CB, Jakarta - Pengadilan Israel memvonis Dareen Tatour, 36 tahun, penyair Palestina
di sebuah desa dekat Nazaret di Israel utara, lima bulan penjara pada
Selasa 31 Juli. Ia didakwa setalah mengunggah tulisan di media sosial
pada 2015 saat terjadi bentrokan Israel-Palestina.
"Ini bukan keadilan," kata Tawfiq Tatour, ayah Dareen, seperti dilaporkan Associated Press, 2 Agustus 2018.
"Kami membawa contoh kuat pengadilan dari orang-orang Yahudi yang menghasut orang-orang Arab di media sosial, orang Yahudi yang menyerukan pembunuhan dan pembakaran orang Arab, tetapi pengadilan tidak menerima itu. Ini adalah diskriminasi terang-terangan terhadap orang Arab," kata Tawfiq.
Dia mengatakan puisi putrinya adalah tentang para pemukim yang membunuh dan membakar warga Palestina.Kasus Dareen Tatour menarik perhatian dunia setelah pemerintah Israel menangkapnya pada 2015 dan menempatkannya di bawah tahanan rumah karena puisinya.
Lebih dari 150 tokoh sastra, termasuk penulis Alice Walker dan Naomi Klein, menyerukan agar Tatour dibebaskan. Kritikus menyebut penangkapannya sebagai pelanggaran kebebasan berekspresi.
Dareen Tatour [www.addameer.org]
Pengadilan mengatakan puisi Tatour memicu kekerasan dan kebebasan berekspresi memiliki batas. Tatour juga dihukum karena mendukung kelompok teror.
Tatour bersikeras bahwa tulisannya tidak untuk mendukung kekerasan. Setelah vonis, Tatour mengatakan bahwa kasusnya bersifat politis.
"Saya tidak berharap akan ada keadilan dalam persidangan ini. Sejak awal itu adalah kasus politik hanya karena saya seorang Palestina dan mendukung kebebasan berbicara. Saya dipenjara hanya karena saya orang Palestina," kata Tatour.
Tatour menerbitkan serangkaian konten di Facebook dan YouTube pada 2015 yang menyerukan kepada warga Palestina untuk "melawan" serangan Israel selama bentrokan Palestina-Israel yang menyebabkan puluhan orang tewas.Israel mengatakan serangan Palestina didorong oleh hasutan dengan menyebar kekerasan di media sosial.
Dilansir Haarezt, sebuah klip video yang diunggah oleh Tatour menunjukkan dia membaca puisi dengan latar belakang orang bertopeng yang melemparkan batu dan bom molotov ke pasukan keamanan Israel. Dakwaan Pengadilan Nazareth membawa bukti terjemahan puisi ke dalam bahasa Ibrani dan mengatakan bahwa sejak tuduhan itu diajukan, tayangan yang diunggah telah menerima lebih dari 200.000 pengunjung dan beberapa komentar mendukung.
"Konten, ungkapan dan situasi tayangannya menciptakan kemungkinan nyata bahwa tindakan kekerasan atau terorisme akan dilakukan," isi dakwaan. Selain itu dakwaan termasuk dua puisi lain yang ditulis oleh Tatour.Salah satu puisi menyebut, "Allahu Akbar dan Baruch Hashem, Jihad Islam mendeklarasikan intifada di seluruh Tepi Barat dan ekspansi ke seluruh Palestina. Kita harus mulai di dalam Garis Hijau. Aku adalah syuhada berikutnya."
Gaby Lasky, pengacara Dareen Tatour, mengatakan bahwa betapa menyedihkan menuntut seorang penyair di persidangan karena sebuah puisi yang ditulisnya, berdasarkan terjemahan harfiah dan budaya yang salah.
"Dalam kasus Dareen yang malang, puisinya berbicara antara lain tentang keluarga Dawabshe dan yang lainnya, yang disakiti oleh orang Yahudi. Petugas polisi yang menerjemahkan puisi itu secara tidak profesional mengambil sesuatu di luar konteks," kata Lasky.
"Ini bukan keadilan," kata Tawfiq Tatour, ayah Dareen, seperti dilaporkan Associated Press, 2 Agustus 2018.
"Kami membawa contoh kuat pengadilan dari orang-orang Yahudi yang menghasut orang-orang Arab di media sosial, orang Yahudi yang menyerukan pembunuhan dan pembakaran orang Arab, tetapi pengadilan tidak menerima itu. Ini adalah diskriminasi terang-terangan terhadap orang Arab," kata Tawfiq.
Dia mengatakan puisi putrinya adalah tentang para pemukim yang membunuh dan membakar warga Palestina.Kasus Dareen Tatour menarik perhatian dunia setelah pemerintah Israel menangkapnya pada 2015 dan menempatkannya di bawah tahanan rumah karena puisinya.
Lebih dari 150 tokoh sastra, termasuk penulis Alice Walker dan Naomi Klein, menyerukan agar Tatour dibebaskan. Kritikus menyebut penangkapannya sebagai pelanggaran kebebasan berekspresi.
Dareen Tatour [www.addameer.org]
Pengadilan mengatakan puisi Tatour memicu kekerasan dan kebebasan berekspresi memiliki batas. Tatour juga dihukum karena mendukung kelompok teror.
Tatour bersikeras bahwa tulisannya tidak untuk mendukung kekerasan. Setelah vonis, Tatour mengatakan bahwa kasusnya bersifat politis.
"Saya tidak berharap akan ada keadilan dalam persidangan ini. Sejak awal itu adalah kasus politik hanya karena saya seorang Palestina dan mendukung kebebasan berbicara. Saya dipenjara hanya karena saya orang Palestina," kata Tatour.
Tatour menerbitkan serangkaian konten di Facebook dan YouTube pada 2015 yang menyerukan kepada warga Palestina untuk "melawan" serangan Israel selama bentrokan Palestina-Israel yang menyebabkan puluhan orang tewas.Israel mengatakan serangan Palestina didorong oleh hasutan dengan menyebar kekerasan di media sosial.
Dilansir Haarezt, sebuah klip video yang diunggah oleh Tatour menunjukkan dia membaca puisi dengan latar belakang orang bertopeng yang melemparkan batu dan bom molotov ke pasukan keamanan Israel. Dakwaan Pengadilan Nazareth membawa bukti terjemahan puisi ke dalam bahasa Ibrani dan mengatakan bahwa sejak tuduhan itu diajukan, tayangan yang diunggah telah menerima lebih dari 200.000 pengunjung dan beberapa komentar mendukung.
"Konten, ungkapan dan situasi tayangannya menciptakan kemungkinan nyata bahwa tindakan kekerasan atau terorisme akan dilakukan," isi dakwaan. Selain itu dakwaan termasuk dua puisi lain yang ditulis oleh Tatour.Salah satu puisi menyebut, "Allahu Akbar dan Baruch Hashem, Jihad Islam mendeklarasikan intifada di seluruh Tepi Barat dan ekspansi ke seluruh Palestina. Kita harus mulai di dalam Garis Hijau. Aku adalah syuhada berikutnya."
Gaby Lasky, pengacara Dareen Tatour, mengatakan bahwa betapa menyedihkan menuntut seorang penyair di persidangan karena sebuah puisi yang ditulisnya, berdasarkan terjemahan harfiah dan budaya yang salah.
"Dalam kasus Dareen yang malang, puisinya berbicara antara lain tentang keluarga Dawabshe dan yang lainnya, yang disakiti oleh orang Yahudi. Petugas polisi yang menerjemahkan puisi itu secara tidak profesional mengambil sesuatu di luar konteks," kata Lasky.
Credit tempo.co