Seorang
wanita pengungsi Rohingya bersama anaknya berdiri di Kamp Pengungsian
Ukhia, Cox Bazar, Bangladesh, Kamis (28/9/2017). PBB menyatakan jumlah
pengungsi Rohinya telah mencapai 480.000 orang sejak konflik di Rakhine
berlangsung pada 25 Agustus 2017. (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)
Cox's Bazar, Bangladesh (CB) - Selagi Antara asyik
berbicara dengan seorang pria Bangladesh yang berada di sekitar
pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Ukhia, Cox's Bazar, dalam Bahasa
Inggris seadanya, Hafez Ullah antusias menyimak apa pun isi perbincangan
kami.
Pria kurus kering itu sesekali tersenyum, terlihat jelas ingin mengutarakan sesuatu.
Begitu
Antara mengakhiri perbincangan dengan si pria Bangladesh, Hafez
langsung mendekat untuk menumpahkan banyak hal mengenai Rohingya,
Rakhine, Myanmar dan Aung San Suu Kyi.
"Saya belum pernah bertemu
dan berbicara dengan orang asing sebelum ini," kata dia setelah Antara
menanyainya soal nama dan asalnya, Kamis menjelang malam 28 September
kemarin.
Hafez adalah orang Rohingya. Tidak seperti umumnya
pengungsi-pengungsi Rohingya lainnya, dia dapat berbicara dalam Bahasa
Inggris.
Juga tidak seperti umumnya pengungsi Rohingya yang lain, Hafez termasuk pengungsi terdidik.
Memperkenalkan
diri sebagai sarjana filsafat jebolan Universitas Rakhine State,
Myanmar, Hafez mengaku berasal dari Maungdaw Myo. Ini adalah daerah yang
menjadi episentrum konflik di Rakhine belakangan ini.
Di daerah
inilah, ratusan orang yang disebut teroris oleh Myanmar tetapi patriot
oleh sebagian orang Rohingya, melancarkan serangan terkoordinasi ke
beberapa pos polisi dan sebuah pangkalan militer Myanmar.
Fatal
bagi mereka, tentara Myanmar membalas jauh lebih fatal dari serangan
mereka, sampai akhirnya memaksa lebih dari separuh penduduk Rakhine lari
tunggang langgang ke daerah-daerah yang dianggap aman, terutama
melintasi Sungai Naf untuk mencapai Bangladesh. Dan Hafez adalah salah
satu dari mereka.
"Saya lari ke Bangladesh bersama istri dan
kedua anak saya dengan berjalan kaki berhari-hari. Tiba di sini (Ukhia)
sebelum Idul Adha lalu," kata Hafez.
Dia kini bergabung dengan puluhan ribu orang Rohingya lainnya di Ukhia di dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar.
Mengembalikan martabat
Hidup
di kamp pengungsian tidak lebih memedihkan dari hidup di Maungdaw.
"Tetapi martabat kami di sana (Myanmar) lebih rendah ketimbang jadi
pengungsi di sini (Bangladesh)," kata Hafez.
Hafez tidak tahu
kapan dia dan ratusan ribu pengungsi Rohingya lainnya bisa kembali ke
Myanmar. Bagi dia, Rakhine, Arakan atau apa pun nama tempat ini disebut,
adalah tanah airnya, tak ada yang bisa menggantikan itu.
Pada
20 September, pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengutarakan
rangkaian janji kepada dunia dan komunitas yang hanya disebutnya dengan
nama "muslim Rakhine". Salah satu janji dia adalah merepatriasi
pengungsi Rohingya ke Myanmar.
"Yang dia katakan itu bohong," kata Hafez.
Hafez skeptis janji itu diwujudkan oleh pemimpin Myanmar peraih Hadiah Nobel Perdamaian tersebut.
Sembilan
hari lalu Suu Kyi berkata, "Kami sudah siap untuk memulai proses
verifikasi (untuk repatriasi Rohingya), kapan pun itu."
Tetapi
seperti umumnya pengungsi Rohingya, Hafez menilai janji itu kosong
belaka. Dia menganggap apa yang dijanjikan Suu Kyi itu dilakukan di
bawah aturan yang sebelumnya juga pernah dilakukan, dan terbukti tidak
berdampak apa-apa.
