CB, Jakarta -
Massa mendesak Sukarno. "Sekarang, Bung, sekarang...Bacakan Proklamasi
sekarang!" kata mereka. Pagi menjelang siang, tanggal di almanak
menunjukkan 17 Agustus 1945.
Sukarno menolak. "Hatta belum
datang. Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta," kata Sukarno
seperti dituangkan kembali dalam autobiografinya,
Penyambung Lidah Rakyat.
Beberapa
menit sebelum pukul 10.00, akhirnya Hatta tiba di Jalan Pegangsaan
Timur No 56, Jakarta, itu. Sukarno pun membacakan teks proklamasi yang
telah dirancangnya bersama Hatta dan Ahmad Subardjo.
Sukarno dan
Hatta berjumpa pertama kali di Bandung pada awal September 1932.
Pertemuan berlangsung di sebuah hotel di Jalan Pos Timur. Sukarno
ditemani Maskoen, Hatta didampingi Haji Usman.
Hatta baru pulang
dari sekolah di Rotterdam, Belanda. Selama di Belanda, Hatta menggalang
upaya kemerdekaan bersama Perhimpunan Indonesia. Sempat diadili tapi
divonis bebas. Dengan tujuan yang sama, Sukarno bergerak dengan Partai
Nasional Indonesia (PNI). Sukarno juga diadili dan dipenjara di
Sukamiskin, Bandung.
Dalam pertemuan perdana itu, Sukarno sempat menceritakan pengalamannya di Sukamiskin. "Hari-hari kerjanya membuat
envelop. Pukul 17.00 ia boleh mandi, tapi tidak boleh lebih dari 5 menit," tulis Hatta mengutip Sukarno dalam memoarnya.
Saat
itu, Sukarno dan Hatta telah bersimpang jalan. Sukarno memilih
bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) -- yang didirikan setelah
PNI dibubarkan pasca-penangkapan dirinya. Hatta menolak Partindo,
memilih berhimpun di Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru.
Keduanya
merupakan tokoh paling bersinar di kalangan kaum Nasionalis di Hindia
Belanda. Cerdas, berintegritas, dan visioner. Menjulang tinggi,
melampaui tokoh-tokoh lain.
Tapi, bukan rahasia, keduanya juga banyak berbeda pendapat. Hatta
menilai Sukarno terlalu frontal, kurang piawai menghitung posisi kaum
pergerakan saat berhadapan dengan rezim kolonial, dan hanya gemar
menyihir massa dengan orasi tapi tak peduli edukasi. Polemik berlangsung
di surat kabar.
Beberapa hari setelah pertemuan, Hatta kembali
"menyentil" Sukarno. “Demonstrasi dan agitasi sadja adalah mudah, karena
tidak berkehendak akan kerdja dan usaha terus-menerus. Dengan agitasi
mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banjak, tetapi tidak
membentuk pikiran orang,” tulis Hatta di
Daulat Ra’jat, 20 September 1932.
Sukarno bukan tak punya argumen sendiri soal kegemaran menggalang massa. Dalam
Penyambung Lidah Rakyat,
dia berujar ke Hatta, “Bung tidak akan memperoleh kekuatan melalui
untaian kata-kata. Belanda tidak takut pada untaian kata-kata. Mereka
hanya takut pada kekuatan nyata, yang digalang dari kerumunan massa.”
Kemudian,
Sukarno melanjutkan, “Mereka tahu, upaya pencerdasan itu tidak akan
mengancam kekuasaan mereka. Memang upaya pencerdasan itu membuat kita
terhindar dari penjara, tetapi juga membuat kita terhindar dari
kemerdekaan.”
Pada akhirnya, Sukarno dan Hatta sama-sama
menjalani pengasingan. Sukarno menuju Ende, Hatta ke tempat yang lebih
mengerikan: Boven Digul.
Periode pendudukan Jepang mempersatukan
mereka. Perbedaan gaya dan visi dikubur dulu. Bahkan, menurut Sjahrir,
Jepang mengembalikan Sukarno ke Jawa atas permintaan kaum Nasionalis,
yang terutama didukung Hatta.
Penyusun biografi Hatta, Mavis
Rose, menulis, "Hatta dan kaum Nasionalis perlu memanfaatkan bakat
Sukarno yang luar biasa untuk berkomunikasi dengan rakyat Indonesia.”
Bakat yang pada masa lalu dikecam Hatta lantaran dianggap digunakan
secara sembrono dan berlebihan.
Pada 1956, Hatta mengundurkan
diri sebagai wakil presiden. Tak pernah Hatta menjelaskan secara persis
alasannya. Publik menduga, perbedaan visi politik sudah tak bisa
ditoleransi Hatta.
Empat tahun kemudian, Hatta menulis esai panjang berjudul
Demokrasi Kita. Inilah kritik keras terhadap Sukarno dan kepemimpinannya.
Di
antaranya, Hatta menulis, "Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta
pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur
selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal...Tjuma, berhubung tabiatnya
dan pembawaannya, dalam segala tjiptaannya ia memandang garis besarnja
sadja. Hal-hal yang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan
menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannja."
Kabarnya, Sukarno gusar dengan tulisan itu. Majalah
Pandji Masjarakat yang menerbitkannya dibredel. Pemimpin redaksinya, Hamka, ditahan. Hatta jadi sulit menulis di media massa.
Tapi, ia tak berdiam diri. Hatta mengirimkan surat-surat pribadi untuk menyampaikan kritik kepada Soekarno.
Roda berputar. Orde Lama roboh. Sukarno dikenakan tahanan rumah. Pada
1970, Guntur Soekarnoputra akan menikah di Bandung. Ayahnya tak bisa
mendampingi. Sukarno lalu menyarankan Guntur supaya meminta Hatta sebagai wali. Guntur galau: bersediakah Hatta? Bukankah Hatta dan ayahnya tak rukun?
"Sukarno
mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya
karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan
pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan
kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung," tulis Mavis
Rose dalam
Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta.Benar saja. Hatta langsung mengiyakan saat Guntur memintanya menjadi wali via telepon.
Lalu,
pada Juni 1970, kesehatan Sukarno memburuk. Hatta menjenguk. Sukarno
tengah tertidur saat itu. Ketika Hatta tiba, mata Sukarno terbuka.
"Hatta, kamu di sini...," ujarnya.
"Ah, apa kabarmu, No?"
Sukarno menjawab dengan lemah,"
Hoe gaat het met jou (apa kabar)?"
Hatta terdiam, memegang tangan Sukarno. Air matanya bercucuran di pipi.
Sukarno
mencari-cari kaca mata, hendak melihat Hatta dengan lebih jelas. Ia
mencoba bicara meski dengan susah payah. Hatta masih terdiam, mungkin
menahan kesedihan.
Dua hari kemudian, 21 Juni 1970, Sukarno wafat. Kali ini, Sukarno tak "menunggu" Hatta. Ia pergi lebih dulu
Credit
Liputan6.com