewa)
|
Pengadilan digelar dari akhir 2013 hingga awal 2014. Di persidangan
terungkap kalau perusahaan itu tak berizin untuk memberangkatkan pelaut.
Bahkan, seorang saksi dari Kementerian Perhubungan dalam keterangannya
di persidangan menyebutkan kalau buku pelaut yang dibawa para budak asal
Indonesia itu palsu.
Sayangnya sang pemilik, Willy, hanya
dihukum ringan. Ia dijerat soal pemalsuan dokumen. Atas kesalahannya ia
hanya dihukum satu tahun bui dan denda sebesar Rp 40 juta subsidair lima
bulan kurungan. Ia tak dihukum atas pasal tindak pidana perdagangan
orang.
Kini,
Imam tak tahu lagi harus mengeluh kepeda siapa soal upahnya yang tak
pernah dibayarkan. Willy sendiri menurut Imam, sudah pergi ke luar
negeri. CNN Indonesia menemui banyak cerita yang sama dari mereka yang
pernah direkrut perusahaan itu. Mereka dijebak jadi pelaut, tanpa
kompetensi cukup, dan dibekali dokumen palsu.
Cerita soal
perbudakan di kapal penangkap ikan kembali mencuat setelah adanya
pemberitaan soal para ABK asal Myanmar, Thailand dan Vietnam di Benjina,
Kepulauan Aru, Maluku. Bambang, Imam dan rekan-rekan anak buah kapal
asal Indonesia di kapal asing juga sama terancam hidupnya.
Credit
CNN Indonesia
Credit CNN Indonesia
Credit CNN Indonesia
Rayuan Permen Bagi Budak Indonesia di Kapal Neraka
Ilustrasi Perbudakan. (Getty Images/Mario Tama)
Jakarta, CNN Indonesia --
- “Kapan lebaran?”
- “Sudah lewat tiga hari lalu.”
2012.
Perairan Atlantik, pada suatu pagi. Serbuan ikan mereda di kapal Rich
7. Kapal itu tempat bekerja Imam Syafi’i, seorang satpam pabrik yang
terjebak menjadi budak kapal asing penangkap ikan asal Taiwan. Mendengar
kabar Lebaran sudah lewat tiga hari, dia langsung terpekur.
Sebagai muslim, Idul Fitri adalah hari istimewa. Tapi ia tak pernah
tahu bagaimana menghitung hari itu tiba. “Tak ada sama sekali fasilitas
penunjuk waktu di atas kapal,” ujar lelaki 29 tahun itu. Jangankan jam
atau telepon satelit, kalender saja kata Imam disembunyikan kapten.
Sebagai budak,
yang bekerja selama dua tahun di kapal itu dan tanpa dibayar upahnya,
yang ia tahu hanya siang dan malam. “Mudah mengenalinya, terang sama
gelap,” ujar lelaki itu berkelakar saat diwawancarai CNN Indonesia April
lalu.
Ada hari yang dikenalinya sebagai hari besar. Itu adalah hari
pergantian kalender lunar dalam tradisi Tionghoa, atau Imlek. “Kapten
merayakannya dengan memperbolehkan kami para ABK makan daging ayam dan
babi,” ujarnya. Tapi bagi Imam dan rekan-rekannya yang muslim, babi
adalah haram. “Betapa tersiksanya saya melihat daging babi dihidang
istimewa saat itu,” kata Imam.
Selepas Imlek? Menu kembali kepada
hal biasa: rebusan. Sayur, kacang hijau dan nasi putih polos hanya
dihidangkan dua kali dalam 24 jam. Selebihnya adalah jam bekerja.
Melempar umpan pada malam hari dan menarik ikan mulai dini hari hingga
pagi.
Berada
di tengah samudera membuat dia didera kangen berat ke kampung halaman.
Apalagi saat lebaran tiba. Tapi Imam tak bisa mengontak siapapun di
daratan sana. Sebenarnya, ada telepon satelit milik kapten. Ia bisa saja
meminjamnya. “Tapi waktu itu setiap sepuluh menitnya dibanderol US$
500. Harga yang mustahil dengan janji gaji US$ 180 per bulan,” kata
Imam.
