Foto
pada 30 Oktober 2009 ketika Sejumlah pekerja memasang reflika mandau
(senjata khas suku Dayak) di monumen Panglima Batur terbuat dari tembaga
(perunggu) setinggi empat meter dan berat 800 kilogram di Muara Teweh
Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. (arsip/ANTARA/kasriadi)
"...pejuang yang dicari-cari Belanda dengan hadiah 1.000 gulden
apabila tertangkap itu kembali akan dihukum gantung, namun saat itu
Belanda terkejut karena Panglima Batur sudah meninggal dunia."
Masyarakat Daerah Aliran Sungai Barito di Kalimantan Tengah sangat
mengenal nama Panglima Batur, yang gigih melawan penjajah Belanda.
Batur bin Barui lahir tahun 1852 di Desa Buntok Baru, Kecamatan Teweh
Tengah, Kabupaten Barito Utara yang merupakan desa di pinggiran Sungai
Barito.
Pejuang beragama Islam itu merupakan tangan kanan pejuang lainnya
bernama Sultan Muhammad Seman, anak Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional
asal Kalimantan Selatan).
Ia bersama pasukannya hanya yang hanya memiliki alat senjata
sederhana melawan Belanda yang menggunakan persenjataan perang lengkap.
"Atas perjuangan melawan penjajah itulah Pemerintah Kabupaten Barito
Utara mengusulkan menjadi pahlawan nasional," kata Sekretaris Daerah
Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Jainal Abidin.
Usulan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2010 ketika Kabupaten Barito Utara dipimpin Achmad Yuliansyah.
Saat itu sudah dibentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah
(TP2GD) Kabupaten Barito Utara dan Provinsi Kalteng, namun karena
kepengurusan TP2GD yang lama sudah berakhir sehingga dibuat tim yang
baru.
Perjalanan panjang usulan itu terus bergulir dan saat ini Bupati
Barito Utara dijabat Nadalsyah kembali berupaya meneruskan usulan
sebagai pahlawan nasional tersebut.
"Saat ini kami kembali membentuk Tim TP2GD yang baru dan kini masih
dalam proses pembentukan yang ditangani oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Barito Utara untuk menindaklanjuti dan menuntaskan
usulan pahlawan nasional tersebut" kata Jainal.
Tim tersebut nantinya akan melakukan perbaikan dokumen yang sebelumnya sudah disampaikan kepada Kementerian Sosial.
Usulan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional secara substansial
sudah lengkap, tetapi harus disusun dengan sistematika sesuai ketentuan.
Di samping itu harus diadakan seminar usulan pahlawan nasional yang
dihadiri pejabat dari Kementerian Sosial dan sejarawan nasional.
Usulan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional kepada pemerintah
pusat terhadap pejuang perang Barito yang terjadi tahun 1865-1905 silam
itu sebagai bentuk penghormatan kepada pejuang, apalagi Panglima Batur
kelahiran Kabupaten Barito Utara.
Selama ini tahapan untuk mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan
nasional sudah dilakukan baik seminar di kabupaten maupun provinsi.
Pemerintah Kabupaten Barito Utara juga telah membangun monumen
Panglima Batur setinggi empat meter terbuat dari tembaga dengan berat
800 kilogram yang diresmikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD)
Jenderal TNI George Toisutta pada 9 Maret 2010.
Monumen yang dibuat secara khusus oleh pematung I Nyoman Alim
Mustapha dari Dusun Batikan Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah di
taman Seribu Riam yang terletak di depan rumah dinas bupati setempat di
Muara Teweh.
Melawan BelandaPerjuangan Panglima Batur
telah dituangkan dalam buku "Jejak Langkah Perjuangan Panglima Batur"
yang ditulis H Mukeri Inas. Diceritakannya, Barui, ayahnda Batur berasal
dari keturunan Bakumpai Marabahan, Kalimantan Selatan.
Saat berusia 35 tahun, dia menikahi Samayap binti Kimat yang berumur
30 tahun pada tahun 1887. Istri Batur, Samayap mempunyai nama gelaran
samaran Idas. Ibunda Samayap berasal dari keturunan Kapuas Kahayan orang
Petak Bahandang, Kalimantan Tengah.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran Panglima Batur berada di
sekitar Desa Buntok Baru, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh)
bahkan sampai ke wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito.
