Presiden terpilih Prancis Emmanuel
Macron merayakan di atas panggung di reli kemenangannya di dekat Louvre
di Paris, Prancis, Minggu (7/5/2017). (REUTERS/Christian Hartmann )
Paris (CB) - Enam puluh persen pemilih Prancis merasa tidak
puas dengan pemerintahan Presiden Emmanuel Macron, ungkap survei pada
Rabu (18/4), dengan aksi mogok dan protes yang kian berkembang saat
reformis muda ambisius itu bersiap menandai satu tahun pemerintahannya.
Sekitar 58 persen orang mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap sang
presiden, yang memicu kemarahan di kalangan beberapa kelompok dengan
mengumumkan reformasi untuk semua bidang, mulai dari pengadilan, sistem
pendidikan sampai operator kereta api nasional.
Jajak pendapat Ifop-Fiducial secara luas sejalan dengan survei lain yang
menunjukkan tingkat persetujuan sekitar 40 persen hampir satu tahun
setelah Macron merebut kekuasaan pada Mei lalu.
Mayoritas – 57 persen – setuju bahwa Macron menepati janji kampanyenya
saat pemilu untuk menyederhanakan pemerintahan dan menjadikan Prancis
lebih kompetitif.
"Saya melakukan apa yang saya katakan akan saya lakukan," katanya kepada
televisi TF1 dalam wawancara pekan lalu, bagian dari pendekatan media
untuk berhubungan kembali dengan pemilih dan membela agenda reformasinya
menjelang satu tahun pemerintahannya.
Jajak pendapat itu muncul saat Macron menghadapi aksi mogok bergulir
selama tiga bulan karena rencananya untuk merombak operator kereta api
SNCF, menghapus pensiun dini dan tunjangan lain bagi karyawan baru,
demikian AFP.
TEHERAN
- Iran memperingatkan Amerika Serikat (AS) akan konsekuensi menarik
diri dari kesepakatan nuklir internasional. Teheran menjanjikan balasan
yang tidak menyenangkan terhadap Washington.
"Iran memiliki
beberapa opsi jika Amerika Serikat meninggalkan kesepakatan nuklir.
Reaksi Teheran terhadap penarikan Amerika atas kesepakatan itu akan
tidak menyenangkan," ujar Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif
saat tiba di New York seperti dikutip dari Reuters, Jumat (20/4/2018).
Di
bawah kesepakatan Iran dengan AS, Prancis, Jerman, Inggris, Rusia dan
Cina, Teheran setuju untuk membatasi program nuklirnya untuk memenuhi
sumber listrik yang tidak dapat digunakan untuk mengembangkan bom atom.
Sebagai gantinya, Iran menerima bantuan dari sanksi, yang sebagian besar
dicabut pada Januari 2016.
Presiden AS Donald Trump telah
memberi Eropa tenggat waktu 12 Mei untuk "memperbaiki kekurangan yang
mengerikan" dari kesepakatan nuklir 2015, atau dia akan menolak untuk
memperpanjang sanksi AS terhadap Iran.
Iran mengatakan akan tetap
mempertahankan kesepakatan selama pihak lain menghormatinya, tetapi
akan "mencabik-cabik" kesepakatan itu jika Washington menarik diri.
JENEWA
- Rencana pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan
pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un sebagai upaya Washington untuk
melucuti senjata nuklir Pyongyang menuai pujian. Namun, Washington
sendiri menuai kritik keras karena justru memodernisasi senjata
nuklirnya sama seperti halnya Rusia.
Pujian sekaligus kritik
terhadap kebijakan AS ini disampaikan Beatrice Fihn, pemimpin Kampanye
Internasional untuk Penghapusan Senjata Nuklir (ICAN). Menurutnya,
tindakan Washington dan Moskow yang sama-sama memodernisasi persenjataan
nuklirnya sama bahanya dengan ancaman nuklir Korut.
"Kebijakan
nuklir terbaru dari Amerika Serikat dan Rusia yang meningkatkan
persenjataan dan menciptakan jenis baru senjata nuklir yang lebih
berguna, ini adalah perubahan yang sangat berbahaya," katanya kepada
wartawan di Jenewa pada hari Kamis.
"Saya pikir mereka sama berbahayanya dengan ancaman nuklir Korea Utara," katanya lagi, seperti dikutip AFP, Jumat (20/4/2018).
Lima
dari sembilan negara bersenjata nuklir dunia—Inggris, China, Perancis,
Rusia, dan Amerika Serikat—adalah pihak yang meneken Perjanjian
Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Negara-negara itu akan menjadi subjek dari
tinjauan awal kelompok tersebut di Jenewa pada hari Minggu nanti.
Menurut
Fihn, AS dan Rusia jelas tidak menghormati komitmen mereka di bawah
perjanjian itu. Alasannya, semuanya terlibat dalam memodernisasi
persenjataan dan membuat senjata nuklir menjadi bagian yang lebih
sentral dari strategi pertahanan mereka.
Washington, misalnya,
baru-baru ini memutuskan untuk meningkatkan persenjataan senjata
nuklirnya dan untuk melengkapi bom "strategis" besar dengan senjata
"taktis" yang lebih kecil, dalam sebuah langkah yang menurut Fihn akan
membuatnya lebih mudah digunakan.
Dia juga mengecam retorika
ancaman yang dibuat Presiden AS Donald Trump dan para pemimpin
negara-negara bersenjata nuklir lainnya.
"Kami sekarang melihat
beberapa negara ini membuat ancaman eksplisit untuk menggunakan senjata
pemusnah massal untuk membunuh warga sipil yang tidak bersalah tanpa
pandang bulu," katanya.
Meski demikian, Fihn tetap menyambut
pengumuman bahwa Trump akan bertemu dengan Kim Jong-un dalam upaya
mewujudkan denuklirisasi semenanjung Korea. "Saya pikir itu mendorong
untuk melihat diplomasi daripada ancaman," katanya.
Namun dia mengingatkan bahwa tidak jelas jenis konsesi apa yang akan dibuat Korea Utara dalam diplomasi itu.
"Saya
bertanya-tanya apa yang akan dibawa Amerika ke meja dalam negosiasi
semacam ini," katanya."Akan sangat sulit untuk meyakinkan Pyongyang agar
meninggalkan program senjata nuklirnya ketika Washington dan yang
lainnya terus meningkatkan persenjataan mereka."
Dia juga
mengkritik ancaman Trump untuk menarik AS dari kesepakatan nuklir
Iran."Ini bisa mengirim pesan yang sangat mengkhawatirkan ke negara
seperti Korea Utara," ujarnya.
"Mengapa Anda membuat kesepakatan dengan negara seperti Amerika Serikat
yang tampaknya tidak tertarik untuk mencari solusi yang berfungsi untuk
dua pihak?," tanya Fihn.
