Sabtu, 22 Desember 2018

China Tuai Kritik Masyarakat Dunia Atas Penindasan Terhadap Etnis Uighur, Ini Reaksi JK dan MUI



tribunjabar/syarif pulloh anwari

Ribuan orang yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Muslim (GSM) untuk muslim Uighur, Xinjiang China, berunjukrasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (21/12/2018) siang. 

CB - Kabar berita tentang muslim Uighur akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat.

Muslim Uighur merupakan suatu kelompok minoritas masyarakat muslim negara China.

Pemerintah China santer diberitakan karena dihujani berbagai kritik dari masyarkat dunia atas perlakuan mereka yang dianggap menindas warga suku Uighur.

Terkait hal tersebut Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut memberikan tanggapan.

Bahkan MUI dan Menteri Agama pun juga tak tinggal diam perihal kasus tersebut.

Selain fakta diatas berikut Tribunnewsmerangkum fakta lainnya yang mengutip dari sejumlah sumber berita.

1. Muslim Uighur Dipantau Ketat

Aksi kekerasan polisi China terhadap muslim Uighur (ISTIMEWA)

Menurut Human Rights Watch, suku Uighur khususnya, dipantau secara ketat.

Mereka harus memberikan sampel biometrik dan DNA.

Selain itu dilaporkan terjadi penangkapan terhadap mereka yang memiliki kerabat di 26 negara yang dianggap 'sensitif' akibatnya hingga satu juta orang telah ditahan.

Kelompok-kelompok HAM mengatakan orang-orang di kamp-kamp itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan diarahkan untuk mengecam, bahkan meninggalkan keyakinan mereka.

2. Pemerintah China Menyangkal Hal Tersebut

Pemerintah China membantah tudingan kelompok-kelompok HAM itu.

Pada saat yang sama, ada semakin banyak bukti pengawasan opresif terhadap orang-orang yang tinggal di Xinjiang.

Selain itu mengutip dari BBC, mereka menyangkal adanya kamp penahanan khusus tersebut mereka berdalih jika orang-orang di Xinjiang itu mendapatkan 'pelatihan kejuruan'.

Seorang pejabat tinggi di Xinjiang mengatakan wilayah itu menghadapi ancaman tiga kekuatan yakni dari terorisme, ekstremisme, dan separatisme.

3. Kedubes Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Buka Suara

Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk Indonesia, memberikan penjelasan lengkap mengenai program pelatihan dan pendidikan vokasi yang dilaksanakan di Xinjiang.

Hal ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia terkait nasib muslim Uighur di Xianjang.

Juru bicara Dubes RRT, Xu Hangtian menegaskan, Tiongkok merupakan negara multisuku dan multiagama.

Hak-hak kebebasan beragama dan kepercayaan warga negara Tiongkok dijamin Undang-undang Dasar. Termasuk bagi Muslim suku Uighur di Xinjiang.

"Pemerintah Tiongkok, memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya, termasuk Muslim suku Uighur di Xinjiang untuk menjalankan kebebasan beragama dan kepercayaan," tegas Xu Hangtian dalam pernyatannya yang diterima redaksi Tribunnews Jakarta, Kamis (20/12/2018).


Hangtian, ada 10 suku di Xinjiang yang mayoritasnya menganut agama Islam, dengan jumlah penduduk sekitar 14 juta.

Selain itu ada 24,4 ribu masjid di wilayah Xinjiang, atau sekitar 70 persen dari jumlah total masjid di seluruh Tiongkok. Jumlah masjid per kapita berada di jajaran terdepan di dunia.

Begitu juga jumlah ulama ada 29 ribu orang, sekitar 51 persen dari jumlah total di seluruh negara.

Pun di Xinjiang, ada 103 ormas agama Islam, mengambil porsi 92 persen dari seluruh ormas agama di Xinjiang.

"Didirikan pula beberapa pesantren dan madrasah," jelas Xu Hangtian.

4. Tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Dari kiri-ke kanan Wasekjen MUI DR Amirsyah Tambunan, KEtua Umum MUI DR (HC) KH. Ma'ruf Amin dan Kepala BNPT Komjen Pol Drs. suhardi Alius, MH
Dari kiri-ke kanan Wasekjen MUI DR Amirsyah Tambunan, KEtua Umum MUI DR (HC) KH. Ma'ruf Amin dan Kepala BNPT Komjen Pol Drs. suhardi Alius, MH (ist)

Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Amirsyah Tambunan mengatakan MUI baru akan mengambil sikap secara resmi terkait etnis Uighur di Tiongkok pada, Jumat (21/12/2018) hari ini.

Namun secara pribadi, ia mengatakan penindasan yang terjadi pada masyarakat etnis Uighur di Tiongkok melukai perasaannya sebagai anak bangsa.

Hal itu diungkapkan Amirsyah pada diskusi di Gondangdia Menteng Jakarta Pusat pada Kamis (20/12/2018) saat mengutip dari Tribun Jakarta.

"Ini melukai perasaan kita sebagai bagian anak bangsa. Luka perasaan ini tidak mudah diobati. Karena hubungan bilateral kedua negara bisa bermasalah, baik menyangkut masalah politik, ekonomi, sosial, tatkala Pemerintah Tiongkok diam tanpa melakukan upaya konkret terhadap tindakan diskriminatif dan kesewenang-wenangan," kata Amirsyah.

Ia pun menilai, PBB harus mengambil sikap tegas terkait hal tersebut.


5. Tanggapan  Wakil Presiden Jusuf Kalla

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditemui di Kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018).
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditemui di Kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018). (Rina Ayu)

Wakil Presiden Jusuf Kallamenyatakan Indonesia masih menunggu informasi terkait kondisi aktual warga Uighur Xinjiang.

