reuters/ Julia Baker/ HO
Adalah Junjiu Huang, peneliti fungsi genetik di Sun Yat-sen University di Guangzhou, yang memimpin studi penuh kontroversi tersebut. Dalam jurnal tersebut, dia bersama timnya menawarkan alternatif penggunaan sel embrio “tak layak pakai” diganti dengan molekul lain. Tujuannya, memodifikasi genom yang membangkitkan penyakit β-thalassemia, kelainan darah yang berpotensi fatal.
Huang menawarkan teknik editing genom yang dikenal dengan CRISPR/Cas9. Namun dia memprediksi dalam jurnalnya bahwa akan ada kendala medis dalam menerapkan metode yang dia tawarkan.
Ramalan Huang tak salah. Selain kendala, kecaman pun datang dari berbagai kalangan ilmuwan. "Ini adalah peringatan bagi siapa saja yang berpikir bahwa teknologi dapat memberantas penyakit genetik," ucap George Daley, pakar biologi sel induk dari Harvard Medical School di Boston, Massachusetts, yang tak tergabung dalam studi Huan. Dia menyampaikan kecamannya secara daring melalui Nature edisi 22 April 2015.
Kelompok peneliti lain mengakui bahwa proses pengubahan gen embrio manusia memang dapat membantu menghancurkan penyakit genetik sebelum seorang bayi lahir. Namun pekerjaan tersebut melanggar garis etika ilmuwan. "Dampaknya bisa sangat besar," ujar Daley.
Huang menggunakan teknik penyuntikan embrio dengan memanfaatkan kompleksitas dari enzim CRISPR/Cas9, yang mengikat DNA di lokasi tertentu. Kompleksitas tersebut dapat diprogram agar dapat mengikat genom bermasalah kemudian menggantinya dengan molekul lain. Teknik ini biasanya memang berhasil saat diujicobakan kepada embrio hewan. Tapi belum ada kelompok ilmuwan yang menguji keberhasilan metode ini pada embrio manusia.
Dalam risetnya, Huang dan timnya mempelajari kemampuan enzim CRISPR/Cas9 untuk mengedit gen yang disebut HBB, yang mengkode protein β-globin manusia. Ini merupakan mutasi pada gen yang bertanggung jawab untuk bangkitnya β-thalassemia.
Uji coba tersebut melibatkan 86 embrio calon β-thalassemia. Setelah menyuntikkan enzim CRISPR/Cas9, tim menunggu perubahan yang terjadi selama 48 jam. Hasilnya memang cukup menakjubkan. "Banyak molekul baru menggantikan DNA yang rusak," tulis Huang dalam jurnalnya. Dari 71 embrio yang lolos uji coba, 54 di antaranya diuji lebih mendalam secara genetik, dan mereka menemukan hanya 28 persen embrio yang berhasil disambung.
"Ini jelas bukan angka yang bagus. Jika mau berhasil, Anda harus sampai di angka 100 persen," tulisnya. "Karena alasan itulah, riset kami hentikan dan berusaha memecahkan masalahnya."
Tim juga menemukan mutasi salah sasaran yang terjadi lantaran pemaparan enzim CRISPR/Cas9. Efek ini adalah salah satu masalah keamanan utama dalam proses pengubahan genom embrio manusia. "Dampaknya bisa sangat berbahaya," kata Daley.
Credit TEMPO.CO