Selama bekerja, menurut Imam, tak sedikit pun fasilitas
kapal yang ia nikmati. Bahkan untuk menghisap sebatang rokok saja, ia
harus bersitegang dengan kapten. Belakangan ia diberi rokok pada saat
istirahat yang harus ia tebus dengan pemotongan gajinya per bulan.
“Kapten punya buku log untuk pengeluaran kami para budaknya,” katanya.
Di kapal Rich 07 milik Kwo Jeng Trading Co Ltd yang berbendera Taiwan itu, ada 13 budak, tujuh orang dari Indonesia, enam
berasal dari China, tiga orang berkebangsaan Vietnam. Dua juragan
kapal, masing-masing juru mesin dari China dan kapten berasal dari
Taiwan. Rute pelayarannya di lautan Atlantik. Sesekali mereka merambah
indahnya perairan Karibia tempat cerita kapten Jack Sparrow bermula.
Ditanya
masalah kebersihan, Imam tergelak. Air bersih hanya diperuntukan bagi
kapten, sang juragan kapal dengan tangan kanannya si penjaga mesin.
Sedangkan ABK, selama dua tahun mandi mengunakan air laut. “Sabun sampo
dipotong lagi dari gaji, jadi mending tak pakai sampo atau tak mandi
sekalian,” katanya. Lagi pula, tambahnya bercanda, mau ganteng juga buat
dilihat siapa, orang di tengah samudera begitu.” (Lihat Infografis:
Buruknya fasilitas ABK di Kapal Neraka).
Persoalan kesehatan, juga minim. Setiap luka bekas siksaan tak pernah diberikan obat. Kebanyakan, kata Imam, luka para
budak itu
sembuh sendiri. Nyaris seperti mukjizat. “Pernah saya sakit, makan ikan
mentah, mirip di restoran Jepang pikir saya, malah sembuh,” ujar Imam
cengengesan.
Salah satu kapal yang digunakan oleh ABK trinidad and tobago untuk berlayar (Dok Istimewa)
|
Lantas apa kesenangan kalau para budak diapresiasi kerja oleh
Kapten? Imam pernah menangkap sebuah tuna besar. Sang kapten bangga
padanya. Apa hadiahnya? “Saya diberi sebutir permen, itu saja,” katanya.
Pernah
dia berpikir untuk berontak. Tapi apa daya, kapten punya senjata yang
ia sembunyikan. Jadi, mana berani para budak kapal membangkang. “Ancaman
akan dibunuh itu sepertinya setiap waktu, selain dari alam dengan ombak
yang bergulung-gulung juga dari kapten yang punya senjata api,”
ujarnya.
Itu
sepetik kesaksian awak kapal asa Indonesia yang bekerja di kapal
penangkap ikan asing. Nasib mereka tak lebih baik dari para korban anak
buah kapal yang terungkap di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.
Semua
rekan Imam, bekas ABK yang diberangkatkan oleh PT Karltigo, akhirnya
menuntut perusahaan perantara mereka bekerja. Di pengadilan yang digelar
dari akhir 2013 hingga awal 2014, terungkap kalau perusahaan itu tak
berizin memberangkatkan pelaut. Bahkan, seorang saksi dari Kementerian
Perhubungan menyebutkan kalau buku pelaut yang dibawa para budak asal
Indonesia itu palsu.
Credit CNN Indonesia
Ragam Profesi Para Budak Asal Indonesia
Mereka para budak kapal yang terlunta di Trinidad dan Tobago saat menunggu pertolongan dari pemerintah. (Dok Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia --
“Saya tak bisa berenang”
Pernyataan itu
mengagetkan. Ternyata Bambang yang hampir dua tahun melaut bersama kapal
Rich 01 di Samudera Atlantik dekat Afrika, adalah orang yang tak pandai
berenang. Jangankan untuk berenang, kata Bambang yang cengengesan saat
ditemui CNN Indonesia, “mengapung saja saya gak bisa.”
Bambang
memang bukan pelaut. Ia mengaku sebagai makelar jual beli motor di
kampungnya Tegal, sebelum berlayar dan diperbudak di atas kapal.
Bayangannya saat ia berangkat dari kampung halamannya, April 2010, ia
akan bekerja sebagai pekerja bangunan atau pelayan di restoran. “Setahu
saya, tak ada orang Indonesia yang saya temui punya dasar pelaut,”
katanya.
