Ilustrasi unjuk rasa menentang hukuman mati TKI di Arab Saudi. (CNN Indonesia/Rebeca Joy Limardjo)
Jakarta, CB -- Relasi Indonesia-Arab Saudi kembali disorot setelah salah satu tenaga kerja Indonesia, Tuti Tursilawati, dieksekusi mati pada Senin (29/10).
Perempuan
asal Majalengka, Jawa Barat, itu dihukum pancung karena dianggap
terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap sang majikan, Suud
Mulhak Al Utaibi, pada 2010 lalu.
Salah satu akar masalah adalah
Saudi lagi-lagi mengeksekusi mati WNI tanpa memberi notifikasi terlebih
dahulu kepada perwakilan RI di Riyadh maupun Jeddah. Langkah Saudi itu
memicu protes Indonesia yang telah tiga kali 'kecolongan'.
Sebelum
Tuti, eksekusi Zaini Misrin pada Maret lalu, serta Siti Zaenab dan
Karni binti Medi Tarsim pada 2015 lalu juga dilakukan tanpa memberi
notifikasi kepada pemerintah Indonesia.
Menurut Kepala Studi
Timur Tengah Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Yon Machmudi,
eksekusi Tuti seharusnya bisa dijadikan momentum pemerintah Indonesia
untuk menegaskan sikap terhadap Saudi.
Selain protes, Yon menilai pemerintah seharusnya mulai menempatkan
isu perlindungan WNI dan TKI sebagai bahan pertimbangan sebelum menjalin
kerja sama atau kesepakatan apa pun dengan Saudi.
Sebab, menurut
Yon, pemberian notifikasi dalam konteks pelaksanaan hukuman mati ini
erat kaitannya dengan nilai kemanusiaan. Meski dalam hal ini Saudi
memang tak memiliki kewajiban memberitahu pihak asing ketika akan
melaksanakan hukum domestiknya.
"Memang ini hak Saudi untuk
melaksanakan hukuman mati karena ini ada dalam konstitusinya. Tetapi
tetap, Saudi seharusnya menghargai permintaan RI selama ini dengan
memberi notifikasi lebih dulu sebelum melaksanakan hukuman mati," ucap
Yon saat dihubungi
CNNIndonesia.com pada Rabu (31/10).
"Kasus
Tuti kemarin saya kira harus mulai menjadi prioritas RI ketika
membicarakan kerja sama dengan Saudi. RI harus mempertimbangkan masalah
ini sebelum menjalin kerja sama yang lain dengan Saudi karena ini
menyangkut perlindungan WNI di luar negeri."
Pemerintah RI telah
lama mendesak Saudi untuk memberi notifikasi lebih dulu sebelum
melaksanakan proses hukum, terutama eksekusi mati, terhadap WNI.
Permintaan
notifikasi juga selama ini terus menjadi salah satu topik utama setiap
kali pejabat tinggi RI bertemu dengan pejabat Saudi, termasuk ketika
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menerima kunjungan Menlu Saudi Adel
Al Jubeir di Jakarta pada pekan lalu.
Namun, Saudi seakan tak mengindahkan permintaan Indonesia tersebut.
Yon menganggap hal itu disebabkan karena Saudi tidak melihat Indonesia
sebagai sebuah mitra strategis yang sejajar.
"Meski relasi kedua
negara terbilang dekat-Indonesia juga membidik investasi Saudi-Persepsi
Saudi terhadap Indonesia belum satu level. Sejak dulu, sebenarnya Saudi
tidak melihat Indonesia sebagai negara yang penting," ujar dosen bahasa
Arab tersebut.
"Indonesia memang pengirim jamaah haji dan umroh
terbesar, secara religius memang kita bisa dikatakan dekat, tetapi pada
praktiknya Saudi kurang memandang Indonesia sebagai mitra strategisnya."
Menurut
Yon, kasus Tuti harus bisa menjadi titik balik pemerintah agar bisa
menempatkan Indonesia sejajar dan lebih dihormati oleh Saudi. Salah
satunya dengan mendesak perbaikan perlindungan WNI di Saudi melalui
mekanisme kerja sama bilateral.
"Saya kira harus dilakukan kerja
sama yang menempatkan Indonesia pada posisi yang sejajar dan dihormati
Saudi. Eksekusi Tuti saya kira bisa jadi momentum Indonesia untuk
mengajak Saudi memperbaiki perlindungan WNI melalui perjanjian
bilateral," kata Yon.
Kementerian Luar Negeri RI memang tengah
membujuk Saudi membentuk kerja sama bilateral, tentang kewajiban memberi
notifikasi kekonsuleran atau
Mandatory Consular Notification (MCN) terkait eksekusi mati WNI di Saudi.
Unjuk rasa menentang hukuman mati terhadap TKI. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kemlu RI, Lalu Muhamad
Iqbal, mengatakan perjanjian itu dibentuk guna mengikat Saudi agar
berkewajiban memberi notifikasi kekonsuleran setiap ada WNI yang
terjerat kasus hukum di negara tersebut, terutama yang akan menjalankan
hukuman mati.
Namun, perjanjian ini masih membutuhkan negosiasi panjang dan kesepakatan dari kedua belah pihak.
Tetap Moratorium TKI Pendiri
Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan kasus eksekusi Tuti seharusnya
menjadi dasar bagi pemerintah, terutama Kementerian Ketenagakerjaan,
untuk meninjau kembali rencana penempatan TKI ke Saudi dalam waktu
dekat.
Kemenaker RI dan Saudi memang dikabarkan telah meneken
sebuah perjanjian pembentukan proyek pilot pengiriman 30 ribu TKI dalam
enam bulan. Proyek ini dilakukan meski moratorium pengiriman TKI ke
Timur Tengah masih berlaku sejak 2015 lalu.
Sekretaris Utama
BNP2TKI, Tatang Budie Utama Razak menegaskan proyek yang disebutnya
sebagai technical arrangement ini dilakukan sebagai salah satu solusi
menghindari pengiriman TKI secara ilegal ke Saudi.
Sebab, menurut Tatang, moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah
malah memicu pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal ke
kawasan itu.
Namun, Anis berpendapat lain. Menurutnya, Indonesia
tidak boleh mengirimkan TKI ke Saudi sebelum negara kerjaaan itu
memberikan jaminan peningkatan perlindungan WNI di sana.
"Kasus
Tuti semestinya dijadikan Kemenaker bahan pertimbangan rencana mereka
menempatkan TKI baru dalam waktu dekat pascamoratorium," kata Anis.
"Tujuan
pemerintah RI menjalin kerja sama dengan negara lain kan untuk
mengurangi kerentanan. Ketika (mengurangi kerentanan) itu belum bisa
dicapai, lebih baik tunda segala kerja sama ini sembari menyelesaikan
pekerjaan rumah untuk memaksimalkan pelaksanaan UU No.18 Tahun 2017
tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia," tegasnya.
Credit
cnnindonesia.com