ICAN memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2017 atas upayanya menegosiasikan sebuah perjanjian yang melarang senjata nuklir.
Pada
hari Kamis, Fihn menuduh negara-negara senjata nuklir menggunakan
ancaman yang sangat serius untuk menekan beberapa negara untuk tidak
meratifikasi perjanjian itu, termasuk mengancam akan membatalkan
bantuan.
Perjanjian yang telah ditandatangani oleh 58 negara itu
telah diratifikasi oleh tujuh negara. Setidaknya butuh 50 ratifikasi
lagi sebelum dapat diberlakukan.
MELBOURNE
- Kapal perang Australia ditantang oleh militer China di kawasan
sengketa di Laut China Selatan pada awal bulan ini. Demikian laporan
media Canberra, Australian Broadcasting Corp (ABC), mengutip para pejabat pertahanan Australia, Jumat (20/4/2018).
Departemen
Pertahanan Australia menegaskan bahwa tiga kapal perang baru-baru ini
melakukan perjalanan ke Kota Ho Chi Minh di Vietnam. Tapi, departemen
itu menolak merinci misi dan lokasi transit kapal-kapal tersebut di Laut
China Selatan.
ABC mengutip seorang pejabat pertahanan
yang mengatakan bahwa ada "pertukaran" antara kapal perang Australia
dengan Angkatan Laut China, tapi masih sopan.
"Angkatan
Pertahanan Australia telah mempertahankan program yang kuat dari
keterlibatan internasional dengan negara-negara di dan di sekitar Laut
China Selatan selama beberapa dekade," kata Departemen Pertahanan dalam
sebuah pernyataan yang dikirim melalui email kepada Reuters.
China
sendiri baru-baru ini menyelesaikan latihan militer besar-besaran di
Laut China Selatan, di mana wilayah itu diklaim oleh Beijing, Vietnam,
Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan.
Perdana Menteri Malcolm
Turnbull yang berada di London untuk pertemuan Kepala Pemerintahan
Persemakmuran, juga menolak untuk mengonfirmasi interaksi antara kapal
perang Australia dengan militer China.
"Seperti yang telah mereka
lakukan selama beberapa dekade, kapal dan pesawat Australia akan terus
menggunakan hak di bawah hukum internasional untuk kebebasan navigasi
dan penerbangan, termasuk di Laut China Selatan," imbuh pernyataan
Departemen Pertahanan Australia.
Pembangunan pulau-pulau dan
fasilitas militer China di kawasan sengketa itu telah memicu
kekhawatiran beberapa negara bahwa Beijing sedang berusaha untuk
membatasi kebebasan navigasi dan memperluas jangkauan strategisnya.
Sekadar
diketahui, tiga kapal perang Australia; Anzac, Toowoomba dan Success,
dikirim ke kawasan Laut China Selatan untuk beberapa misi, termasuk
latihan militer dengan beberapa negara Asia Tenggara.
Kapal
Toowoomba berlayar ke Vietnam dari Malaysia, sedangkan dua kapal perang
Australia lainnya berlayar melewati Laut China Selatan dari Subic Bay di
Filipina.
Pesawat militer Cina mengitari Taiwan dengan mengemban misi tugas suci.
CB,
BEIJING -- Pesawat militer Cina kembali terbang di sekitar Taiwan pada
Kamis (19/4). Taiwan mengecam intimidasi militer tersebut,
Taiwan,
yang diklaim Beijing sebagai wilayah Cina, adalah salah satu masalah
paling peka Cina. Cina meningkatkan pelatihan militer di Taiwan pada
tahun lalu, termasuk dengan pesawat pembom dan pesawat militer lain di
sekitar pulau itu.
Baru-baru ini, Cina jengkel karena pernyataan Perdana Menteri
Taiwan William Lai, yang dianggap mendukung kemerdekaan Taiwan. Meskipun
Taipei mengatakan kedudukan Lai tetap bahwa "status quo" Taiwan dengan
Cina daratan harus dipertahankan.
Dalam pernyataan
di mikroblognya, angkatan udara Cina mengatakan bahwa pesawat pembom
H-6K baru-baru ini melakukan patroli di sekitar Taiwan.
"Ibu
pertiwi ada di dalam hati kami, dan pulau permata itu berada di
sanubari ibu pertiwi," kata kapten H-6K, Zhai Peisong, seperti dikutip
dalam pernyataan itu, menggunakan nama lain untuk Taiwan.
"Mempertahankan sungai dan gunung yang indah di ibu pertiwi adalah misi suci pilot angkatan udara," ujarnya.
Kementerian
Pertahanan Taiwan mengatakan, dua pesawat pembom H-6K Cina telah
terbang di sekitar pulau itu pada Rabu sore (18/4). Pertama, pesawat
terbang melalui Selat Miyako, ke timur laut Taiwan, kemudian kembali ke
pangkalan melalui Selat Bashi antara Taiwan dan Filipina.
Pada
Rabu malam, media pemerintah Cina mengatakan militer juga telah
melakukan latihan militer dengan helikopter di sepanjang pantai
tenggaranya. Hal itu dilakukan setelah peringatan yang semakin keras
oleh Beijing untuk Taiwan agar mengikuti aturan.
Kantor
Urusan Taiwan di Cina mengatakan "kegiatan separatis kemerdekaan" di
pulau itu adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dan stabilitas di
Selat Taiwan. "Tidak ada pasukan dan orang boleh meremehkan tekad dan
kemampuan kuat kami untuk membela kedaulatan dan keutuhan wilayah
bangsa," demikian kantor tersebut.
Jakarta, CB -- Pengadilan New York menyatakan tiga orang, termasuk satu mantan tentara Amerika Serikat, terbukti bersalah menerima puluhan ribu dolar membunuh seorang perempuan di Filipinapada 2012 lalu.
Berbicara
setelah putusan, Jaksa Geoffrey Berman menggambarkan kasus ini sebagai
tindakan "mengerikan," dengan detail "yang biasa dilihat di film-film
laga."
Ketiga orang tersebut "berkonspirasi untuk mengakhiri
nyawa orang lain di luar negeri yang belum pernah mereka temui," kata
Geoffrey.
"Hari ini juri secara mutlak memvonis mereka atas ketidakpedulian pada nyawa manusia."
Mereka adalah Joseph Manuel Hunter (52), Adam Samia (43) dan Carl David
Stillwell (50). Ketiganya dinyatakan terbukti berkonspirasi menculik dan
membunuh sebagai pembunuh bayaran. Penjatuhan hukuman akan dilakukan
pada September, dengan ancaman paling berat penjara seumur hidup.
Hunter adalah seorang mantan penembak runduk alias sniper
angkatan darat AS yang keluar pada 2004 setelah 20 tahun mengabdi.
