CB — Mungkin banyak yang mengatakan bahwa lengan robot Wayan Sutawan dari Bali
hoax. Namun, jangan sampai Anda meragukan kebenaran kursi roda buatan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Kursi roda yang belum diberi nama itu benar-benar bisa digerakkan hanya dengan pikiran.
Kompas.com telah mencobanya pada Rabu (27/1/2016).
Bagaimana bisa, kursi roda itu digerakkan pikiran?
Jadi,
ada beberapa komponen penting pada kursi roda. Pertama adalah elektroda
penangkap sinyal dari otak yang terpasang pada kupluk atau penutup
kepala. Total ada 32 elektroda.
Di bagian belakang kursi roda
terdapat perangkat untuk memperkuat sinyal. Sinyal otak punya tegangan
kurang dari 60 mikrovolt sehingga harus diperkuat agar cukup untuk
menggerakkan sebuah benda.
Yunanto Wiji Utomo Penguat Sinyal Kursi Roda EEG
Data
sinyal yang telah diperkuat masuk ke komputer. Sebuah aplikasi khusus
yang dikembangkan oleh LIPI kemudian digunakan untuk mengekstrak dan
mengidentifikasi sinyal.
"Tujuan ekstraksi sinyal untuk
mengetahui ciri sinyal yang dibutuhkan, berapa frekuensinya, berapa
amplitudonya," kata Muhammad Agung, peneliti Balai Pengembangan
Instrumentasi yang terlibat pembuatan kursi roda berteknologi EEG ini.
Sinyal
yang terpilih kemudian dikirim ke bagian pengontrol. Pengontrol inilah
yang kemudian memerintahkan kursi roda untuk bergerak.
Seperti apa rasanya menggerakkan sesuatu dengan pikiran?
Susah ternyata.
Kompas.com
harus membayangkan bergerak ke kanan dan kiri. Namun, walaupun hal itu
sudah dibayangkan, kursi roda kadang tak bergerak dengan tepat.
Untuk
membantu saat ingin bergerak, sebuah gambar ditayangkan pada laptop.
Gambar itu sederhana, hanya ada kotak di bagian kanan, kiri, atas, dan
bawah.
"Ada teknologi yang benar-benar hanya menggunakan
pikiran. Namun, itu susah. Jadi, kita gunakan bantuan visual untuk
menggerakkan dengan tepat. Ini hanya sebagai pancingan," kata Agung.
Nah, untuk bergerak maju,
Kompas.com menatap kotak bagian atas. Setelah fokus menatap, akhirnya kursi roda benar-benar bisa bergerak maju.
Kursi roda tak punya mode berhenti. Jadi, jika ingin berhenti,
Kompas.com harus menatap kotak bagian bawah sesaat. Kadang, kursi roda tak begitu saja berhenti.
Ada satu momen ketika
Kompas.com
hampir saja menabrak meja. Untungnya, bagian depan kursi roda
dilengkapi dengan sensor sehingga perangkat bisa otomatis berhenti pada
jarak 30 sentimeter sebelum menabrak.
Yunanto Wiji Utomo Sensor Kursi Roda EEG LIPI
Walaupun
kita sudah fokus menatap kotak bagian tertentu pada layar, gerakan
kursi roda kadang tak selalu tepat. Misalnya, ketika kita menatap kotak
bagian kanan agar bisa berbelok ke arah tersebut, kursi roda tetap saja
bergerak lurus.
Di situlah sebenarnya yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pengembang alat berteknologi EEG.
"Belum
ada alat yang benar-benar akurat," ungkap peneliti Balai Pengembangan
Instrumentasi yang memimpin proyek kursi roda EEG, Arjon Turnip.
Menurut
Arjon, belum ada satu pun perangkat EEG di dunia yang akurasinya
mencapai 100 persen. Tak ada pula yang hanya menggunakan pikiran. Pasti
ada bantuan penglihatan untuk memancing sinyal otak.
Agung
menuturkan, kunci untuk mengupayakan akurasi pada perangkat EEG adalah
perangkat lunaknya. "Harus bisa mengekstrak sinyal dengan baik,"
katanya.
Sinyal otak tak seperti sinyal jantung yang rata-rata
detaknya sudah diketahui. Sinyal otak cenderung random sehingga harus
diekstrak dan diidentifikasi.
Identifikasi salah satunya
berdasarkan frekuensi. Misalnya, untuk gerakan maju, frekuensinya 9
hertz. Maka dari itu, perangkat lunak harus bisa mengidentifikasi sinyal
pada frekuensi itu.
Identifikasi itu punya tantangan sebab banyak
noise
dalam sinyal otak. Jika selama fokus bergerak lantas pengguna,
misalnya, sekadar berkedip, frekuensinya sudah akan berbeda sehingga
menyulitkan gerakan.
Arjon menyebutkan, "Kursi roda EEG ini adalah yang paling canggih di Indonesia."
Kini,
pengembangannya masuk tahun keempat. Program pada tahun ini adalah
menguji coba fungsi kursi roda secara terbatas sambil terus
menyempurnakannya.
"Kami sudah bekerja sama dengan Rumah Sakit
Hasan Sadikin dan ITB (Institut Teknologi Bandung) untuk tahap uji coba
ini," Kata Arjon.
Kemungkinan, produk ini bisa selesai dikembangkan dalam 2-3 tahun ke depan.
Menurut
Arjon, perlu sinergi dalam pengembangan teknologi seperti kursi roda
EEG. Bukan hanya lembaga penelitian dan universitas yang perlu terlibat.
Industri juga.