Netanyahu akan bersaing dalam pemilu Selasa (9/4) besok.
CB,
YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji,
dirinya akan mencaplok permukiman Israel di Tepi Barat jika menang dalam
pemilihan umum (pemilu) yang akan dilangsungkan pada 9 April 2019.
Keputusan tersebut langsung membuat para pemimpin Palestina beraksi
dengan keras.
Kepala negosiator Palestina dan
pembantu dekat Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Saeb Erekat mengatakan,
Israel tidak akan berhenti melanggar hukum internasional selama
mendapatkan dukungan terutama dari Amerika Serikat (AS).
"Israel akan terus melanggar hukum internasional selama
masyarakat internasional terus memberikan penghargaan kepada Israel,
terutama dengan dukungan Administrasi Trump dan dukungan pelanggaran
Israel terhadap hal nasional dan hak asasi manusia rakyat Palestina,"
ujar Erekat.
Pejabat Hamas, Sami Abu Zuhri mendesak
Otoritas Palestina menghentikan kerja sama keamanannya dengan Israel di
Tepi Barat yang diduduki. Dia menegaskan, Israel tidak akan pernah
mencaplok wilayah permukiman Tepi Barat.
"Mimpi Netanyahu
untuk mencaplok Tepi Barat tidak akan pernah tercapai, dan kami tidak
akan membiarkan itu terjadi. Sudah waktunya untuk menghentikan
koordinasi keamanan dengan pendudukan, dan bersatu dalam menghadapi
tantangan," kata Abu Zuhri.
Permukiman
merupakan salah satu masalah paling panas dalam upaya untuk memulai
kembali perundingan damai Israel-Palestina. Setelah puluhan tahun
membangun permukiman, lebih dari 400 ribu warga Israel kini tinggal di
Tepi Barat. Sementara, menurut Biro Statistik Palestina, terdapat 2,9
juta warga Palestina yang juga tinggal di Tepi Barat.
Sementara
itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Koordinasi Urusan
Kemanusian menyebut sekitar 212 ribu permukiman Israel tinggal di
Yerusalem Timur. Palestina dan banyak negara menyatakan, konvensi Jenewa
melarang permukiman dibangun di atas tanah yang direbut dalam perang.
Namun Israel membantah hal tersebut, mereka menyebut pembangunan
permukiman untuk kebutuhan keamanan, historis, dan politis.
Pernyataan
Netanyahu tersebut menyangkut dengan serangkaian pengumuman dan
perubahan kebijakan oleh Presiden AS Donald Trump yang dianggap
menguntungkan Israel. Pada Maret lalu, Trump memutuskan untuk mengakui
kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan. Dataran Golan merupakan
wilayah yang direbut Israel dari Suriah pada Perang 1967. Aneksasi Golan
juga dilakukan Israel pada 1981, tetapi hal itu tidak akui secara
internasional. Suriah meminta Israel mengembalikan wilayahnya.
Kemudian
pada Desember 2017, AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan
memindahkan kedutaan besarnya di kota tersebut. Kedua keputusan ini
sangat menguntungkan Israel, dan membuat geram para pemimpin serta
rakyat Palestina. Melalui langkah AS yang mengakui Yerusalem dan Dataran
Tinggi Golan, maka Israel akan merasa semakin berani untuk mengadvokasi
perluasan wilayah kedaulatan.
Departemen Luar Negeri AS
enggan berkomentar terhadap pernyataan Netanyahu tersebut. Upaya
Netanyahu ini disebut untuk menarik suara sayap kanan. Apalagi, selama
masa kampanye pemilu, Netanyahu dituduh telah melakukan korupsi.
Netanyahu membantah melakukan kesalahan dalam tiga kasus dugaan suap dan
penipuan.