Sementara, Samia sempat mengklaim pernah bekerja sebagai "kontraktor"
untuk klien di Filipina, China, Papua Nugini dan Republik Demokratik
Kongo
Ketiganya mempunyai pengalaman pelatihan senjata api yang ekstensif.
Berdasarkan pernyatan Kejaksaan yang dikutip CNN,
ketiga orang itu sepakat melakukan sejumlah pembunuhan di seluruh dunia
atas imbalan uang, termasuk bonus untuk setiap korbannya. Kesepakatan
itu dicapai pada 2011 dan 2012.
Di awal 2012, Samia dan Stillwell pergi ke Filipina, di mana Hunter memberikan informasi korban dan senjata untuk digunakan.
Setelah
mengawasi korban selama berbulan-bulan, kedua orang itu kemudian
membunuhnya dengan melepaskan tembakan ke arah wajah sebanyak beberapa
kali dan membuang mayatnya di antara tumpukan sampah.
Korban
ditemukan pihak berwenang setempat tak lama setelahnya. Samia dan
Stillwell dibayar $35 ribu oleh Hunter untuk membunuh korban.
Investigasi
terkait ketiga orang itu dilakukan secara internasional, menggabungkan
sejumlah badan penegak hukum AS dengan Kepolisian Kerajaan Thailand dan
Polisi Nasional Filipina.
Sementara itu, penuntutan ditangani oleh Unit Terorisme dan Narkotik Kejaksaan AS.
Peneliti Inggris meyakini Yulia tanpa sadar membawa bahan kimia dari Rusia ke Inggris
CB,
MOSKOW -- Komite Investigasi Rusia mengklaim bahwa tidak ada jejak
racun yang ditemukan sebelum Yulia Skripal meninggalkan negara itu untuk
pergi ke Inggris.
Rekaman CCTV dari momen-momen terakhir Yulia di tanah Rusia sebelum
ia terbang ke Inggris telah muncul.Gambar-gambar itu menunjukkan Skripal
keluar dari taksi dan naik pesawat terbang Inggris. Peristiwa itu hanya
beberapa hari sebelum ia dan ayahnya, bekas intelijen Sergei Skripal,
diracuni oleh agen saraf kelas militer.
Yulia, yang tinggal
di Moskow, mengunjungi ayahnya di Salisbury. Ketika itulah ia jatuh
sakit karena bersentuhan dengan racun agen syaraf. Namun kini ia telah
keluar dari rumah sakit.
Dilaporkan ITV, Kamis
(19/4), peneliti Inggris meyakini bahwa Yulia mungkin tanpa sadar
membawa bahan kimia itu ke Inggris dari Rusia. Inggris menyalahkan Rusia
atas serangan itu, yang diduga dilakukan dengan mengolesi racun yang
dikembangkan Soviet, Novichok, pada pegangan pintu di bekas rumah agen
ganda itu.
Departemen Lingkungan Hidup telah mengkonfirmasi
bahwa racun itu diberikan dalam bentuk cair. Namun Moskow membantah
terlibat dalam serangan itu. Pihak berwenang Rusia mengatakan mereka
mengidentifikasi semua orang dalam penerbangan Yulia dari bandara
Sheremetyevo Moskow. Pihaknya mengungkapkan tidak ada penumpang yang
menunjukkan gejala keracunan pada saat itu.
Sergei Skripal adalah mantan kolonel intelijen militer Rusia yang berkhianat
CB,LONDON
-- Media penyiaran yang dikontrol pemerintah Rusia, Russia Today (RT),
masuk dalam investigasi terkait serangan agen saraf terhadap mantan
intelijen ganda Rusia Sergei Skripal. Regulator media Inggris membuka
tujuh investigasi terhadap media tersebut karena ada kemungkinan
pelanggaran aturan ketidakberpihakan sejak insiden itu terjadi.
Keracunan yang dituduhkan Inggris pada Rusia mendorong pengusiran
diplomat Barat terbesar sejak puncak Perang Dingin. Rusia membantah
keterlibatan dan menyarankan Inggris melakukan serangan untuk memicu
histeria anti-Rusia.
Sergei Skripal adalah mantan kolonel
intelijen militer Rusia yang mengkhianati puluhan agen untuk dinas
mata-mata asing Inggris. Dia ditemukan pingsan di bangku taman di kota
Salisbury bersama dengan putrinya Yulia pada 4 Maret.
Setelah
Perdana Menteri Inggris Theresa May menuduh Rusia berada di balik
keracunan, regulator media Inggris, Ofcom, memperingatkan bahwa produser
RT, TV Novosti, bisa kehilangan haknya untuk siaran di Inggris jika
gagal dalam fit and proper test.
"Sejak kejadian di
Salisbury, kami telah mengamati peningkatan yang signifikan dalam jumlah
program pada layanan RT yang menjamin penyelidikan sebagai pelanggaran
potensial dari Kode Penyiaran Ofcom," kata Ofcom, ditulis Reuters.
Rusia
telah memperingatkan bahwa setiap outlet media Inggris, seperti British
Broadcasting Corporation (BBC), akan ditendang keluar jika Inggris
menutup RT. Saluran tersebut diluncurkan pada 2005 dan dibiayai oleh
negara Rusia untuk memproyeksikan apa yang dikatakannya sebagai sudut
pandang Rusia, pada peristiwa global besar.
"Awan berkumpul
di BBC," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova
kepada kantor berita Interfax setelah penyelidikan Ofcom diumumkan.
Ofcom
sedang menyelidiki tujuh program RT yang diduga melanggar prinsip
ketidakberpihakan, baik dalam urusan Skripal maupun peristiwa di Suriah.
Tapi Ofcom, yang independen dari pemerintah, juga mengatakan ada ambang
batas tinggi untuk menemukan bahwa media penyiaran tidak cocok untuk
memegang lisensi. Sebelumnya, pihaknya telah mencabut lisensi untuk
pornografi hardcore dan materi yang dapat memicu kejahatan teroris.
"Hingga
baru-baru ini, seluruh catatan kepatuhan TV Novosti secara umum tidak
sejalan dengan lembaga penyiaran lainnya," kata Ofcom.
Di
tengah klaim dan kontra-klaim atas penggunaan ofensif pertama yang
diketahui dari agen saraf seperti itu di tanah Eropa sejak Perang Dunia
II, kedua pihak menuduh organisasi media di setiap negara menyebarkan
kebohongan pemerintah tentang pengkhianatan.
"Pendekatan
editorial kami belum berubah sejak peristiwa di Salisbury, dan kami akan
secara langsung menangani masalah ini dengan regulator," kata juru
bicara RT Anna Belkina.
"Kami senang melihat bahwa Ofcom
telah mengakui bahwa catatan kepatuhan RT telah sejalan dengan lembaga
penyiaran lainnya - menempatkan pernyataan politik dan tantangan apa pun
yang dilakukan terhadap saluran kami," kata Belkina.
