Image copyright
BBC Indonesia
Di tengah
keberhasilan aparat TNI-polisi menembak mati buronan kasus terorisme di
Poso, Sulawesi Tengah, muncul usulan agar kewenangan TNI dalam
memberantas terorisme dimasukkan dalam revisi undang-undang terorisme.
Panitia
khusus atau Pansus DPR revisi Undang-Undang Antiterorisme di DPR saat
ini meminta masukan dari berbagai pihak, mulai pimpinan TNI hingga
masyarakat di daerah.
Di sinilah, menurut anggota pansus, kemudian
muncul usulan agar kewenangan TNI dalam memerangi terorisme agar diatur
dalam undang-undang tersebut.
Anggota Pansus dan politisi Partai
Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil mengatakan, dalam skala tertentu
kehadiran TNI memang dibutuhkan dalam menindak aksi terorisme, namun
pansus belum menyepakati seperti apa wewenangnya.
Kewenangan TNI dalam menghadapi aksi terorisme dalam skala
tertentu sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Image copyright
BBC Indonesia
Menkopolhukam Luhut Panjaitan mengatakan, selama ini
aparat kepolisian sering menjadi sasaran "hujatan" dari masyarakat
terkait aksi memerangi terorisme.
Tetapi, menurut Nasir Djamil, ada usulan agar peran
itu dibahas pula dalam revisi UU Terorisme untuk memilah batasan peran
polisi dan TNI dalam memerangi terorisme.
"Nah, sekarang kita
melakukan sinkronisasi, harmonisasi, dan menyeleraskan dari berbagai UU
itu agar tidak ada yang merasa ditinggalkan dan ada yang merasa di depan
dalam memerangi terorisme," kata Nasir Djamil, Kamis (21/07) malam.
Nasir
menambahkan, batasan peran TNI dan polisi dalam memerangi terorisme
harus dijelaskan karena kedua institusi itu dibutuhkan ketika menghadapi
masalah ancaman terorisme.
Menkopolhukam: Pembagian peran TNI dan polisi
Menkopolhukam
Luhut Pandjaitan mengatakan, selama ini aparat kepolisian sering
menjadi sasaran "hujatan" dari masyarakat terkait aksi memerangi
terorisme.
"Sekarang kasihan teman-teman kepolisian yang dihujat
(oleh masyarakat terkait tindakan terhadap terorisme), padahal mereka
yang langsung berhubungan dengan masyarakat," kata Luhut kepada wartawan
di gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/07) siang.
Image copyright
Reuters
"Dipilah-pilah target itu, sehingga jangan
teman-teman polisi saja yang menghadapi terorisme," tegas Luhut.
Jadi, menurut Luhut, perlu dibagi peran polisi dan TNI terkait target dalam memerangi aksi terorisme.
"Dipilah-pilah target itu, sehingga jangan teman-teman polisi saja yang menghadapi terorisme," tegas Luhut.
Image copyright
BBC Indonesia
Menurut Luhut Panjaitan, perlu dibagi peran polisi dan TNI terkait target dalam memerangi aksi terorisme.
Menurutnya, dalam beberapa kasus terorisme, lebih cocok ditangani oleh TNI.
"Kalau misalnya ada beberapa target,
multiple target, 'kan bisa TNI dilibatkan di situ. TNI 'kan punya kemampuan sangat lebih di situ," kata Luhut.
Medan yang sulit seperti pegunungan atau hutan, menurutnya, juga dapat melibatkan TNI. "Kalau seperti di gunung, di hutan
ya kasih TNI itu. Karena
kerjaan dia begitu 'kan, jadi sesuai
nature-nya," jelasnya.
Pegiat HAM menolak
Direktur
program lembaga Imparsial, Al Araf, menganggap kewenangan TNI dalam
memerangi terorisme sudah diatur dalam UU Pertahanan Negara dan UU TNI,
sehingga tidak perlu diatur lagi dalam revisi UU terorisme.
"Itu
akan menarik militer ke dalam penegakan hukum penanganan terorisme, dan
itu sesuatu yang akan merusak mekanisme penegakan hukum," kata Al Araf
kepada BBC Indonesia, Kamis (21/07) malam.
Image copyright
AFP
Menurut Imparsial, pelibatan militer dalam memerangi
terorisme, lebih baik diletakkan dalam koridor 'rezim hukum
pertahanan'. "Yaitu diatur dalam UU TNI," tegas pegiat Imparsial, Al
Araf.
Menurutnya, akuntabilitas penanganan terorisme dengan melibatkan merupakan sesuatu yang sistem penegakan hukum.
"Karena
militer itu aktor yang berbeda, dan bukan bagian aparat penegak hukum,
dan itu akan menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum, dan berpotensi
pelanggaran HAM," paparnya.
Dia menambahkan, pelibatan militer
dalam memerangi terorisme, lebih baik diletakkan dalam koridor 'rezim
hukum pertahanan'. "Yaitu diatur dalam UU TNI," tegasnya.
'Biar diatur dalam UU TNI'
"Itu
artinya pelibatan militer dalam penanganan terorisme hanya untuk
penanganan operasi militer selain perang, dan merupakan pilihan
terakhir, dilakukan jika ada permintaan dari institusi kepolisian dan
kalau ada keputusan politik presiden," jelas Al Araf.
Sejak awal ada usulan agar peran aparat keamanan diberi wewenang lebih agar ampuh untuk mencegah tindakan terorisme.
Image copyright
BBC Indonesia
Tuntutan percepatan pembahasannya pernah disuarakan setelah serangan bom di kawasan Thamrin, Jakarta.
Seorang mantan pejabat badan anti teror nasional
pernah mengatakan UU anti teror yang ada lebih bersifat reaktif atau
hanya diberlakukan setelah kejadian teror.
Pembahasan revisi UU
terorisme telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu, tetapi tidak tuntas
juga, walaupun beberapa kali ada tuntutan dipercepat.
Tuntutan
percepatan pembahasannya pernah disuarakan setelah serangan bom di
kawasan Thamrin, Jakarta, dan diulangi lagi ketika aparat TNI dan polisi
berhasil menembak mati buronan teroris Santoso di Poso, Sulawesi
Tengah, baru-baru ini.
Credit
BBC