"Saya mengakui dia (Suu Kyi) punya niat untuk
menyelesaikan masalah Rohingya, tapi sayang dia bukan penentu utama
kebijakan," kata Hafez.
Bagi Hafez, penguasa nyata di Myanmar,
termasuk untuk semua hal yang berkaitan dengan Rakhine dan Rohingya,
adalah "tatmadaw" atau militer, yang saat ini dipimpin Jenderal Min Aung
Hlaing.
"Min Aung-lah yang penguasa sesungguhnya di Myanmar," kata Hafez.
Pria
satu istri dua anak ini melihat Suu Kyi terborgol oleh militer. Di mata
Hafez, Suu Kyi hanya suar Myanmar kepada dunia, yang sebenarnya tak
punya banyak kekuasaan, apalagi sampai tingkat paling praktikal.
Oleh karena itu Hafez pesimistis dengan rencana repatriasi yang digagas Aung San Suu Kyi.
"Masalah
Rohingya tidak sebatas memberikan kartu identitas penduduk, lalu
dianggap selesai. Tidak! Masalah kami di Myanmar adalah soal
mengembalikan martabat yang terinjak-injak," kata Hafez meninggikan
intonasi bicaranya untuk menegaskan artikulasi pesannya kepada Myanmar
dan dunia.
"Kunci mengatasi masalah Rohingya adalah bagaimana
Myanmar mengembalikan dan menumbuhkan harga diri orang Rohingya," ulang
Hafez.
Sumpah anak Rohingya
Harga diri memang
menjadi hal prinsip bagi sebagian besar orang Rohingya, apalagi setelah
mereka menyeberang ke Bangladesh dunia menjadi tahu betapa
terinjak-injaknya harga diri dan martabat mereka.
Terlalu banyak
cerita mengenai wanita-wanita yang diperkosa, anak-anak yang terpaksa
menyaksikan orang tua mereka dibunuh di depan mata mereka sendiri.
"Sampai-sampai
ada seorang anak usia 12 tahun, baru 12 tahun!...yang bersumpah di
depan saya bahwa suatu saat dia akan membalaskan dendam atas kematian
orang tuanya," kata Aiman Ul Alam yang menjadi pemandu sekaligus
penerjemah untuk misi-misi kemanusiaan Indonesia di Cox's Bazar.
Setiap
hari Aiman mengantar orang asing, termasuk wartawan-wartawan luar
negeri, untuk menemui para pengungsi Rohingya, sampai jauh ke pedalaman
perbatasan Myanmar-Bangladesh. Dari sinilah Aiman mendapatkan begitu
banyak cerita mengenaskan soal Rohingya.
Dan itu tak dipungkiri oleh Hafez Ullah, kendati dia mengakui hidup di tempat pengungsian juga sangat menyulitkan.
"Tapi di sini kami punya tempat berteduh, tidak ada orang yang diperkosa, tidak ada orang yang dibunuh," kata Hafez.
Sulit
untuk memverifikasi pengakuan Hafez dan umumnya pengungsi Rohingya,
karena pemerintah Myanmar menutup rapat-rapat Rakhine seolah ingin
mencegah dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Tetapi ribuan pengakuan dan testimoni dari pengungsi terdokumentasi di mana-mana, baik di dalam maupun luar negeri.
Selama
sekitar satu setengah jam berada di kamp pengungsian bersama tim
Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar, Antara juga beberapa kali
menjadi sasaran curhat pengungsi, tanpa tahu apa yang mereka omongkan.
Seorang
di antaranya adalah perempuan berwajah teramat susah, dan tergoncang,
yang terus berbicara dalam Bahasa Bengali-Rohingya.
Setelah memanggil Aiman, diketahui perempuan ini punya nama Hashina Ulfa.
"Sudah
sepuluh hari di kamp ini. Suami saya dibunuh di depan mata saya sendiri
dan kedua anak kami," kata Hashina. "Tolonglah kami."
Tolong, selain kata lapar, adalah yang kerap terlontar dari mulut para pengungsi Rohingya.
"Tolong, kabarkan keadaan kami ini kepada dunia, kepada negaramu, Indonesia," kata Hafez.
Credit
antaranews.com