Para
pejabat Rusia mengatakan RT adalah cara bagi Moskow untuk bersaing
dengan dominasi perusahaan media global yang berbasis di Amerika Serikat
dan Inggris. Menurut mereka media tersebut memberikan pandangan khusus
tentang dunia.
Presiden Sudan Omar al-Bashir (tengah) ( ANTARA FOTO/OIC-ES2016/Panca )
Khartoum, Sudan (CB) - Presiden Sudan Omar Al-Bashir pada
Kamis (19/4) memecat Menteri Luar Negeri Ibrahim Ghandour, demikian
laporan kantor berita resmi Sudan, SUNA.
Laporan tersebut, seperti dilansir Xinhua, tidak menjelaskan alasan di balik pemecatan menteri luar negeri itu.
Pemecatan tersebut dilakukan setelah Ghandour pada Rabu berbicara di
Parlemen Sudan bahwa Kementeriannya gagal membayar biaya staf misi
diplomatik Sudan di luar negeri atau menyewa sejumlah tempat misi di
seluruh dunia.
Ia juga mengatakan sejumlah diplomat Sudan yang bekerja di misi negeri
tersebut di luar negeri menyampaikan keinginan untuk pulang sebab mereka
tak menerima gaji selama berbulan-bulan.
Ia menjelaskan nilai gaji diplomat dan sewa misi berjumlah 30 juta dolar
AS sementara anggaran tahunan Kementerian Urusan Luar Negeri ialah
sebanyak 69 juta dolar AS.
Sudan menderita kekurangan valuta asing sejak Januari tahun ini,
sementara nilai mata uang negeri itu terhadap dolar AS ialah satu dolar
AS mencapai 35 pound Sudan.
Persekutuan 53 negara persemakmuran dinilai longgar jelang Brexit.
CB,
LONDON -- Ratu Inggris Elizabeth pada Kamis (19/4) mengatakan berharap
putranya dan ahli waris takhta Pangeran Charles memimpin Persemakmuran.
Hal itu menjawab beberapa orang, yang menyatakan jabatan tersebut harus
digilir di antara negara anggotanya.
"Harapan tulus saya ialah bahwa Persemakmuran terus memberikan
ketenangan dan keberlanjutan untuk angkatan mendatang dan memutuskan
bahwa pada suatu hari, Pangeran Wales harus mengemban pekerjaan penting,
yang dimulai ayah saya pada 1949," kata ratu pada pembukaan Pertemuan
Kepala Pemerintahan Persemakmuran.
Pertemuan di London
untuk pertama kali dalam 20 tahun tersebut dipandang sebagai peluang
bagi Inggris untuk berhubungan kembali dengan bekas jajahannya. Inggris
juga ingin menguatkan kembali persekutuan longgar 53 negara
Persemakmuran jelang Brexit.
Persemakmuran berkembang dari
kerajaan Inggris pada pertengahan abad ke-20 dan Ratu menjadi kepalanya
sejak pemerintahannya dimulai pada 1952. Pertanyaan tentang siapa akan
meneruskan penguasa kerajaan Inggris berusia 91 tahun pada peran itu,
diangkat jelang pertemuan puncak. Pemimpin partai oposisi Inggris
menyatakan pada Minggu bahwa posisi tersebut harus digilir di sekitar
anggotanya.
Perdana menteri Theresa May juga berbicara pada
upacara pembukaan dan memberi penghargaan atas "layanan, dedikasi dan
keajegan" ratu dalam peran itu. May akan melobi Charles untuk menjadi
pengganti ratu ketika masalah ini dibahas selama dua hari ke depan.
Pangeran
Charles, 69 (tahun), juga berusaha meyakinkan dirinya untuk peran itu
dalam sambutannya dalam acara di Istana Buckingham. "Bagi saya,
Persemakmuran menjadi bagian mendasar dalam hidup saya selama yang saya
ingat," katanya.
DOHA
- Pasukan dari Angkatan Bersenjata Qatar berpartisipasi dalam latihan
perang gabungan negara-negara Teluk di Arab Saudi. Padahal, Doha saat
ini sedang bermusuhan dengan Riyadh dan beberapa negara Arab lainnya
sejak hubungan diplomatik terputus.
Latihan perang "Joint Gulf
Shield 1" digelar di Kota Ras Al Khair, Kerajaan Arab Saudi pada 21
Maret hingga 16 April 2018. Latihan ini diikuti lebih dari 25 negara.
Keikutsertaan pasukan Qatar ini diungkap kantor berita negara Qatar News Agency (QNA) mengutip pernyataan kementerian pertahanan setempat.
Menurut
laporan yang dilansir Kamis (19/4/2018) malam, sejumlah pasukan dari
Angkatan Bersenjata Qatar, yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Khamis
Mohamed Deblan, berpartisipasi dalam latihan perang gabungan di Saudi,
bersama dengan pasukan darat, laut dan udara dari 25 negara lain.
Latihan
ini menampilkan sejumlah tahapan, termasuk pelatihan pusat komando dan
pelatihan lapangan. Latihan diakhiri dengan pelaksanaan latihan tembak
reguler dan non-reguler dengan peluru tajam, di samping parade militer.
Menurut
militer Doha, partisipasi pasukannya tersebut bertujuan untuk
memperkuat hubungan persaudaraan, bertukar pengalaman dan mengambil
bagian dalam semua yang akan menjaga keamanan dan stabilitas
negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan kawasan Arab dan Islam.
QNA melaporkan,
upacara penutupan latihan gabungan dihadiri oleh Kepala Staf Angkatan
Bersenjata Qatar, Mayor Jenderal Ghanem bin Shaheen al-Ghanem, atas
undangan mitranya dari Arab Saudi, Letnan Jenderal Fayyad bin Hamed
al-Ruwayli.
Seperti diketahui, Qatar saat ini sedang berseteru
dengan Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab dan Bahrain. Empat negara Arab
ini memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar pada 5 Juni 2017 atas
tuduhan Doha mendukung terorisme. Namun, tuduhan ini telah dibantah
Doha.
WASHINGTON
- Amerika Serikat (AS) akhirnya meniru langkah Rusia dan China dengan
mengembangkan peluru kendali (rudal) berkecepatan hipersonik. Keputusan
Washington ini diambil setelah Moskow membuat ancaman bahwa rudal
hipersoniknya mustahil dicegat sistem pertahanan udara manapun termasuk
AS.
Angkatan Udara AS mengatakan, anggaran sekitar USD928.000.000
atau sekitar Rp12 triliun akan dihabiskan salah satunya untuk
mengembangkan senjata canggih ini.
Dalam pengumumannya, Angkatan
Udara AS mengatakan, kontrak pengembangan rudal hipersonik telah
diberikan Lockheed Martin, kontraktor pertahanan yang berbasis di
Maryland.
