Sebelum pesawat latih taktis Super
Tucano jatuh di Malang, jet tempur T50i Golden Eagle juga jatuh di Yogya
dan F-16 Fighting Falcon terbakar di Halim. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CB
--
Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia
mengisyaratkan tak akan membuka hasil investigasi pesawat-pesawat mereka
yang celaka kepada publik. Kerahasiaan negara menjadi alasan untuk
menyimpan penyelidikan itu untuk kalangan internal.
“(Hasil
investigasi) dipublikasikan atau tidak, itu tergantung kebijakan
pimpinan. Bisa saja dipublikasikan sebagai pertanggungjawaban, tapi
tidak semua. Yang jelas penyelidikan dilakukan dengan tujuan agar
kecelakaan serupa tak berulang,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU
Marsekal Pertama Dwi Badarmanto kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/2).
“Tak ada satu pun militer di dunia ini yang mempublikasikan (kecelakaan pesawatnya). Tidak ada (ribut-ribut soal)
black box ketika pesawat militer jatuh, tak seperti pesawat komersial,” klaim Dwi.
Kemarin, pesawat latih taktis Super Tucano buatan Brasil milik TNI AU
jatuh di permukiman padat penduduk di Blimbing, Malang, Jawa Timur.
Kecelakaan itu menyebabkan pilot dan kopilot meninggal dunia. Nyawa dua
warga yang rumahnya tertimpa pesawat itu juga ikut melayang.
Tragisnya,
kecelakaan tersebut terjadi belum genap dua bulan sejak jet tempur T50i
Golden Eagle buatan Korea Selatan –juga milik TNI AU– jatuh di Yogya,
menewaskan dua prajurit yang mengawakinya. Mereka tak sempat
menyelamatkan diri menggunakan kursi pelontar ketika pesawat menghantam
bumi.
Saat itu, 20 Desember 2015, TNI AU langsung membentuk tim
investigasi yang dipimpin Wakil Kepala Staf TNI AU Marsekal Madya
Hadiyan Sumintaatmadja. Tim tersebut bertugas mencari fakta dan
menganalisis berbagai hal yang mungkin menjadi pemicu kecelakaan, yakni
faktor 5 M –manusia, mesin, materi, misi, dan manajemen.
Dwi mengatakan, investigasi kecelakaan pesawat membutuhkan waktu tak sebentar, mulai rentang waktu sebulan hingga tahunan.
Sementara
untuk mengusut jatuhnya Super Tucano kemarin, TNI pun telah membentuk
tim investigasi yang diketuai oleh Kepala Dinas Keselamatan Terbang dan
Kerja TNI AU Marsekal Pertama Chairil Anwar.
“Tim investigasi
langsung dibentuk begitu kecelakaan terjadi. Tim melibatkan para pakar.
Kita (Indonesia) punya banyak ahli soal itu,” ujar Dwi.
Brasil
selaku produsen Super Tucano, kata Dwi, baru akan diajak berkonsultasi
apabila ada keterangan yang mesti digali dari mereka.
Dwi menyatakan, dalam dunia penerbangan tak ada batas waktu bagi berjalannya proses investigasi atas kecelakaan pesawat.
Penyelidikan
jatuhnya T50i Golden Eagle di Yogya pada 20 Desember 2015 pun sekarang
belum rampung. “Masih berproses, tidak lama lagi selesai untuk kami
lakukan evaluasi,” kata Dwi.
Soal apakah hasil investigasi akan diungkap ke publik, Dwi kembali mengatakan hal itu tergantung pimpinan.
Hal
senada ia kemukakan terkait pengusutan terbakarnya F-16 Fighting Falcon
TNI AU di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, 16 April
2015.
Sampai saat ini investigasi atas F-16 nahas itu belum selesai. Dwi pun
tak menjamin hasil penyelidikan terbakarnya F-16 tersebut akan dibuka
untuk umum.
“Demi Merah Putih, kalau soal itu percayakan pada
kami. Siapa yang mau pesawatnya kecelakaan? Tidak ada. Semua prosedur
sudah dijalankan, tapi kadang hal seperti itu terjadi,” kata mantan
Asisten Deputi Koordinasi Strategi Politik Luar Negeri Kementerian
Politik Hukum dan Keamanan itu.
Beri tahu publikGerry
Soejatman, pakar penerbangan dan investigator swasta kasus kecelakaan
pesawat, menyatakan dipublikasikan atau tidaknya kecelakaan pesawat
militer tergantung kebijakan masing-masing negara.
“Ada negara
yang memberitahukan hasil investigasinya untuk publik, tapi sekadar
memberi tahu, tak merinci. Sementara laporan detailnya untuk internal
militer. Ada pula negara yang tak mengungkap sama sekali hasil
investigasinya ke publik,” kata Gerry.
Amerika Serikat dan
negara-negara di Eropa, ujar Gerry, umumnya memberikan informasi kepada
publik demi kepentingan umum, namun tak memberikan laporan detail
mengenai penyebab kecelakaan pesawat militer mereka.
Dibukanya
informasi soal investigasi tersebut kepada publik, menurut Gerry, juga
perlu karena pesawat tempur merupakan alat utama sistem senjata yang
dibeli dengan anggaran negara yang notabene berasal dari uang rakyat.
“Anggaran itu harus digunakan dengan benar, dan karenanya alutsista
harus diperlakukan dengan baik. Beri tahu saja hasil investigasi
kecelakaan-kecelakaan itu kepada publik, meski tak detail. Garis
besarnya pun cukup,” kata Gerry.
Informasi atas hasil investigasi
misalnya diberikan TNI AU saat pesawat Hercules C-130 mereka jatuh di
Medan dan menewaskan lebih dari 100 orang. Hercules itu, menurut KSAU
Marsekal Agus Supriatna, mengalami satu mesin mati. Akibatnya pilot
mesti menambah kecepatan terbang.
Namun ketika pilot hendak
bermanuver untuk mengakali mesin mati itu, pesawat menabrak antena radio
setinggi 150 kaki sehingga berakibat fatal. Hercules lalu menabrak
kubah masjid, menabrak ruko, dan jatuh.
Credit
CNN Indonesia