Saudi memulai intervensi militer di
Yaman sejak Maret 2015, untuk membantu mengembalikan legitimasi
pemerintahan Presiden Hadi. (Reuters/Faisal Al Nasser/Files)
Jakarta, CB
--
Kelompok pemerhati hak asasi manusia, Amnesty
International menilai penjualan senjata Inggris ke Arab Saudi memicu
perang saudara di Yaman dan melanggar kode baik secara domestik, Eropa
maupun internasional.
Dilaporkan
The Guardian
pada Kamis (17/12), Amnesty menyatakan bahwa pemerintah Inggris selama
berbulan-bulan mengetahui bahwa senjata yang dipasoknya ke pasukan Saudi
digunakan untuk menggempur sejumlah sasaran yang dimiliki oleh sipil
Yaman.
Amnesty mencontohkan ketika rudal jelajah buatan Inggris
yang diproduksi oleh Marconi, menghancurkan sebuah pabrik keramik di
sebuah desa di sebelah barat ibu kota Sanaa. Insiden yang diduga
menewaskan sedikitnya seorang warga sipil ini diduga dilakukan pada
bulan lalu.
Perang Yaman melibatkan koalisi serangan udara pimpinan Saudi yang
terdiri dari negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya merupakan
Muslim Sunni. Koalisi ini meluncurkan serangan udara besar-besaran
terhadap kelompok bersenjata Houthi yang didukung Iran dan sempat
menguasai Sanaa tahun lalu.
Saudi mengkalim bertujuan
mengembalikan kekuasaan Presiden Yaman, Abdu Rabu Mansour Hadi, dari
pemberontakan Houthi yang semakin signifikan. Tahun lalu, Hadi melarikan
diri ke Riyadh ketika Houthi mengusai Sanaa.
Perang saudara di
Yaman telah berubah menjadi krisis kemanusiaan. Sejumlah fasilitas
sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, pasar, gudang gandum, pelabuhan
dan kamp pengungsi, dihujani bom dari jet tempur koalisi serangan udara
yang dipimpin oleh Saudi.
Sejak konflik meningkat pada
pertengahan Maret 2015, lebih dari 5.800 orang tewas, puluhan ribu
lainnya terluka dan 2,5 juta warga Yaman terpaksa meninggalkan rumah
mereka.
Lebih dari 80 persen dari 21 juta penduduk Yaman
membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk 2 juta anak yang terancam
kekurangan gizi.
Amnesty International Inggris dan Saferworld,
anggota koalisi Pengendalian Senjata mendapat informasi ini dari
penasihat hukum mereka, Profesor Philippe Sands QC, Profesor Andrew
Clapham dan Blinne Ni Ghralaigh dari Matrix Chambers.
Para
pengacara berpendapat pemerintah Inggris melanggar kewajibannya
berdasarkan kebijakan konsolidasi Inggris soal ekspor senjata. Selain
itu, Inggris juga melanggar kebijakan soal posisi umum Uni Eropa dalam
ekspor senjata, dan perjanjian perdagangan senjata dengan terus
menyetujui transfer senjata dan peralatan perang lainnya untuk Saudi.
Para
pengacara menyimpulkan, "Setiap Inggris menyetujui transfer senjata dan
peralatan [perang] ke Arab Saudi, dalam kondisi senjata tersebut dapat
digunakan dalam konflik di Yaman, termasuk untuk mendukung blokade dari
wilayah Yaman, dan dalam kondisi bahwa penggunaan [peralatan] itu tidak
dibatasi, merupakan pelanggaran oleh Inggris atas kewajibannya di bawah
hukum domestik, Eropa dan internasional."
Pendapat hukum juga
menyatakan bahwa pemerintah Inggris dapat, setidaknya sejak Mei 2015,
dianggap "mengetahui penggunaan senjata oleh Arab Saudi, termasuk
senjata yang dipasok oleh Inggris, dalam serangan terhadap penduduk
sipil dan melanggar hukum internasional."
Namun, pemerintah
Inggris menegaskan mereka tidak ikut serta dalam kampanye militer di
Yaman. Bulan lalu, juru bicara Inggris yang tak dipublikasikan namanya
menyatakan, "Pemerintahan Ratu bertanggung jawab dengan sangat serius
soal ekspor persenjataan dan mengoperasikan salah satu kendali ekspor
senjata yang terkuat di dunia."
"Kami memeriksa dengan ketat
kasus per kasus pelanggaran terhadap konsolidasi Uni Eropa dan kebijakan
lisensi ekspor senjata nasional. Risiko pelanggaran hak asasi manusia
merupakan bagian penting dari penilaian kami," ujar juru bicara
tersebut.
Meski demikian, Amnesty dan Saferworld menunjukkan
bahwa lebih dari 100 lisensi ekspor senjata ke Arab Saudi dikeluarkan
sejak intervensi militer Saudi dimulai di Yaman pada Maret 2015. Selama
periode Januari-Juni 2015, lisensi ekspor Inggris ke Arab Saudi yang
bernilai lebih dari 1,75 miliar pound sterling, sebagian besar nampaknya
untuk pesawat tempur dan bom untuk digunakan oleh angkatan udara
Kerajaan Saudi.
"Inggris telah memicu konflik mengerikan ini
melalui penjualan senjata yang sembrono dan melanggar hukum sendiri
serta kebijakan perjanjian perdagangan senjata global," kata Direktur
Amnesty International, Kate Allen.
"Ribuan warga sipil tewas
dalam serangan udara yang dipimpin Arab, dan terdapat kemungkinan yang
besar bahwa penderitaan itu 'dibuat di Inggris'. Inggris harus segera
menghentikan penjualan senjata ini," kata Allen menambahkan.
Padahal,
pada 2013, Perdana Menteri David Cameron memuji perjanjian perdagangan
senjata sebagai sebuah kesepakatan penting yang akan "menyelamatkan
nyawa dan meringankan penderitaan manusia yang disebabkan oleh konflik
bersenjata di seluruh dunia."
Amnesty International menyerukan
pemerintah Inggris untuk menangguhkan pengiriman senjata ke Arab Saudi,
dan melipatgandakan upaya diplomatik untuk membantu agar konflik ini
dapat terselesaikan dengan baik dan mendorong berakhirnya blokade di
Yaman sehingga bantuan kemanusiaan dan komersial dapat masuk
Credit
CNN Indonesia