Selain rudal hipersonik, anggaran sebesar itu juga untuk melanjutkan proyek yang dikelola bersama Angkatan Udara dan DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency) yang bernama program Tactical Boost Glide.
Kedua
proyek itu bagian dari program untuk mengembangkan prototipe canggih
yang nantinya dapat diterapkan di pesawat jet tempur Amerika Serikat.
"Angkatan Udara menggunakan prototipe untuk mengeksplorasi 'art-of-the-possible' dan untuk memajukan teknologi ini," kata kepala layanan pers Angkatan Udara Ann Stefanek, seperti dikutip The Washington Post, Jumat (20/4/2018).
Para eksekutif Lockheed Martin telah menekankan bahwa pesawat dan persenjataan hipersonik sebagai domain yang sangat diminati.
"Kami
berkomitmen untuk pengembangan teknologi hipersonik canggih, dan kami
sangat antusias untuk bekerja pada program Hypersonic Conventional
Strike Weapon," kata Jon Snyder, wakil presiden Lockheed Martin untuk
Program Strategis Angkatan Udara dalam sebuah pernyataan yang dikirim
via email.
Para pejabat Pentagon sebelumnya telah
memperingatkan secara terbuka bahwa senjata hipersonik secara teoritis
memang dapat menembus pertahanan rudal AS. Padahal, sistem pertahanan
tersebut merupakan pelindung Amerika dari serangan nuklir pertama musuh.
Peringatan
itu dengan asumsi bahwa rudal hipersonik dapat melesat jauh lebih cepat
daripada kecepatan suara. Apa pun yang melesat lebih cepat dari Mach 5,
atau lima kali kecepatan suara, dianggap hipersonik dan terlalu sulit
untuk ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara.
Presiden Rusia
Vladimir Putin, selama pidato kenegeraan bulan lalu mengumumkan bahwa
militer Rusia telah mengembangkan dan menguji coba rudal hipersonik.
Para pejabat AS juga mengatakan bahwa China juga memiliki kemampuan yang
sama.
Michael Griffin, kepala penelitian dan pengembangan
Pentagon, menyampaikan peringatan akan kemampuan China itu dalam
paparannya di depan Komite Layanan Bersenjata Parlemen AS.
"Menurut
pendapat saya, hari ini kemajuan paling signifikan oleh musuh kami
adalah perkembangan China dari apa yang sekarang ini menjadi sistem yang
cukup matang untuk serangan cepat (senjata) konvensional pada rentang
multi-ribu kilometer," katanya.
“Kami, dengan sistem pertahanan saat ini, belum melihat hal-hal ini
muncul," ujar Griffin kepada anggota Kongres. "Begitu kami melihatnya,
kami akan memiliki sedikit waktu tersisa untuk merespons," imbuh dia.
WASHINGTON
- Keputusan Ankara untuk membeli sistem rudal pertahanan udara S-400
dari Rusia akan membuat Turki menghadapi sanksi dari Amerika Serikat
(AS). Washington bahkan mengancam tidak akan memberikan jet tempur F-35
kepada Ankara.
Ancaman sanksi ini disampaikan Asisten Menteri
Luar Negeri AS Wess Mitchell saat paparan di depan Komite Urusan Luar
Negeri Parlemen.
"Ankara harus sadar akan risiko dalam membuat
konsesi strategis ke Moskow untuk mencapai tujuan taktisnya di Suriah.
Ankara mengklaim telah setuju untuk membeli sistem rudal S-400 Rusia,
yang berpotensi menyebabkan sanksi di bawah Pasal 231 CAATSA (Countering America's Adversaries Through Sanctions Act) dan berdampak buruk terhadap partisipasi Turki dalam program F-35," kata Mitchell.
Pernyataan ancaman Mitchell ini muncul dalam situs parlemen AS sebanyak tiga halaman yang dikutip SINDOnews, Jumat (20/4/2018).
Mitchell
sudah lama mengekspresikan penolakan kebijakan Turki yang ingin membeli
senjata anti-pesawat Rusia yang canggih. Tapi, sikapnya kali ini
disampaikan secara resmi atas nama posisinya sebagai pejabat di
Kementerian Luar Negeri AS.
Sebelumnya, Amerika memperingatkan
Turki bahwa penggunaan sistem S-400 Rusia akan membahayakan komunikasi
NATO dan menyebabkan masalah interoperabilitas, yang merupakan
kekhawatiran sah bagi aliansi.
"Turki akhir-akhir ini telah
meningkatkan keterlibatannya dengan Rusia dan Iran," katanya. "Kemudahan
yang dilobi Turki dengan militer Rusia untuk memfasilitasi peluncuran 'Operation Olive Branch' di distrik Afrin, pengaturan dari Amerika tidak dianggap, sangat memprihatinkan."
"Adalah
kepentingan nasional Amerika untuk melihat Turki tetap secara strategis
dan secara politik sejalan dengan Barat," ujar Mitchell yang menganggap
Ankara mulai tidak tunduk pada aturan aliansi yang dipimpin Amerika.
FBI menawarkan hadiah sebesar 1 juta dolar AS yang berhasil menemukan wartawan AS
CB,
WASHINGTON - FBI masih melakukan pencarian seorang wartawan AS bernama
Austin Tice, yang hilang di Suriah lebih dari lima tahun lalu. Untuk
pertama kalinya, FBI menawarkan hadiah sebesar 1 juta dolar AS bagi
siapapun yang memiliki informasi tentang keberadaan Tice.
Tice yang berasal dari Houston, Texas, menghilang pada Agustus 2012
saat tengah meliput perang saudara Suriah. Sebuah video yang dirilis
sebulan kemudian menunjukkan ia ditahan oleh kelompok bersenjata dan
matanya ditutup. Sejak saat itu keberadaannya tidak diketahui.
Tice adalah mantan Marinir yang pernah bekerja di The Washington Post, McClatchy Newspapers, CBS, dan media lainnya. Dia menghilang tak lama setelah ulang tahunnya yang ke-31.
Informasi
mengenai hilangnya Tice masih menjadi misteri. Belum jelas kelompok
mana yang menahannya atau apakah ada permintaan tebusan yang pernah
dikeluarkan oleh kelompok itu.
Poster yang baru dirilis
oleh FBI mendesak siapapun untuk melaporkan informasi apa pun yang dapat
mengarah ke lokasi penahanannya, dengan imbalan hadiah. FBI tidak
mengatakan mengapa baru menawarkan hadiah itu sekarang.
Orang
tua Tice mengatakan mereka percaya anaknya saat ini masih dalam keadaan
hidup. Pemerintah AS dan Suriah telah meyakinkan mereka bahwa kedua
negara itu terus mencoba untuk mengupayakan pembebasannya.
