"Kami sepakat membeli satu skuadron pesawat SU-35 dari Rusia untuk menggantikan jet tempur F-5 Tiger," ujar Ryamizard.
Rencana pembelian Sukhoi SU-35, Ryamizard menjelaskan, juga sudah
diberi lampu hijau oleh Presiden Joko Widodo. Dia menyebut pada akhir
bulan September, rencananya Kemhan akan bertemu dengan perwakilan dari
Rusia untuk membicarakan pembelian salah satu alat utama sistem
persenjataan itu.
Skuadron jet tempur Sukhoi ini akan memperkuat 16 jet tempur Sukhoi
lainnya yakni SU 27 SKM dan SU 30 MK2 yang telah bermarkas di Makassar.
Mereka dinamakan Sukadron Udara Tempur 11.
Dikutip dari laman Russia Beyond the Headlines, Ryamizard
menjelaskan, alasan Indonesia membeli pesawat karena pilot TNI Angkatan
Udara sudah terbiasa mengoperasikan jet tempur buatan Negeri Beruang
Merah itu.
Terkait dengan pembelian, jet tempur Sukhoi akan dibeli dalam
beberapa tahap menyesuaikan kapasitas keuangan negara. Diprediksi total
harga pembelian pesawat jet tempur itu memakan biaya hingga Rp35
triliun.
Ryamizard pun menepis anggapan rencana pembelian terganggu karena situasi ekonomi global saat ini.
"Sudah ada pagunya, tinggal dilaksanakan saja, kalau rencana sudah
oke. Kalau resapan berjalan semua pasti ekonomi akan berjalan dengan
bagus. Hampir ekonomi semua negara baik Rusia, Tiongkok dan Malaysia
babak belur ya, jadi jangan terlalu menyalahkan pemerintah," kata mantan
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) di era kepemimpinan mantan Presiden
Megawati itu.
Saat itu dia juga membantah dengan membeli alutsista dari Rusia,
berarti Indonesia berpihak kepada mereka. Ryamizard menegaskan,
Indonesia menjalin kerja sama dengan negara mana pun. Bahkan, selain
dari Rusia, Kemhan turut membeli alutsista dari Tiongkok dan Amerika
Serikat.
"Kita juga beli Boeing, helikopter, pesawat angkut berat dan Hercules. Jadi balance.
Dengan Amerika kita kawan, begitu pula dengan Rusia dan Tiongkok. Kita
negara yang tidak membentuk blok, sehingga semua dianggap kawan dan
tidak ada musuh," kata Ryamizard.
Sementara, Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kemhan,
Marsekal Muda TNI M. Syaugi menjelaskan alasan lain membeli Sukhoi yaitu
sudah ada kerja sama di antara kedua negara berdasarkan UU No. 16 tahun
2012 mengenai Industri Pertahanan.
"Ada transfer of technology (TOT), ada offset industri dan
ada imbal data. Itu ada semua. UU Industri Pertahanan Nomor 16 tahun
2012 kan begitu," ujar Syaugi.
Offset yang dimaksud dalam UU tersebut yaitu ada komponen tertentu
yang dibuat di Indonesia, sehingga tak semuanya diproduksi oleh Rusia.
Sementara, anggota Komisi I DPR RI, Salim Mengga, mengatakan
pembelian pesawat Sukhoi SU-35 bisa untuk mengimbangi kekuatan angkatan
udara negara tetangga. Ditemui di gedung DPR RI, kawasan Senayan,
Jakarta pada 11 September lalu, kekuatan udara negara tetangga terus
berkembang dengan burung besi generasi ketiga.
Malaysia, bahkan sudah lebih dulu memesan pesawat tempur F-35 dan
Sukhoi SU-35. Langkah serupa juga dilakukan Singapura dan Australia yang
telah membeli F-35. Negeri Kanguru bahkan diketahui sudah mendatangkan
58 unit F-35 untuk menjaga wilayah udara mereka.
Menurut Salim, Indonesia harus belajar dari pengalaman sempat diembargo oleh AS sehingga kesulitan mencari sparepart pesawat.
"Kita cari alutsista yang risikonya rendah. Misalnya, kita beli
F-16, tetapi dalam perjanjiannya, kita tidak boleh menggunakannya untuk
kepentingan keamanan dalam negeri, lalu untuk apa (dibeli)? Jadi, kita
cari yang syaratnya ringan. Dengan Rusia, tidak terlalu banyak
risikonya," kata Salim.
Selain itu, tantangan untuk mempertahankan kedaulatan, khususnya udara kian berat.
"Kita harus tingkatkan pertahanan untuk mengantisipasi konflik di
kawasan Asia Tenggara, termasuk di Laut China Selatan," ujar dia.