Batur diangkat menjadi Panglima dan menjadi tangan kanan Sultan Muhammad Seman.
Pada akhir Desember 1904, Panglima Batur dipercaya menjadi utusan
Sultan Muhammad Seman menghadap Raja Pasir Kalimantan Timur meminta
bantuan senjata dan mesiu untuk persiapan amunisi cadangan.
Tetapi saat dia kembali dari Kalimantan Timur, Benteng Bara Kuning
telah runtuh terbakar diserang oleh Letnan dua Christoffel dan serdadu
marsose.
Sultan Seman selanjutnya bertahan ke Benteng Kalang Barah Manyakau,
saat itulah kurang lebih dari 40 hari merupakan detik-detik menjelang
keruntuhan Seman penguasa tanah pegustian di Barito Hulu.
Selanjutnya Panglima Batur tetap terus bertekad mengorbankan
perlawanan di wilayah Barito Tengah dengan menyusun kekuatan sendiri
bersama pengikutnya di Desa Buntok Kacil.
Beberapa pembantu Batur waktu itu, Panglima Bitik Bahe (Lanjas),
Demang Luntung (Pendreh), Deman Laju (Jingah), Temanggung Danom dan
Angis (Montallat), Raden Joyo, Panglima Inti, Upeng dan Temanggung Jadam
(Sungai Teweh) serta Panglima Bahi dan Temanggung Lawas (Sungai Lahei).
Batur meminta mereka melakukan penyerangan Benteng, penyergapan
patroli Belanda serta melakukan pencegahan barang masuk terutama garam
yang masuk ke wilayah Barito Tengah, maka terjadilah kekacauan,
ketidakamanan, ketidaktertiban ketika itu sehingga Batur dicap sebagai
pemberontak dan berbahaya yang tak mau menyerah dan tak mau diajak
berunding.
Bahkan dalam sebuah operasi militer, Belanda menyerang dan membakar
rumah Batur beserta keluarganya di Desa Buntok Kacil, sedangkan Batur
yang bersembunyi di pondok Muara Mariak bersama ibundanya juga diserang
habis-habisan.
Meski Batur dapat meloloskan diri tetapi ibundanya meninggal dunia,
ibunda Batur dikuburkan di Sampanga sekitar dua kilometer dari Buntok
Kacil.
Lokasi penyerangan Belanda itu kini berada di kawasan perkebunan
kelapa sawit PT Antang Ganda Utama PIR Butong Kecamatan Teweh Selatan.
Pada akhirnya Batur menghadapi sandungan yang amat berat karena
banyak keluarganya yang ditangkap dan dimasukan ke penjara di Muara
Teweh dan dijadikan sandera untuk memancingnya agar mau memenuhi
panggilan Belanda.
Penyiksaan terhadap keluarga yang ditangkap cukup berat, bahkan
sepasang pengantin yang sedang bersanding di Desa Lemo Kecamatan Teweh
Tengah juga ditangkap karena pengantin wanita yang merupakan keponakan
Batur dikira anak Batur.
Disamping itu ditambahkan juga berita bahwa seluruh anak laki-laki di
Desa Lemo dan Buntok Kacil akan ditangkap apabila Batur tidak memenuhi
panggilan ke Muara Teweh, sehingga terjadilah pertemuan antara Panglima
Batur dengan saudaranya H Dumajid di Muara Pariak tempat
persembunyiannya.
H Dumajid menyampaikan berita tentang penangkapan 80 orang penduduka
Lemo akan terus berkanjut apabila Batur tidak memenuhi panggilan
Belanda ke Muara Teweh.
Batur pun bersedia memenuhi panggilan Asisten Residen ke Muara Teweh
untuk berunding tetapi nyatanya dia ditangkap oleh Letnan Christoffel
dibantu Letna VH Vink pada tanggal 15 Mei 1905, dua pekan lamanya Batur
memdekan dipenjara Muara Teweh lalu dibawa ke Banjarmasin, Kalimantan
Selatan.
Sebagai tanda kenang-kenangan bersama ketiak Panglima Batur ditangkap, maka ditanamlah pohon ulin
(Eusideroxylon zwageri)
di pinggiran Sungai Barito sekarang di kawasan tugu Pendopo Muara
Teweh, namun sayang pohon yang berusia ratusan tahun itu ditebang.