"Kami
senang. Kami senang atas apa pun yang mungkin menggerakkan upaya dan
membawa anak kami ke rumah dengan selamat," ujar Debra Tice, ibu dari
Austin Tice, Kamis (19/4).
Debra mengatakan, dia dan
suaminya tidak meminta adanya imbalan hadiah uang untuk bisa mendapatkan
informasi tentang anaknya. Menurutnya, hal itu adalah keputusan
internal FBI.
"Kami benar-benar sangat senang melihat
tingkat keterlibatan dan komitmen seperti itu. Ini benar-benar
menghangatkan hati kami," ungkapnya.
Dubes Inggris Moazzam Malik menyatakan
pihaknya khawatir Suriah menghilangkan bukti dugaan serangan senjata
kimia di Douma, dua pekan lalu. (ANTARA Foto/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CB -- Inggrismenyatakan khawatir Suriahmenghancurkan
bukti serangan senjata kimia yang diduga dilakukan pemerintahan Bashar
al-Assad di Douma, Ghouta Timur, sekitar dua pekan lalu. Hal itu
disampaikan usai pertemuan dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
"Kami
khawatir jika situs di Douma sudah dihalangi dan sudah dibersihkan.
Meskipun begitu, kami tetap perlu akses penuh ke wilayah itu untuk
memastikan yang terjadi," ucap Duta Besar Inggris untuk Indonesia
Moazzam Malik di Kemlu RI, Jakarta, Kamis (19/4).
Karena itu
London mendesak Damaskus segera membuka akses tim pencari fakta
Organisasi Internasional Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) untuk melakukan
penyelidikan independen di Suriah, terutama Douma.
Malik mengatakan Inggris, Amerika Serikat dan Perancis telah
mendapat sejumlah bukti berupa kesaksian warga setempat yang menjadi
korban serangan senjata kimia. Selain itu, ada pula rekaman video yang
diduga menggambarkan peristiwa di Douma 7 April lalu.
Serangan itu, menurut Malik, menewaskan sedikitnya 75 orang dan melukai
1.000 lainnya di sejumlah lokasi di Douma yang tak jauh dari Ibu Kota
Damaskus.
Dia mengatakan pihak Barat mendapatkan bukti dari beberapa organisasi pemerhati HAM.
Dilaporkan sebelumnya, sejumlah aktivis mengatakan serangan gas beracun itu berasal dari bom barel yang dijatukan helikopter.
"Kami
meyakini bahwa gas itu kemungkinan klorin atau mungkin sarin. Banyak
saksi mata di sana ikut menjadi korban, termasuk perempuan dan
anak-anak," kata Malik.
Malik mengatakan bukti-bukti tersebut menjadi salah satu dalil Inggris, AS, dan Perancis meluncurkan serangan udara ke Suriah.
"Serangan
gabungan ini mengincar situs militer dan senjata demi membuat Suriah
jera dan tidak menggunakan senjata kimianya lagi. Kami bukan ingin
menggulingkan rezim atau mencampuri konflik sipil di Suriah," kata
Malik.
Serangan
gabungan Barat ke Suriah disebut hanya mengincar fasilitas senjata
kimia. (Cpl L Matthews, 83EAG, Royal Air Force Photographer/Ministry of
Defence Handout via Reuters)
Hal tersebut turut ditegaskan Dubes AS untuk Indonesia Joseph R Donovan dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya,
seluruh upaya dialog dan diplomatik sudah dicoba ketiga negara guna
menghentikan tindakan Damaskus. Namun, Suriah tetap berkeras menggunakan
senjata itu hingga menewaskan warganya sendiri.
"Kami sudah gunakan cara diplomatik dan ekonomi untuk menghindari situasi yang saat ini terjadi," kata Donovan.
"Penting
juga diingat bahwa Suriah telah meratifikasi konvensi senjata kimia
pada 2013 lalu sehingga berkewajiban melucuti seluruh senjata kimianya.
"Rusia
menjadi penjamin Suriah dalam hal itu dan kami belum melihat komitmen
kedua pihak untuk memusnahkan senjata kimia di Suriah."
BAGHDAD - Pesawat-pesawat jet tempur F-16 Irak membombardir wilayah Suriah untuk menyerang basis-basis kelompok Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS). Pemerintah Perdana Menteri (PM) Haider al-Abadi mengklaim
serangan di Suriah telah dikoordinasikan dengan pasukan Presiden Bashar
al-Assad.
Serangan udara mematikan Irak berlangsung pada hari
Kamis setelah PM Abadi memerintahkan serangan tersebut beberapa hari
lalu. Perintah dikeluarkan dengan alasan kelompok ISIS yang bersembunyi
di Suriah bisa mengancam keamanan Irak.
"Berdasarkan perintah
dari panglima angkatan bersenjata, Haider al-Abadi, angkatan udara
heroik kami melakukan serangan udara mematikan terhadap situs-situs ISIS
di Suriah pada Kamis di dekat perbatasan dengan Irak," kata kantor PM
Abadi dalam sebuah pernyataan yang dilansir Al Jazeera, Jumat (20/4/2018).
Menurut pernyataan itu, serangan yang diluncurkan mencerminkan kemampuan militer pasukan bersenjata Irak dalam memerangi teror.
Militer
Irak melalui seorang juru bicaranya mengonfirmasi bahwa operasi militer
di wilayah Suriah sepenuhnya dikoordinasikan dengan tentara Presiden
Assad.
PM Abadi secara resmi mengumumkan kemenangan Irak atas
ISIS tahun lalu. Kemenangan itu diraih dengan bantuan koalisi yang
terdiri dari pasukan Peshmerga Kurdi dan unit paramiliter yang
didominasi milisi Syiah.
Tentara Irak juga menerima dukungan serangan udara dan darat dari koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat.
Kendati
demikian, ISIS masih menjadi ancaman, terutama di sepanjang perbatasan
Irak-Suriah. Melalui perbatasan itu, kelompok ISIS masih kerap melakukan
penyergapan dan pemboman di wilayah Irak.
Pada hari Kamis,
pemerintah Suriah juga mengultimatum para milisi ISIS untuk menyerah dan
meninggalkan wilayah Yarmouk, selatan Damaskus, dalam waktu 48 jam.
Wilayah yang jadi lokasi kamp pengungsi Palestina tersebut telah
diduduki kelompok ISIS selama hampir tiga tahun.
Yulia Skripal, putri mantan agen ganda Rusia, Sergei Skripal, yang diracun gas saraf di Inggris, awal Maret 2018. (Reuters)
Moskow (CB) - Moskow, Kamis, melemparkan tuduhan bahwa
dinas rahasia Inggris sengaja meracuni bekas mata-mata, Sergei Skripal,
dengan tujuan untuk menyudutkan Rusia.