Teknologi Canggih
TNI AU tentu memilih Sukhoi SU-35 bukan tanpa alasan. Pesawat
tersebut tergolong sebagai pesawat generasi ke-4++ dan tepat berada di
bawah pesawat siluman generasi kelima. Laman Russia Beyond the Headlines edisi,
4 September 2015 melansir SU-35 bahkan diklaim lebih unggul jika
dibandingkan F-16 dan F-18 yang berbasis teknologi tahun 1970-an. Sukhoi
yang dijuluki Super Flanker itu juga diketahui baru masuk ke dalam
perbendaharaan senjata AU Rusia.
Informasi dari Air Force Technology, SU-35 memiliki kemampuan
manuver yang tinggi (+9g) dengan sudut penyerangan yang tinggi.
Dilengkapi dengan sistem senjata canggih, membuat pesawat ini memiliki
kemampuan tempur luar biasa.
Sukhoi SU-35 bisa melaju dengan kecepatan maksimum mencapai 2.390 kilometer per jam atau Mach 2,25. Majalah Air Technology
bahkan juga menyebut SU-35 mampu mengangkut sejumlah misil
udara-ke-udara, udara-ke-permukaan dan misi anti kapal. Pesawat juga
dapat dipersenjatai dengan beragam bom terarah, sedangkan sensornya
mampu mendeteksi serta melacak hingga 30 target udara dengan radar cross section (RCS) dalam radius 400 kilometer menggunakan moda lacak-dan-pindai.
Walaupun tak memiliki kemampuan siluman, Sukhoi SU-35 tetap bisa
"menghilang" dan tak terlihat di radar musuh pada beberapa kondisi
tertentu.
Keunggulan Sukhoi SU-35 juga diakui oleh pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie. Dihubungi VIVA.co.id melalui pesan pendek pada Rabu malam, 23 September 2015, SU-35 telah mengambil alih peran secara umum ke-5 jet tempur AS.
"Irbis radar-control yang terpasang pada SU-35 mampu mendeteksi 30
target dalam jarak 400 kilometer. Sementara, radar yang terpasang pada
F-22 hanya mampu melihat jet tempur lawan sejauh 240 kilometer saja,"
papar Connie.
Pesawat jet tempur Rusia itu juga diakui unggul dalam hal jelajah
dan sistem pertahanan. Dengan teknologi Irbis E-, ujar Connie, Sukhoi
SU-35 bisa menangkis serangan jamming yang dilancarkan musuh. Connie
beranggapan TNI AU sengaja memilih Sukhoi SU-35 tidak hanya
mempertimbangkan pengalaman pernah diembargo AS, tetapi juga adanya
keseimbangan kekuatan yang menjadi faktor penentu.
Ketika ditanya ideal jumlah pesawat yang dibutuhkan TNI AU untuk
menjaga kedaulatan udara, Connie mengatakan hal tersebut bisa dihitung
dengan cara yuridiksi nasional berbanding kecepatan pesawat.
"Hal lain yang ikut berpengaruh adalah ancaman yang ada, sehingga
bisa mempengaruhi besaran skuadron di tiap pangkalan udara," kata wanita
yang meraih gelar doktor politik dari UI itu.
Irit Bicara
Ketika dikonfirmasi mengenai rencana pembelian jet tempur Sukhoi
SU-35, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Y. Galuzin, yang
ditemui pada Rabu siang kemarin terlihat irit bicara. Sama seperti
rencana pembelian yang dilakukan tahun 2013 lalu, Galuzin mengaku tidak
diberikan kewenangan oleh Moskow untuk berbicara mengenai hal tersebut.
"Saya tidak bisa mengomentari hal tersebut lebih jauh, karena tidak
berwenang memberikan pernyataan apa pun mengenai isu itu," kata
Galuzin.
Namun, dia mengaku puas dengan rencana Indonesia yang tetap akan merealisasikan pembelian Sukhoi SU-35.
"Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, kami siap untuk melakukan transfer of technology (TOT) terhadap Indonesia," ujar diplomat yang pernah bertugas di Jepang.
Galuzin baru bersedia berkomentar lebih banyak jika upacara serah terima pesawat telah dilakukan.
Sementara, Duta Besar RI untuk Rusia, Djauhari Oratmangun, yang dihubungi melalui telepon oleh VIVA.co.id
pada Rabu malam menyebut belum ada pertemuan antara Rusia dengan
Indonesia usai Menhan Ryamizard memutuskan untuk tetap membeli Sukhoi
SU-35.
"Kan masih proses di dalam negeri. Belum ada kesepakatan mengenai
pembelian. Soal lama atau tidak keputusan pembelian, maka hal tersebut
tergantung dari negosiasi di pihak yang membutuhkan dan pemasok," ujar
Djauhari.
Lagipula, kata Djauhari, industri pesawat terbang untuk pesawat
tempur merupakan industri strategis, sehingga membutuhkan penangan yang
berbeda. Proses realisasi pembelian Sukhoi SU-35 pun, Djauhari
menambahkan, masih cukup jauh.