Tunggul bekas tebangan kayu ulin itu sebagai sebagai saksi yang mengingatkan di sana dahulu Panglima Batur naik ke darat.
Batur ditahan di penjara di Banjarmasin mulai bulan Mei 1905 hingga
Juni 1906, sampai dengan Landraad Marabahan, Pengadilan Tinggi Belanda
di Surabaya, Jawa Timur dan Mahkamah Konstitusi Belanda di Batavia
menetapkan bawah Panglima Batur bersalah atas tuduhan makar.
Atas kesalahan itu maka Pengadilan Belanda atas nama Sri Baginda Ratu
Belanda memutuskan memperkuat keputusan Pengadilan Tingi Surabaya bawah
Batur dihukum gantung tahun 1906.
Dibawa ke Banjarmasin kemudian dihukum gantung dengan tuduhan makar,
namun saat mau dieksekusi di tiang gantung salah satu alatnya tidak
berfungsi dan saat itu rencana hukum gantung ditunda.
Seorang tentara Belanda yang menghukum gantung pejuang rakyat
pedalaman Barito ini juga merupakan pelaku yang mengeksekusi pejuang
rakyat Aceh yang juga pahlawan Nasional bernama Teuku Umar.
Setelah tertunda sepekan, pejuang yang dicari-cari Belanda dengan
hadiah 1.000 gulden apabila tertangkap itu kembali akan dihukum gantung,
namun saat itu Belanda terkejut karena Panglima Batur sudah meninggal
dunia.
Jasad pejuang itu tetap dibawa ke tiang gantungan untuk diperlihatkan
kepada masyarakat bahwa Panglima Batur benar-benar dihukum gantung dan
jenazahnya dikubur di Kuin Banjarmasin, selanjutnya pada 21 Aril 1958
makamnya dipindahkan ke Komplek makam Pahlawan Banjar di kawasan Masjid
Jami, Sungai Jingah, Banjarmasin.
Saat ini cucu buyut Panglima Batur yang masih tersisa yakni Anang
Syachrani putra Khairul yang bermukim di Anjir Barunai Kilometer 18
Kabupaten Barito Kuala, Kalsel.
Anang Syachrani ketika ditanya kenapa Batur gigih menentang Belanda
dia menjawab bahwa moyangnya itu berjuang demi kesetiaan sumpah bersama
:"Haram menyarah waja sampai kaputing, Lebih baik mati berkalang tanah
dari pada hidup dijajah".
Buku SejarahSekretaris
Daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Jainal Abidin mengatakan
pemerintah di kabupaten pedalaman Kalteng itu juga telah menyusun buku
sejarah tentang perjuangan Panglima Batur bersama rakyat Barito lainnya
melawan Belanda.
"Data pendukung juga sebagian dihimpun langsung dari ahli waris
beliau, saat ini ada yang masih hidup, serta kunjungan ke museum di
negeri Belanda," katanya.
Buku sejarah perjuangan Panglima Batur dan tenggelamnya kapal Onrust
yang ditulis seorang tokoh masyarakat Barito Utara, Mukri Inas yang kini
menetap di Kota Malang, Jawa Timur.
Sementara mantan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Barito Utara,
Yaser Arapat meminta Pemerintah Daerah memasukkan sejarah perjuangan
Panglima Batur dan tenggelamnya kapal Onrust ke dalam mata pelajaran
muatan lokal di sekolah-sekolah daerah aliran sungai (DAS) Barito.
"Ini merupakan salah satu rekomendasi dari bedah buku perjuangan
Panglima Batur kepada Pmerintah Daerah pada beberapa waktu lalu," kata
dia.
Rekomendasi lainnya, pemerintah mengusulkan Panglima Batur menjadi
pahlawan nasional, merehabilitasi dan melestarikan situs-situs
bersejarah perjuangan Barito, di antaranya bangkai kapal onrust yang
ditenggelamkan salah seorang pejuang rakyat asal Barito, Tumenggung
Surapati pada 26 Desember 1859 di kawasan Lebo Laluntung Tour, Kecamatan
Teweh Tengah atau sekitar tiga kilometer selatan ibu kota Barito Utara,
Muara Teweh.
Bangkai kapal yang kini tertimbun pasir dan lumpur di pedalaman Sungai Barito itu hanya dapat dilihat saat kemarau panjang.
Credit
antaranews.com