Masjid di jerman
CB, BERLIN -- Kumandang adzan mengalun merdu,
memenuhi tiap sudut ruangan itu untuk memanggil setiap insan sejenak
beribadah kepada Allah, Sang Maha Pencipta.
Tak ada kubah ataupun
ciri khas bangunan yang menandakan itu masjid pada umumnya di Masjid Al
Salam NBS Moschee & Kulturzentrum. Masjid yang berlokasi di
Flughasfenstasse, Berlin, Jerman itu ternyata adalah bangunan bekas
gereja yang tak lagi digunakan.
Imam Masjid Al Salam NBS Moschee
& Kulturzentrum Syekh Muhammad Thaha mengatakan pada waktu itu
gereja yang saat ini menjadi masjid bukan merupakan gereja untuk aliran
tertentu, seperti gereja katolik atau evangelis.
"Dulunya
bangunan ini adalah gereja indenpenden, tidak termasuk ke dalam satu
aliran tertentu, dan gereja ini bukan gereja yang mengenakan pajak
kepada jemaatnya," katanya.
Sebagaimana pada umumnya, lanjut dia,
bila jemaat terdaftar dalam satu gereja, maka mereka wajib membayar
semacam pajak kepada gereja tersebut.
Sejak berubahnya fungsi
bangunan tersebut dari gereja menjadi masjid sejak tahun 2000-an, Thaha
mengaku tidak begitu banyak renovasi untuk menyesuaikan bentuk serta
arah kiblat.
Hanya podium yang diubah menjadi mihrab, tempat
khusus untuk imam memipin shalat, dan mimbar bagi khatib atau juru
dakwah. Keistimewaannya lagi, gereja itu menghadap ke Timur, sehingga
tidak begitu sulit untuk menyesuaikan ke arah kiblat.
Thaha
menuturkan di negara-negara yang bukan mayoritas Muslim, masjid bukan
hanya tempat beribadah, tetapi juga pusat segala aktivitas, baik yang
berhubungan dengan keagamaan maupun kemanusiaan. Di masjid yang Ia imami
itu juga diadakan pembelajaran Bahasa Arab dan Alquran bagi anak-anak
pada setiap akhir pekan.
Bukan hanya itu, juga diadakan
pembekalan integrasi mengenai budaya bagi para imigran yang baru datang
ke Jerman serta diskusi dengan komunitas, baik terkait sosial, budaya
maupun politik. Masjid yang cukup luas itu terdiri dari dua lantai,
yakni lantai pertama diperuntukkan bagi kaum pria dan lantai kedua untuk
wanita.
Para Ibu terlihat membawa anak-anaknya ke masjid untuk
mengikuti beribadah sementara anak-anak mereka belajar Bahasa Arab dan
Al Quran. Tepat di depan bangunan masjid juga terdapat warung kecil yang
menjual bahan makanan serta camilan halal.
Menerima Semua Jamaah
Tidak
ada mahzab tertentu yang diajarkan di masjid yang cukup luas untuk
menampung sekitar 500 jamaah itu. Thaha mengatakan pihaknya menerima
seluruh jamaah dengan aliran yang dianutnya, termasuk Syiah.
"Ada
banyak jamaah yang beribadah di sini, termasuk Syiah, mereka datang ke
sini untuk shalat dan melakukan ibadah lainnya," ujar pria asal Tunisia
itu.
.
Masjid Kreuzberg, Jerman
Namun, dia menyebutkan, karena yang paling banyak
adalah Suni, jadi yang diajarkan lebih kepada mahzab Imam Syafii. "Kami
tidak pernah memaksakan ajaran tertentu kepada siapapun, semua orang
bisa datang ke masjid ini," ujarnya.
Keterbukaan itu lah yang
mendorong banyak warga Jerman ataupun lainnya untuk belajar Islam di
masjid tersebut dan tidak sedikit yang memutuskan untuk menjadi mualaf.
Setiap bulannya pasti ada pemeluk agama Islam baru di masjid itu yang
kebanyakan karena pernikahan.
Kendati demikian, Thaha menegaskan
peran masjid Al Salam bukanlah untuk kegiatan misionaris, tetapi lebih
terfokus tempat ibadah dan pusat budaya. "Tentu saja banyak orang yang
datang ke sini, tetapi kami tidak melakukan kegiatan misionaris,"
ujarnya.
Salah satu muslim di Jerman, Asia, mengaku sering
datang ke Masjid Al falah selain untuk beribadah juga untuk
kemanusiaan. "Saya sering membantu apabila ada yang meninggal, semuanya
diurus di sini," ujarnya.