"Dinas rahasia Inggris kemungkinan besar mendapat keuntungan dari
provokasi dengan meracuni warga negara Rusia di Salisbury dan,
kemungkinan, mengatur (insiden) ini untuk menyudutkan Rusia dan
kepemimimpinan politiknya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri
Rusia, Maria Zakharova, dalam acara jumpa pers.
"Langkah ini sejalan dengan kebijakan Fobia-Rusia secara umum yang
dianut pemerintah konservatif dengan tujuan untuk menjelek-jelekkan
negara kami," tambah Zakharova.
Ia mengatakan penolakan pihak berwenang Inggris untuk berinteraksi
dengan Rusia dalam menyelidiki peristiwa Salisbury, dalam memberikan
kesempatan pada Rusia untuk menemui para korban serta keengganan pihak
berwenang Inggris untuk mengungkapkan kepada Rusia dokumen-dokumen yang
diperlukan bagi penyelidikan obyektif, merupakan "bukti" mengenai niat
London.
Skripal, sang mantan mata-mata Rusia, dan putrinya diracun pada 4 Maret
di kota Inggris Selatan, Salisbury. Inggris menuding Rusia sebagai pihak
"yang kemungkinan besar" telah menggunakan racun saraf kategori
militer, dengan mengutip hasil penyelidikan yang dilakukan oleh para
pakar Inggris.
Sebagai kelanjutan dari insiden itu, Inggris mengusir sejumlah diplomat
Rusia. Amerika Serikat dan beberapa negara lain Eropa memberikan
dukungan kepada London dengan juga mengusir para diplomat Rusia dari
negara mereka. Rusia membalas langkah-langkah itu dengan balik mengusir
diplomat negara-negara asing dalam jumlah yang sepadan.
Para ahli dari Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) membenarkan
temuan mitra-mitra mereka dari Inggris setelah OPCW menjalankan
penyelidikan independen.
Namun, Moskow membantah memiliki keterlibatan apa pun dan menolak
menerima kesimpulan OPCW sampai pihaknya diberikan akses terhadap
penyelidikan itu, kata para pejabat Rusia.
Zakharova mengatakan Rusia masih siap melakukan kontak membangun dengan
Inggris untuk menjernihkan insiden itu "melalui format hukum
internasional apa pun."
"Dan kami mendesak London agar jangan cepat-cepat melenyapkan bukti," katanya.
DEN HAAG
- Narasi Inggris dalam kasus Skripal adalah kisah yang ditenun dengan
kebohongan, di mana London terus berusaha menipu komunitas
internasional. Hal itu dikatakan oleh utusan OPCW asal Rusia, menyoroti
delapan kesalahan informasi tersebut.
"Kami telah mencoba untuk
menunjukkan bahwa semua yang dihasilkan rekan-rekan kami di Inggris
adalah cerita yang dijalin dengan kebohongan," ucap perwakilan permanen
Rusia kepada Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) Aleksandr
Shulgin.
"Dan, tidak seperti Inggris, yang tidak terbiasa
mengambil tanggung jawab atas kata-kata mereka dan tuduhan tidak
berdasar, kami menunjukkan fakta-fakta spesifik mengapa kami percaya
mitra Inggris kami, secara halus, 'menipu' semua orang," imbuhnya usai
pertemuan OPCW terkait kasus Skripal seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (19/4/2018).
Pejabat
itu memberikan delapan contoh misinformasi yang didorong Inggris,
seputar peristiwa 4 Maret, ketika mantan agen ganda Sergei Skripal dan
putrinya Yulia diracuni di kota Salisbury.
1. Rusia menolak menjawab 'pertanyaan' Inggris "Kenyataannya,
mereka hanya meminta kami dua 'pertanyaan.' Dan keduanya dikatakan
dengan cara sedemikian rupa sehingga keberadaan gudang persenjataan
kimia tak terdokumentasi dalam cara penyelesaian yang sajikan Rusia
sebagai fakta yang tidak bisa dimungkiri sebagai fakta yang mampan,"
tuturnya.
Itu adalah ultimatum yang efektif, menekan Moskow untuk
mengakui bahwa ia menyerang Inggris dengan senjata kimia, atau mengakui
bahwa ia kehilangan kendali atas persenjataan perang kimiawi.
Moskow
menjawab kedua 'pertanyaan' ini segera, menyatakan bahwa itu tidak ada
hubungannya dengan insiden Salisbury. Terlepas dari itu, pejabat itu
menekankan, itu adalah fakta yang tidak bisa dimungkiri bahwa Rusia
menghancurkan semua persediaan persenjataan kimianya lebih cepat dari
jadwal pada tahun lalu.
2. Inggris tunduk pada buku aturan Konvensi Senjata Kimia "Prosedur
OPCW dengan jelas menyatakan bahwa jika satu negara anggota memiliki
masalah dengan yang lain, ia harus mengirim permintaan resmi, dan dengan
demikian pihak lain akan berkewajiban untuk menanggapi dalam 10 hari,"
terang Shulgin.
Namun, sebaliknya, Inggris diduga dihasut oleh
rekan-rekan mereka dari seberang, mengabaikan mekanisme yang tetap dan
muncul dengan skema verifikasi independen yang meragukan, yang melanggar
aturan-aturan OPCW tersebut.
3. Rusia menolak bekerja sama Sementara
Inggris dan sejumlah sekutunya menuduh Rusia menolak bekerja sama untuk
mendapatkan kebenaran, situasinya justru sebaliknya, Shulgin
bersikeras.
Moskow tertarik dengan penyelidikan menyeluruh atas
insiden itu - terutama karena para korban adalah warga Rusia. Moskow
berulang kali bersikeras pada penyelidikan bersama dan mendesak London
untuk merilis data tentang kasus Skripal, tetapi semua upaya itu
sia-sia. Banyak permintaan yang tidak dijawab oleh Inggris, sementara
yang lain hanya menerima balasan resmi.
4. Rusia menciptakan versi lain untuk mengalihkan perhatian
Shulgin
mengatakan meskipun banyak spekulasi dan tuduhan oleh sumber-sumber
yang dipertanyakan, dikutip oleh media Inggris, pada akhirnya Moskow
dituduh dengan membuat 30 versi dari peristiwa Salisbury yaang diduga
untuk menggangu penyelidikan.
"Kenyataannya, gambaran itu berbeda. Faktanya, itu adalah tabloid
Inggris, yang disebut media independen, yang menduplikasi versi-versi
itu," kata pejabat itu, mengingat beberapa narasi, yang sebagian besar
sepenuhnya bertentangan satu sama lain.
5. Menghabisi pengkhianat adalah kebijakan resmi negara Rusia "Mereka
mengklaim bahwa kepemimpinan Rusia, pada beberapa kesempatan,
menyatakan bahwa menghabisi pengkhianat di luar negeri adalah kebijakan
negara Rusia," kata Shulgin.
