Stephen Hawking
Foto: EPA/Ramon De la Rocha
Stephen Hawking dikenal sebagai ateis atau tidak percaya Tuhan.
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit
dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS al-Anbiya: 30).
Berabad-abad setelah ayat tersebut diterima Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam
14 abad silam, tafsir para mufasir soal ayat tersebut sedikit saja
berubah. Ibnu Katsir dan Imam Suyuti menyepakati ayat itu menerangkan
langit dan bumi mulanya lapisan-lapisan yang menumpuk dan kemudian
dipisahkan dan disusul turunnya hujan yang menghijaukan dan menghidupkan
bumi.
Belakangan, sejak pertengahan abad ke-20, ayat itu
punya konotasi lain. Tak sedikit ulama dan ilmuwan Muslim yang meyakini
ayat itu mengindikasikan soal peristiwa Big Bang. Teori yang kini diakui
secara meluas oleh mayoritas ilmuwan fisika itu menerangkan soal awal
terciptanya alam semesta dari setitik noktah tunggal yang meledak dengan
akbar miliaran tahun lampau dan terus mengembang menjadi
galaksi-galaksi, bintang-gemintang di dalamnya, serta planet-planet yang
mengitari bintang-bintang tersebut.
Saat kemunculannya
pada 1920-an, teori tersebut sempat tak dianggap di kalangan ilmuwan
yang kebanyakan memercayai teori keadaan tetap alam semesta tanpa awal
dan tanpa akhir. Namun, pada 1959 terjadi titik balik. Semuanya bermula
saat seorang mahasiswa Universitas Oxford, Inggris, bernama Stephen
Hawking menyadari ia terkena penyakit saraf motorik
amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang mengancam melumpuhkan tubuhnya.
Dibayangi
penyakit tersebut, Hawking mencurahkan pikiran pada bidang fisika
teoritis, terutama terkait kosmologi. Seperti dilansir
BBC, ia
kemudian mengambil PhD di Universitas Cambridge dan mempelajari dengan
tekun soal teori spekulatif tentang lubang hitam alias
black hole,
sebuah keadaan saat bintang tertentu mati dan menjadi objek dengan daya
tarik gravitasi dahsyat yang menyedot segala materi, bahkan cahaya.
Dari
telaahannya terhadap teori tersebut, Hawking menyimpulkan Big Bang
adalah semacam kebalikan lubang hitam. Pada 1970, di tengah penyakitnya
yang kian parah dan mulai membuat lumpuh, Hawking bersama fisikawan
matematis Roger Penrose kemudian menerbitkan teori yang menyimpulkan
alam semesta pasti bermula dari sebuah keadaan yang disebut
singularitas.
Keadaan saat ruang dan waktu sedemikian padat
sehingga tak mematuhi hukum-hukum fisika konvensional. Dari keadaan
itulah kemudian alam semesta meledak dan terus mengembang.
Teori
singularitas tersebut, meski belakangan dikoreksi Hawking, kemudian
dianggap para fisikawan meneguhkan keberadaan lubang hitam dan
kebermulaan alam semesta melalui peristiwa Big Bang. Saat ini, teori Big
Bang sedemikian kuat mengakar di komunitas ilmiah sampai-sampai dipakai
menafsirkan ayat ke-30 surah al-Anbiya di atas.
Stephen Hawking yang juga Profesor Matematik Lucasian menyampaikan kuliah umum
Foto:
Stephen Hawking dikenal sebagai ateis atau tidak percaya Tuhan.
Hawking
meninggal dunia pada usia 76 tahun pada Rabu (14/3) kemarin. "Kami
sangat sedih karena ayah tercinta kami meninggal dunia hari ini," tulis
anak-anak Hawking dalam pernyataan resmi, kemarin. Keluarga tak
memerinci sebab musabab meninggalnya Hawking.
Stephen William Hawking lahir di Oxford pada 8 Januari 1942. Ayahnya merupakan seorang ahli biologi. Dilansir dari
BBC,
Hawking tumbuh besar di London dan Saint Alban. Saat dia bersiap
menikahi istri pertamanya, Jane, pada 1964, para dokter memperkirakan
usianya tidak lebih dari dua atau tiga tahun lagi.
Penyakitnya
ternyata berkembang lebih lambat dari yang diperkirakan. Pasangan itu
memiliki tiga anak. Di tengah penyakit yang menderanya, serta melalui
teori-teori selanjutnya, terutama terkait mekanika kuantum, Hawking
justru memperoleh posisi semacam selebritas di kalangan ilmuwan.
Pada 1988, meski Hawking hanya bisa berbicara dengan
synthesizer suara setelah menjalani trakeostomi, dia menyelesaikan karyanya,
A Brief History of Time, alias
Sejarah Singkat Waktu, yang merupakan sebuah panduan awam untuk kosmologi.
Buku yang
mulanya disangka tak bakal laris di pasaran itu terjual lebih dari 10
juta eksemplar. Kepopuleran buku yang hanya berisi satu persamaan fisika
tersebut membawa Hawking keluar dari komunitas ilmuwan ke rengkuhan
masyarakat awam.
Selain
A Brief History of Time (1988), Hawking juga terkenal dengan buku
The Grand Design
(2010). Isinya secara umum membahas hukum-hukum fisika dan fenomena
alam semesta, tetapi kemudian dikaitkan dengan eksistensi Tuhan menurut
cara pandang pribadi. Kesimpulannya: tidak ada Tuhan. Sebagian orang
menafsirkan dari dua buku tersebut bahwa Hawking telah berubah dalam
memahami terbentuknya alam semesta.