Dari cerita Bambang, nyaris semua rekan yang sama bernasib buntung
dengan dirinya memiliki beragam profesi. Dari mulai tukang ojek hingga
ada yang sebelumnya berprofesi guru bantu. Ini artinya, perusahan
perekrut yang memberangkatkan mereka ke tengah laut tak peduli dengan
uji kompetensi bagi para pelaut. Padahal pelaut merupakan sebuah profesi
yang menuntut keahlian super spesifik. “Rata-rata kami baru tahu bahwa
kami akan dibawa berlayar ketika sudah sampai kapal tujuan, sebelumnya
mimpinya indah bekerja di luar negeri,” katanya.
Teman satu
angkatan Bambang di Kapal Rich 01 ada tiga orang. Mereka berempat
berasal dari beragam latar belakang. Dahuri, rekannya dari Pemalang
sebelum berlayar dan diperbudak, dikenal sebagai penjual nasi goreng.
Lantas, Johar asal Cirebon dan Sudin asal Brebes adalah seorang kuli
bangunan. “Jadi kami semua kaget ketika harus menjadi anak buah kapal,”
kata Bambang.
Setali
tiga uang dengan Bambang, Imam Syafi’i yang juga korban perbudakan
kapal asing, adalah seorang mantan satpam di sebuah perusahaan. Saat
ditanya apakah ia punya pengalaman melaut, ia hanya menggelengkan kepala
sembari tertawa. “Tahunya kerja di luar negeri itu saja,” kata Imam
kepada CNN Indonesia.
Imam berangkat pada Agustus 2011. Bersama
delapan orang ABK lainnya ia bekerja di Rich 07 selama dua tahun. “Dari
delapan orang itu, tak ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pelaut.
Bahkan Arman teman saya dari Pemalang sebelumnya berprofesi sebagai guru
honorer,” katanya. “Pokoknya semua tertipu.”
Cerita
getir Imam adalah saat ia berangkat bersama rekannya menuju Trinidad
Tobago. Lantaran Imam dan semua temannya tak bisa berbahasa Inggris, ia
celingukan dan tersesat selama delapan jam di Bandar Udara Schipol,
Amsterdam, Belanda. “Kami semua tak bisa berbahasa Inggris,” ujarnya.
Dia menduga, karena kendala bahasa, mereka jadi ssaran empuk perbudakan.
Misalnya, Imam dua tahun bekerja di tengah laut. Kapalnya tak
pernah bersandar selama itu. Begitu pula upah US$ 180 yang menjadi
haknya, tak pernah ia dapatkan. Pemilik kapal lantas menelantarkan
mereka mengapung di perairan Trinidad Tobago pada 2013. Mereka akhirnya
diselamatkan setelah enam bulan mengapung di tengah lautan.
Ada
sekitar 262 ribu anak buah kapal warga Indonesia bekerja di luar negeri
berdasarkan data Kementerian Luar Negeri yang dicatat oleh Serikat
Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN). Sekitar 77% bekerja di kapal
penangkap ikan, dan mereka tersebar di Asia Pasifik, Amerika Selatan dan
Afrika. Sisanya melaut bersama kapal kargo (6,57%), kapal pesiar
(6,80%), kapal tanker (0,68%), dan tugboat (8,84%).
Salah satu kapal neraka yang menjalankan perbudakan terhadap abk asal Indonesia. (Dok Istimewa)
|
Imam, dan sejumlah rekan mereka bekas ABK yang diberangkatkan
oleh PT Karltigo, pernah memperkarakan persoalan ini. Mereka menuntut
perusahaan perantara itu dan kasusnya dibawa ke Pengadilan Negeri
Jakarta Barat.
Pengadilan digelar dari akhir 2013 hingga awal
2014. Di persidangan terungkap kalau perusahaan itu tak berizin untuk
memberangkatkan pelaut. Bahkan, seorang saksi dari Kementerian
Perhubungan dalam keterangannya di persidangan menyebutkan kalau buku
pelaut yang dibawa para budak asal Indonesia itu palsu.
Cerita
soal perbudakan di kapal penangkap ikan kembali mencuat setelah adanya
pemberitaan soal para ABK asal Myanmar, Thailand dan Vietnam di Benjina,
Kepulauan Aru, Maluku. Bambang, Imam dan rekan-rekan anak buah kapal
asal Indonesia di kapal asing juga sama terancam hidupnya.
Credit CNN Indonesia