"Ini fitnah, tentu saja. Inggris
tidak bisa menghasilkan satu contoh pun dari pernyataan semacam itu,
karena para pemimpin Rusia tidak pernah mengatakan hal semacam itu,"
tegasnya.
6. Para ahli menyalahkan Rusia Kepala misi OPCW
telah dengan jelas mengatakan bahwa tidak mungkin untuk menentukan di
negara mana zat beracun yang digunakan di Salisbury berasal. Namun
temuan OPCW sekali lagi digunakan oleh pejabat Inggris untuk mengklaim
bahwa Moskow "sangat mungkin" bertanggung jawab.
"Dengar, kata
kepala misi OPCW itu tidak mungkin dan mereka, meninggalkan semua akal
sehat, mengatakan Mereka telah mengkonfirmasi evaluasi kami bahwa itu
adalah Rusia. Bagaimana lagi Anda bisa mengevaluasi ini tetapi sebagai
sebuah kebohongan?" tanya Shulgin.
7. 'Novichok' adalah penemuan Soviet, jadi itu harus Rusia Perkembangan
yang disebut keluarga Novichok dari zat beracun lebih dari 30 tahun
yang lalu di Uni Soviet adalah salah satu pilar utama dalam narasi
Inggris, yang menyalahkan insiden Skripal kepada Rusia.
"Sumber-sumber
yang tersedia secara publik, bagaimanapun, menunjukkan bahwa Barat
telah dan masih melakukan penelitian dan pengembangan menjadi zat-zat
seperti itu," kata Shulgin, memberikan contoh baru dari kegiatan
tersebut.
"Belum lama ini, yaitu pada 1 Desember 2015, Kantor
Paten dan Merek Dagang AS mengajukan permintaan kepada rekan-rekan Rusia
yang meminta untuk memeriksa paten dari peluru yang dipenuhi senjata
kimia, yang dapat dilengkapi dengan Tabun, Sarin atau keluarga dari zat
Novichok," kata pejabat itu.
8. Yulia Skripal menghindari kontak dengan kerabat & menolak dukungan konsuler Rusia Meskipun
pernyataan seperti itu memang dibuat oleh otoritas Inggris "atas nama"
Yulia, Moskow percaya itu salah. Menurut Shulgin, situasi Yulia terlihat
seperti warga Rusia yang secara efektif sedang "disandera" oleh
otoritas Inggris.
Moskow (CB) - Maskapai penerbangan Amerika Serikat masih
bisa terbang di wilayah udara Rusia, kata Kementerian Transportasi, Rabu
(18/04), meskipun kesepakatan transit antara Washington dan Moskow akan
berakhir dalam waktu dekat.
“Menteri transportasi Federasi Rusia mengonfirmasi bahwa penerbangan
maskapai penerbangan Amerika di atas wilayah Rusia masih diizinkan
sesuai dengan skema yang ada sebelum negosiasi baru,” kata juru bicara
Kementerian Transportasi Timur Khikmatov kepada AFP.
“Pekan ini, kami mengirimi rekan kami di Amerika proposal untuk
menegosiasikan masalah ini. Tanggal negosiasi belum disepakati. Kami
menantikan jawaban dari rekan kami di Amerika,” imbuhnya.
Menurut laporan, yang mengutip pernyataan Menteri Transportasi Rusia
Maxim Sokolov, Moskow mempertimbangkan langkah pembalasan terhadap
Washington di bidang tersebut sebagai tanggapan atas sanksi Amerika
Serikat baru-baru ini.
Namun, larangan penerbangan transit belum dibicarakan, imbuhnya.
“Kami mempertimbangkan berbagai jawaban yang dapat diberikan negara kami
atas penjatuhan sanksi yang ilegal menurut pandangan kami. Meskipun
masih terlalu dini untuk membicarakannya, respons akan disiapkan,
disetujui dan diadopsi di saat yang tepat,” menurut pernyataan Sokolov
yang dikutip berbagai kantor berita.
Setiap hari, puluhan penerbangan Amerika melintasi langit Rusia di rute
terpendek dan paling menguntungkan mereka ke Asia, tapi izin untuk
melakukannya akan berakhir pada pukul 19.59 (2359 GMT).
WASHINGTON
- Pemerintah Trump dilaporkan mencoba merekrut negara-negara Arab untuk
pendanaan dan pasukan guna menggantikan kehadiran militer Amerika
Serikat (AS) di Suriah.
The Wall Street Journal (WSJ) melaporkan
bahwa para pejabat AS telah meminta Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat
Arab tentang kontribusi miliaran dolar dan sumber daya militer untuk
membantu mengamankan Suriah setelah ISIS dikalahkan.
Penasihat
keamanan nasional John Bolton juga dilaporkan telah menghubungi pejabat
Mesir tentang inisiatif tersebut seperti dikutip dari The Hill, Rabu (18/4/2018).
Para
pejabat militer mengatakan kepada WSJ bahwa akan sulit untuk meyakinkan
negara-negara Arab untuk mengirim pasukan jika AS menarik pasukannya
sepenuhnya.
Upaya yang dilaporkan itu dilakukan beberapa hari
setelah Presiden Trump mengesahkan sasaran serangan rudal di Suriah
sebagai tanggapan terhadap serangan senjata kimia terhadap warga sipil
di kota Douma.
Namun, Trump dalam beberapa minggu terakhir
menciptakan ketidakpastian atas masa depan peran AS di Suriah. Meskipun
ia telah berjanji untuk mengalahkan ISIS, Trump telah menunjukkan pada
beberapa kesempatan bahwa dia ingin membawa pulang pasukan Amerika dari
Suriah segera.
"Amerika tidak mencari kehadiran yang tidak terbatas di Suriah," katanya dalam pidato saat mengumumkan serangan rudal.
“Ini
adalah tempat yang bermasalah. Kami akan berusaha membuatnya lebih
baik. Tetapi itu adalah tempat yang bermasalah,” tukasnya.
Selama
konferensi pers dengan para pemimpin Baltik, Trump menyatakan AS dapat
memperpanjang kehadiran militernya di Suriah jika negara-negara Arab
lainnya, seperti Arab Saudi, membayarnya.
Baca: Trump: Ingin Pasukan AS Tetap di Suriah, Saudi Harus Bayar https://international.sindonews.com/read/1295272/42/trump-ingin-pasukan-as-tetap-di-suriah-saudi-harus-bayar-1522862571
Beberapa
penasihat militer dan anggota parlemen telah mendorong Trump meralat
ucapannya. Mereka memperingatkan bahwa menarik pasukan dari Suriah akan
menjadi kesalahan yang dapat mengganggu kestabilan kawasan.
Awal bulan ini, Trump menegaskan kembali keinginannya untuk mengakhiri keterlibatan AS di Suriah dengan cepat.
"Saya ingin (tentara AS) keluar (Suriah). Saya ingin membawa pasukan kami kembali ke rumah," tegas Trump.