Berangkat dari
teorinya tentang penciptaan alam semesta, Hawking memiliki pemikiran
sendiri tentang Tuhan. "Saat orang bertanya apakah Tuhan menciptakan
alam semesta, saya mengatakan bahwa pertanyaan itu tak masuk akal. Waktu
tak eksis sebelum Big Bang, jadi tak ada waktu bagi Tuhan untuk
menciptakan semesta," katanya.
Selama ini Hawking
dikenal sebagai ateis atau tidak percaya Tuhan. Hal inilah yang
mendasarinya menuliskan pendapatnya tentang Tuhan dan alam semesta pada
bukunya yang berjudul
The Grand Design pada 2010. "Tidak perlu meminta Tuhan bertindak dan mengatur alam semesta," tulisnya.
Menurut
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Thomas
Djamaluddin, inti pesan dari dua buku itu tidak ada perbedaan. Peran
Tuhan tampaknya digambarkan sesuai dengan definisi keyakinan Hawking
sehingga keberadaan hukum alam itu dianggap ada dengan sendirinya.
Kalau
mau ditelusuri lagi logikanya, ungkap Thomas, ada pertanyaan belum
terjawab soal dari mana hukum alam itu berasal. "Logika orang beriman
segera mengarahkan bahwa pasti ada Tuhan Sang Pencipta yang menciptakan
hukum-hukum di alam," papar Thomas.
Dalam bahasa Islam,
kata Thomas yang lulusan Astronomi ITB, hukum alam diistilahkan sebagai
sunatullah. Perintah-Nya ketika menciptakan alam, "
kunfayakun,
jadilah maka jadilah", bisa dipahami dalam bahasa sains bahwa Allah
menciptakan alam dengan menciptakan hukum-hukum-Nya sehingga alam
berproses sesuai hukum Allah (sunatullah) tersebut.
Dosen
Program Studi Fisika ITB Prof Bobby Eka Gunara menambahkan, yang
kontroversial dari Hawking adalah pandangannya mengenai Tuhan dalam
pembentukan alam semesta. Terlepas dari hal itu, Bobby menyoroti kiprah
Hawking yang banyak berkontribusi pada perkembangan model kosmologi dan
pengetahuan tentang termodinamika lubang hitam.
Peneliti astrofisika Lapan Emanuel Sungging Mumpuni berpendapat
senada. Hawking berperan besar pada pengembangan pemahaman tentang
lubang hitam dan mekanika kuantum. Sebut misalkan adanya Radiasi Hawking
yang terpancar dari lubang hitam terkait efek kuantum pada lubang
hitam.
Dua buku Hawking tentang teori terbentuknya alam semesta tersebut,
menurut Sungging, merupakan cara dia memasyarakatkan pengetahuan dengan
bahasa awam. "Kita tak hanya kehilangan seorang ilmuwan penting yang
meletakkan pijakan pada kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga figur
ilmuwan yang bisa memopulerkan pemahaman kepada masyarakat awam,"
katanya.
Yang menarik, menurut Sungging, adalah pandangan
Hawking tentang alien atau makhluk angkasa tak dikenal. Hawking
berpendapat, bisa jadi alien itu ada.
"Hawking seorang
visioner, memiliki pandangan pada kehadiran makhluk planet lain,
kolonisasi antariksa. Juga seorang yang peduli lingkungan sebagai
pendukung pentingnya isu 'pemahaman global' demi keberlangsungan
generasi mendatang," ungkap Sungging.
Pakar komputasi dan
informasi kuantum dari Universitas Binus, Agung Trisetyarso,
mengungkapkan, Hawking pada akhir hayatnya meyakini bumi sudah tidak
bisa menampung umat manusia lagi. Ia menekankan, umat manusia harus
pindah secepatnya ke planet lain agar bisa lestari.
Bagaimanapun,
kehidupan Hawking adalah juga kisah soal persistensi menghadapi kondisi
yang tak menguntungkan serta pencarian tak henti soal asal mula alam
semesta. Cobalah memahami yang engkau lihat dan selalu bertanya-tanya
apa yang menyebabkan keberadaan alam semesta.
"Sesukar apa pun hidup, selalu ada sesuatu yang bisa kau lakukan dengan baik. Ini hanya persoalan tak mudah menyerah," ujarnya.
Berstatus
sebagai seorang ilmuwan, tidak menghilangkan sisi kemanusiaan Hawking.
Saat masih hidup, Hawking menyatakan dukungannya untuk kebebasan
anak-anak Palestina dalam menutut ilmu. Ia pun sempat melakukan aksi
boikot untuk Israel dan menggalang dana untuk anak-anak Palestina.
Dukungan dengan wujud nyata dilakukan Hawking saat menolak menghadiri undangan konferensi di Israel pada 8 Mei 2013. Dilansir
BBC, sikap Hawking pun dikecam ketua panitia konferensi, Israel Maimon.
Tak
hanya aksi boikot, Hawking juga menyumbang dana untuk para penuntut
ilmu di Palestina. "Saya mendukung hak-hak ilmuwan di mana-mana untuk
kebebasan gerakan, publikasi, dan kolaborasi. Dalam semangat ini, saya
ingin membawa proyek penggalangan dana yang bertujuan untuk menggalang
dana untuk membuat sekolah fisika tingkat lanjut Palestina kedua. Harap
pertimbangkan untuk membuat sumbangan hari ini untuk mendukung ilmu di
Palestina," tulis Hawking dalam akun
Facebook yang terverifikasi pada 13 Februari 2017.
Credit
republika.co.id