Gedung Balai Kota San Fransisco disinari lampu berwarna bendera Perancis usai serangan 13 November lalu. (Reuters/Stephen Lam)
Jakarta, CB
--
Kebencian publik akan tragedi pengeboman dan
penembakan di Paris, Perancis pada Jumat (13/11) memang tak terelakkan.
Namun, reaksi yang beredar tetap saja membuat kaget. Kata-kata hujatan
kian menjamur di media sosial, berbalut xenofobia.
Tetapi ketika
sebagian orang menuding Islam sebagai dalang tragedi itu, sebagian
lainnya justru menunjukkan kasih sayang, pengertian, dan cinta.
Bagi
Muslim di Amerika Serikat, baik warga negara maupun bukan,
reaksi-reaksi yang muncul itu tidaklah mengejutkan. Mereka telah
mencecapnya sejak peristiwa 11 September 2001 dan seterusnya, kapanpun
seseorang berbuat keji atas nama keyakinan.
"Orang merasa takut,
gempar, dan tersakiti, namun tahukah Anda apa yang paling terasa?
Gelombang patriotisme," anggota kongres Keith Ellison berujar kepada
CNN,
dilansir pada Kamis (19/11). Ellison adalah Muslim pertama yang
terpilih masuk Kongres, sekaligus satu di antara dua anggota di Capitol.
"Rasanya
seperti, 'Tunggu dulu, saya pun orang Amerika. Ini juga negara saya.
Saya rela berjuang dan mati untuknya, dan saya tidak akan membiarkan
ISIS mengacaukan Muslim di seluruh dunia."
Aksi kekerasanKebencian itu bermula selang beberapa jam usai tragedi Paris, dan terus bergulir.
Di
Meriden, Connecticut, sebuah masjid ditembak. Sementara di Nebraska,
seseorang melempar batu lewat pintu ke dalam masjid di Omaha.
Bahkan,
jamaah di Pflugerville, Texas, menemukan pintu depan masjidnya berlumur
tinja. Robekan kertas berisi ayat al-Quran turut berserakan di lantai.
Tetapi itu semua tak berhenti di masjid.
Seorang pengemudi taksi di Carolina Utara mengaku diserang oleh penumpang karena mengira dirinya seorang Muslim.
"Dia
bertanya apakah saya Muslim. Saya bilang, bukan," Sang sopir, Wamson
Woldemichael mengisahkan. "Dia menyerang saat saya sedang menyetir."
Woldemichael mengatakan bahwa ia seorang Kristen. Ia menginjak tanah Paman Sam delapan tahun lalu dari Ethiopia.
Pandangan
miring terhadap segala yang berbau Islam juga tercermin saat empat
orang yang diduga keturunan Timur Tengah diturunkan dari penerbangan
menuju Chicago di Bandara Internasional Washington, usai dilaporkan
berperilaku mencurigakan. Namun keempatnya ditemukan tak bermasalah dan
dibebaskan oleh pihak berwenang.
Anti-MuslimRasa benci itu tak kunjung mereda.
Di Florida, sebuah pesan antiagama tertuju pada Komunitas Islam St. Petersburg dan Pinellas County.
"Kami lelah dengan kalian. Kami punya pasukan untuk mengebom dan menembak kalian di kepala," tulis pesan tersebut.
Hassan Shibly dari Dewan Hubungan Amerika-Islam menyebut perbuatan macam itu "sebuah bentuk terorisme".
"Itu bukan Amerika. Itu menjijikan dan ngeri," katanya berpendapat.
"Kami
tidak bisa membiarkan musuh di luar sana memecah kami di rumah kami
sendiri. Tidak ada ruang bagi ucapan jahat seperti itu di masyarakat
kami."
Menurut Laporan Statistik Kekerasan Kebencian dari FBI,
kekerasan terhadap umat Muslim naik 14 persen tahun lalu. Peningkatan
itu terjadi justru ketika angka kekerasan kebencian di Amerika Serikat
menurun secara keseluruhan.
CintaNamun keadaan tidak sesuram itu. Sebab di tengah kecurigaan seperti saat ini, masih tersisa rasa peduli dan pengertian.
Di
masjid Texas yang berlumur tinja, bocah 7 tahun Jack Swanson merasa
begitu sedih dengan apa yang dilihatnya hingga menyumbangkan US$20
(sekitar Rp275 ribu) dari celengannya sendiri.
"Walau hanya 20
dolar, ini datang dari tabungan Jack. Ini berharga 20 juta dolar bagi
kami dan umat Muslim," ujar Faisal Naeem, seorang anggota dewan masjid.
Sementara
di universitas negeri Florida, para mahasiswa Muslim menyerahkan 150
kantong permen, yang saling tersambung dengan ayat al-Quran.
"Barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan seluruh manusia,” bunyi ayat yang diambil dari surat al-Maidah
ayat 32.
Dan di dunia maya, kampanye tagar #NotInMyName kian meluas demi melawan Islamofobia di tanah Barat.
"Saya
tidak melihat Muslim pada ISIS. Saya lihat teroris pada mereka," kata
Philistine Ayad, seorang feminis Muslim. "Bagi saya, teror tidak
mengenal agama. Mereka memilih-milih hal dalam agama, memutarbalikkan,
dan membelokkannya untuk membenarkan perbuatan mereka yang tidak benar."
Ayad
menandaskan, "Jika kampanye #NotInMyName bisa membantu menghapuskan
Islamofobia dan menghapuskan ketakutan saya... itu patut disyukuri."
Credit
CNN Indonesia