Namun, wanita berdarah Palestina itu mengaku tidak mengirimkan
anaknya untuk belajar Alquran dan Bahasa Arab ke masjid itu. "Saya
mengirimkan ke tempat les lain karena lebih intens seminggu dua kali,
sementara masjid di sini hanya satu kali seminggu. Saya ingin anak saya
memiliki pemahaman Islam yang kuat dan pandai berbahasa Arab karena Ia
sekolah di sekolah Kristen," ujarnya.
Peran Masjid Indonesia
Kisah
yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada Indonesische Weisheits und
Kulturzentrum (IWKZ) atau masjid dan pusat Budaya Indonesia di Jerman.
Masjid
yang diberi nama Masjid Al Falah itu dulunya merupakan bangunan pub
yang saat ini dikelola oleh muslim yang berasal dari Indonesia. Sejarah
singkat masjid tersebut berawal sejak 1988, yakni sekelompok muslim di
Jerman Barat yang tergabung dalam PPME, memutuskan untuk menyewa sebuah
rumah tinggal guna dijadikan masjdi sekaligus pusat kegiatan
organisasi.
Namun, mulai awal 2007, Masjid Al Falah tidak lagi
kelola oleh PPME, tetapi di bawah organisasi Muslim Indonesia di Berlin
yang tergabung dalam IWKZ.
Ketua IWKZ Dimas Abdirama mengatakan
saat ini pihaknya masih menyewa gedung seluas 200 meter persegi
tersebut yang berlokasi di Feldzeugmeisterstrasse, Berlin itu.
Dimas
mengatakan pusat kegiatan di masjid itu lebih kepada kemahasiswaan
karena orang-orang Indonesia yan datang ke Jerman sebagian besr adalah
mahasiswa.
Tentu berbeda dengan pendatang dari negara-negara
Arab atau Timur Tengah yang memang berpindah dan membawa seluruh
keluarganya ke Jerman. "Sebenarnya dari situ kita mempunya daya pikat
kepada ke Pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli,"
ujarnya.
Selain tempat ibadah, masjid itu juga merupakan tempat
bimbingan kepada mahasiswa, tempat kursus Bahasa Jerman, pusat
penggalangan dana untuk kegiatan dakwah dan lainnya.
Dimas
berharap segera memiliki bangunan masjid tersebut secara sepenuhnya dan
tidak lagi menyewa yang saat ini per tahunnya mencapai 4.000 euro.
Selain itu, tantangan yang dihadapi, menurut Dimas, yaitu memastikan
bahwa mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Jerman bisa semuanya
lulus dengan baik.
"Kita enggak mau ada yang tidak selesai, karena itu kita bimbing di sini karena mereka juga pasti menghadapi perbedaan budaya," katanya.
Masjid
Al Falah juga terbuka bagi siapapun yang ingin beribadah di dalamnya,
tidak hanya orang Indonesia. Salah satu Mahasiswa asal Indonesia yang
aktif dalam kegiatan masjid Al Falah, Hudzaifah Muhibullah, mengatakan
fokus utama kegiatan masih berfokus untuk dakwah ke orang Indonesia.
"Karena
belum dirasa perlu bagi kita untuk dakwah ke orang-orang Jerman,
paling ada karena pernikahan itupun hanya lima persen," ujar pria yang
sudah bermukim di Jerman selama enam tahun itu. Sama seperti Dimas,
Dzaif bercita-cita ke depannya bisa memiliki masjid sendiri dan bisa
menampung lebih banyak jamaah.
Ditinggalkan
Jurnalis
berkebangsaan Jerman sekaligus penulis di bidang studi keislaman
Daniel Bax banyaknya gereja berubah fungsi menjadi bangunan lain,
termasuk masjid karena banyaknya jemaat yang mulai menganut paham
atheis dalam 50 tahun belakangan. "Mereka perlahan menjadi atheis dan
mulai meninggalkan gereja," katanya.
Selain itu, seiring
berkembangnya pemahaman modern di kalangan warga Jerman, hanya mereka
yang dianggap konservatif yang masih pergi beribadah ke gereja.
"Sisanya, mereka tidak lagi merasa gereja itu rumah mereka," ujar dia.
Akibatnya,
Daniel menyebutkan, banyak yang menjual bangunan gereja terutama
gereja-gereja kecil sekitar 50 unit dalam 50 tahun terakhir.
Credit
republika.co.id/Antaranews