JAKARTA. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), PT Freeport Indonesia akhirnya menjawab keberatan pemerintah terkait besaran kewajiban divestasi sahamnya. Tapi, perusahaan yang menambang emas dan tembaga di bumi Papua tersebut menolak taksiran harga divestasi saham versi pemerintah.
Dalam
taksiran pemerintah, harga divestasi 10,64% saham Freeport Indonesia
tersebut dibanderol di harga US$ 630 juta. Hitungannya mengacu hitungan
penggantian atas investasi yang sudah dikeluarkan Freeport atau disebut
dengan
replacement cost.
Riza Pratama, Juru Bicara Freeport Indonesia menyatakan, pihaknya menolak mengikuti usulan pemerintah untuk menghitung besaran divestasi saham
Freeport Indonesia dengan skema replacement cost. "Sejauh ini kami
menggunakan skema perhitungan yang berbeda, skema masih sama seperti
yang lalu," kata Riza kepada KONTAN, Senin (25/7).
Dalam
hitungan Freeport Indonesia yang lalu, Freeport Indonesia mematok nilai
divestasi 10,64% sahamnya di harga US$ 1,7 miliar. Hitungan nilai
divestasi tersebut tidak datang tiba-tiba. Freeport Indonesia menghitung
dengan mengacu asumsi hitungan cadangan yang akan mereka keduk sampai
tahun 2041. Artinya, Freeport optimistis mendapatkan perpanjangan
kontrak hingga 2041.
Sementara, pemerintah menghitung kewajiban divestasi saham Freeport dengan skema replacement cost dengan acuan Peraturan Menteri ESDM No 27/2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga divestasi saham.
Dengan acuan beleid tersebut, pemerintah menghitung nilai divestasi
Freeport Indonesia jauh di bawah nilai divestasi yang ditawarkan oleh
manajemen Freeport Indonesia.
Penolakan Freeport Indonesia mengikuti nilai divestasi yang ditetapkan pemerintah bakal memperpanjang waktu proses divestasi saham Freeport. Sebab, kedua belah pihak belum mampu menyepakati nilai transaksi.
Bambang
Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba)
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) membenarkan, Freeport
Indonesia telah mengetahui penolakan soal nilai divestasi yang
ditawarkan oleh pemerintah.
Bambang bilang, pemerintah sudah dua
kali mengajukan permintaan divestasi sesuai dengan skema replacement
cost. Namun, gayung tak bersambut, Freeport Indonesia menolak.
"Freeport
Indonesia menanggapi surat saya yang kedua yang menyampaikan
perhitungan menurut pemerintah. Namun dia membalas inginnya tetap
menghitung berdasarkan perhitungan dia," kata Bambang di Kantor Dirjen
Minerba, Senin (25/7).
Bambang menambahkan, selama Freeport Indonesia tidak menghitung divestasi saham merujuk Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 tahun 2013, maka proses negosiasi tak akan terus berlanjut. "Kalau kami, ingin proses divestasi saham tersebut sesuai dengan peraturan pemerintah (hitungan sesuai replacement cost)," tegas Bambang.
Tunggu lampu hijau
Perlu
diketahui, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah
mempersiapkan konsorsium sejumlah BUMN sebagai calon pembeli saham
divestasi Freeport Indonesia. Anggota konsorsium tersebut meliputi PT
Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk, PT Timah Tbk,
dan PT Bukit Asam Tbk.
Winardi Sunoto, Direktur Utama PT
Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), mengatakan saat ini pembentukan
holding pertambangan sudah masuk dalam harmonisasi kebijakan di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkum dan Ham).
"Setelah selesai di harmonisasi baru bisa terbentuk (
holding
BUMN). Sesuai dengan arahan menteri BUMN (Rini Soemarno) pembentukan
holding BUMN tambang tersebut bisa menguatkan aset, Insya Allah selesai
dalam waktu dekat," kata Winardi kepada KONTAN, Senin(25/7).
Winardi menjelaskan, jika
holding BUMN pertambangan sudah terbentuk, barulah pihaknya menunggu lampu hijau dari pemerintah untuk mencaplok divestasi saham Freeport Indonesia. Namun, Winardi bilang, saat ini pemerintah masih melakukan negosiasi soal nilai divestasi yang disepakati.
"Pemerintah memiliki klausul, siapa-siapa saja yang bisa ambil divestasi saham itu. Ada BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta swasta," terang Winardi.
Sebelumnya, Inalum dijagokan sebagai induk
holding BUMN
pertambangan karena 100% sahamnya merupakan milik dari pemerintah.
Selain itu, bekas perusahaan Jepang tersebut dinilai mampu secara
teknologi maupun secara finansial mengambil divestasi saham PT Freeport Indonesia tersebut.
Credit
Kontan.co.id