Ilustrasi imigran pencari suaka ke Australia di pusat detensi Pulau Manus. (AAP/Eoin Blackwell/via REUTERS)
"Perjanjian global tentang migrasi akan membahayakan kepentingan Australia," kata Perdana Menteri Australia, Scott Morrison kepada stasiun radio lokal, 2GB, seperti dilansir Channel News Asia, Rabu (21/11).
"Ini tidak bisa membedakan antara mereka yang secara ilegal masuk ke Australia dan mereka yang datang dengan cara yang benar," kata dia menambahkan.
Australia bergabung dengan Amerika Serikat, Israel, dan beberapa negara Eropa Timur dalam menolak pakta PBB berjuluk 'Global Compact for Migration'. Gagasannya meminta para negara tidak menahan calon imigran secara sewenang-wenang dan menggunakan penahanan sebagai upaya terakhir.
Menurut kebijakan imigrasi Australia, para imigran tidak akan pernah diizinkan menetap. Para pendatang kemudian ditahan di dua kamp penahanan di berbagai pulau terpencil di Pasifik Selatan. Masa tahanan itu berlaku hingga mereka diterima oleh negara lain atau setuju untuk kembali ke negara asal.
"Australia menjelaskan tentang bagaimana mereka memperlakukan kedatangan para imigran dengan mengirim mereka ke luar negeri untuk bertahan dalam kondisi buruk selama bertahun-tahun, serta berusaha menghindari tanggung jawab internasionalnya ke negara-negara yang kurang berkembang," kata Elaine Pearson, Direktur Australia Human Rights Watch.
Penolakan Australia atas perjanjian PBB ini merupakan langkah terbaru untuk memperketat migrasi. Hal ini juga diduga sebagai langkah politik Morrison untuk memenangkan pemungutan suara kembali.
Berdasarkan hasil dari jajak pendapat Fairfax-Ipsos, sebanyak 45 persen pemilih menginginkan imigrasi berkurang, sementara lebih dari 20 persen menginginkan peningkatan.
Pada Oktober lalu, Morrison menegaskan akan membatasi imigran baru untuk tinggal di berbagai kota terbesar seperti Sydney, Melbourne dan Brisbane selama lima tahun. Namun, kebijakan itu dinilai dapat menyebabkan kekurangan tenaga kerja.
Credit cnnindonesia.com