World Wildlife Perubahan iklim.
PARIS, CB -
Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya
kesepakatan baru yang disebut Kesepakatan Paris untuk penanganan
perubahan iklim global. Walau konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11
Desember 2015 itu harus diperpanjang satu hari karena sulitnya
menemukan kesepakatan.
Betulkah Kesepakan Paris menjadi solusi?
“Bagi
politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini
justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat
sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim
mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang
paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil
tindakan,” kata Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan Energi
Friends of the Erath International dalam keterangan persnya.
Menurut
Bathnagar, negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan
memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan
taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan
yang sangat buruk.
Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan
Uni Eropa mestinya membagi tanggung jawab yang adil untuk menurunkan
emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi
negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim.
Namun di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.
Kurniawan
Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia)
menegaskan, bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak
sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
"Kesepakatan
iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan
masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan
berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan," jelasnya.
Sikap
pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran
strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan
Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan
kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan
dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar yang telah
dibangun oleh negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.
“Kita
tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan
energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar, khususnya hanya
untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim," kata
Kurniawan.
Ia melanjutkan, "Dukungan yang dimaksudkan pemerintah
Indonesia dari Kesepakatan Paris tidak akan berarti dan tidak akan
berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut,
menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta
menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia.”
Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang
menjadi analisis group Friends of the Earth terkait Kkesepakatan Paris,
yakni, pertama, Kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius
atau 2C merupakan tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa
setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan
temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius.
Hal ini tidak akan
berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi
mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung
jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara
berkembang.
Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan
lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah
dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.
Ketiga,
tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan
sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal
dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik tidak ada.
Keempat,
satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum bagi negara maju
adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.
Kelima,
pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim
tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas
bagi poluter terbesar dalam sejarah.
Dalam kasus REDD+ misalnya,
yang terjadi negara-negara maju akan mendukung proyek perkebunan yang
merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi
emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.
Pada hari
akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi
Friends of the Earth International bersama ribuan masyarakat Paris
melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global bagi keadilan klim dan
perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris.
Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi
Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan
tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses Konferensi
Perubahan Iklim PBB di Paris.
Credit
KOMPAS.com
195 negara setujui "Kesepakatan Paris"
Menteri
Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, Presiden terpilih untuk COP21,
berbicara dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Sekretaris
Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC)
Christiana Figueres dalam Konferensi Perubahan Iklim Dunia 2015 (COP21)
di Le Bourget, Prancis, Sabtu (5/12). (REUTERS/Stephane Mahe)
Paris (CB) - Sebanyak 195 negara peserta Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of
Parties/COP) ke-21 menyetujui "Paris Agreement" atau Kesepakatan Paris
yakni kesepakatan internasional terikat hukum untuk pengurangan emisi
gas rumah kaca yang diberlakukan pasca 2020.
Presiden Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan
Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21, Laurent Fabius mengumumkan
"Paris Agreement" di aula La Seine, arena KTT Iklim di Le Bourget,
Paris, Prancis pada Sabtu (12/12) malam waktu Paris.
Poin utama kesepakatan tersebut adalah menjaga ambang batas suhu
bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga satu
setengah derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.
Sebelum mengetuk palu sebagai tanda pengesahan Kesepakatan Paris,
Laurent memberikan waktu kepada para utusan negara-negara peserta KTT
untuk memberikan tanggapan atau keberatan. Setelah melihat seluruh
peserta dan tidak ada tanggapan, Laurent langsung mengetuk palu sidang.
"Saya
melihat semuanya positif, tidak ada yang keberatan. Karena itu
Kesepakatan Paris diterima," kata Laurent disambut tepuk tangan dan
teriakan dukungan dari peserta konferensi.
Lauret mengatakan bahwa "Paris Agreement" membuat seluruh delegasi
bisa pulang dengan bangga. "Usaha yang dilakukan bersama-sama akan lebih
kuat daripada bertindak sendiri, karena tanggung jawab kita sangat
besar," kata Menteri Luar Negeri Prancis itu.
Presiden Prancis, Francois Hollande menyampaikan apresiasi kepada
seluruh delegasi negara-negara peserta KTT Ikim yang sudah berunding
selama 12 hari.
"Kita sudah melakukannya, meraih kesepakatan yang
ambisius, kesepakatan yang mengikat, kesepakatan global. Anda bisa
bangga kepada anak cucu kita," katanya.
Ada lima poin utama yang merupakan kesimpulan dari Kesepakatan
Paris. Pertama, upaya mitigasi (mitigation) dengan cara mengurangi emisi
dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi yang
disepakati yakni di bawah 2 derajat Celcius dan diupayakan ditekan
hingga 1,5 derajat Celcius.
Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi secara
transparan (transparancy), ketiga upaya adaptasi (adaptation) dengan
memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan
iklim.
Poin keempat adalah kerugian dan kerusakan (loss and damage)
dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim. Poin kelima
adalah bantuan, termasuk pendanaan (finance) bagi negara-negara untuk
membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya
Bakar mengatakan bahwa Kesepakatan Paris mengakomodir sejumlah tawaran
Indonesia antara lain upaya mitigasi perubahan iklim dengan
mengembangkan program reduksi emisi dari kerusakan dan degradasi hutan
(REDD).
Dalam dokumen tersebut juga disepakati tentang diferensiasi atau
perbedaan tanggungjawab mitigasi antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang, pendanaan mitigasi dan adaptasi serta
peningkatan kapasitas dan transfer teknologi dari negara-negara maju ke
negara berkembang.
"Usulan kita tentang batas kenaikan suhu bumi
yakni dua derajat Celcius dan berupaya ditekan hingga satu setengah
derajat Celcius karena banyak pulau-pulau kita yang juga terancam bila
permukaan air laut naik," katanya.
Menteri mengatakan bahwa setelah COP Paris, seluruh pihak harus
bergandengan tangan untuk mewujudkan komitmen Indonesia yakni menurunkan
emisi sebesar 29 persen pada 2030 dan sebesar 41 persen dengan dukungan
internasional.
KTT Iklim ke-21 di Paris digelar mulai 30 November 2015 dan
seyogyanya berakhir pada 11 Desember 2015. Perundingan diperpanjang
sehari, karena negosiasi berlangsung alot untuk membahas beberapa poin
penting, antara lain batas kenaikan suhu bumi, mekanisme pendanaan dan
perbedaan tanggungjawab mitigasi antara negara-negara berkembang dan
negara-negara maju.
Setelah melalui pembahasan intensif selama 13 hari, Presiden COP-21
yang juga Menteri Luar Negeri Prancis memimpin sidang yang menyetujui
dan menetapkan "Paris Agreement".
Credit
ANTARA News