Ia mengatakan, pada 17 Desember lalu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi telah memanggil Dubes China di Indonesia untuk menyampaikan keprihatinan.

Selain itu, juga telah memerintahkan Duta Besar RI di Beijing untuk melihat keadaan sebenarnya di Xinjiang, RRC.

"Semuanya menunggu laporan dari Kedubes kita dan juga follow up dari pertemuan, pemanggilan Dubes Chinake Menlu pada tanggal 17 lalu," ujar JK, di Kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018) kemarin.

JK menerangkan, hal itu dilakukan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada warga Uighur, Xinjiang.

"Perlu pemerintah, kami sampaikan bahwa pemerintah sangat prihatin dengan apabila ada pelanggaran HAM, kalau itu terjadi ya. Walaupun pihak China selalu membantah tidak demikian, tapi kita prihatin," ujar JK.

"Kalau terjadi diskriminatif dalam agama itu melanggar ketentuan atau ketetapan terhadap HAM internasional yang harus juga ditaati oleh pihak China," sambung dia.

6. Tanggapan Menteri Agama

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/2/2017).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/2/2017). (Tribunnews.com/ Imanuel Nicolas Manafe)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengatakan, harusnya Pemerintah Republik Rakyat China(RRC) memberikan penjelasan terbuka terkait kondisi aktual warga Uighur Xinjiang.

Menurutnya, sejumlah informasi beredar tentang kondisi warga Uighur, dimana salah satunya disebutkan telah terjadi separatisme di sana, sehingga menggerakan simpatik masyarakat dunia.

"Dalam dunia global dengan kecepatan arus informasi seperti saat ini, kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui masyarakat dunia. Maka, akan jauh lebih baik bila pihak otoritas Pemerintah RRC langsung yang menjelaskan ke masyarakat dunia, agar tak menimbulkan dugaan-dugaan yang tak berdasar," ujar Menag di Jakarta, Rabu (19/12/2018).

Meski pemerintah RI telah memanggil Dubes RRC di Jakarta guna menyampaikan perhatian dan kepedulian Indonesia mengenai kondisi masyarakat Uighur RRC.

Namun ujar Menag Lukman, penjelasan terbuka dari RRC tentu dibutuhkan masyarakat, apalagi jika bersinggungan dengan persoalan agama.

7. Tanggapan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon (Chaerul Umam)

Dugaan pelanggaran HAM yang dialami lebih dari satu juta masyarakat muslim etnis Uighur di China, turut menjadi sorotan serius Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.

Fadli yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, mengecam dan mendesak pemerintah Indonesia untuk bersuara membela muslim Uighur di Xinjiang yang sedang mengalami pelanggaran HAM.

Dari pemberitaan media internasional, perlakuan diskrimiantif dan tindakan represif pemerintah China terhadap muslim Uighur, ungkap Fadli sebenarnya sudah berlangsung cukup lama.

Akan tetapi, sayangnya belum ada negara-negara muslim, termasuk Indonesia, yang berani mengecam tindakan pemerintah China.”

“Meski diberikan status otonomi, penduduk muslim di Xinjiang faktanya justru mengalami perlakuan represif. Lebih dari 10 juta muslim di Xinjiang mengalami perlakukan diskriminatif, baik diskriminasi agama, sosial, maupun ekonomi," kata Fadli Sabtu (15/12/2018).






Credit TRIBUNNEWS.COM


http://bangka.tribunnews.com/2018/12/21/china-tuai-kritik-masyarakat-dunia-atas-penindasan-terhadap-etnis-uighur-ini-reaksi-jk-dan-mui


Jumat, 21 Desember 2018

Penampakan Pangkalan Militer di Natuna, Siap Jaga Wilayah NKRI dari Caplokan Negara Asing



Penampakan Pangkalan Militer di Natuna, Siap Jaga Wilayah NKRI dari Caplokan Negara Asing
Apel pasukan gabungan TNI saat peresmian Pangkalan TNI Terpadu Natuna, Selasa (18/12/2018)

CB - Pemerintah Indonesia tak ingin Natuna dicaplok negara lain, setelah melakukan latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dan mengubah nama Laut China Selatan jadi Laut Natuna Utara, kali ini pemerintah meresmikan pangkalan militer di Natuna, Selasa (18/12/2018).
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto didampingi KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, KSAL Laksamana TNI Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal TNI Yuyu Sutisna, meresmikan Satuan TNI Terintegrasi Natuna di Pelabuhan Faslabuh TNI AL, Selat Lampa, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Peresmian Satuan TNI Terintegrasi Natuna  yang juga Pangkalan Militer Terpadu Natuna ini dipublikasikan media terbesar Hong Kong South China Morning Posrt (SCMP) berjudul: Indonesia opens military base on edge of South China Sea to ‘deter security threats’

Melansir situs resmi TNI, tni.mil.id, dalam sambutannya, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menyampaikan bahwa peresmian Satuan TNI Terintegrasi Natuna ini merupakan langkah finalisasi, salah satu program perencanaan strategis jangka menengah, untuk membangun kekuatan TNI yang diharapkan mampu memberikan daya tangkal (detterence effect) terhadap ancaman khususnya di perbatasan.
“Peresmian Satuan TNI Terintegrasi Natuna ini, juga merupakan perwujudan kontinuitas gagasan, dimana perencanaannya melibatkan para Perwira-Perwira TNI lintas generasi, dari Mabes TNI maupun Mabes Angkatan. Pembangunan Satuan TNI Terintegrasi akan terus dilanjutkan di pulau-pulau strategis lainnya sesuai tahapan pembangunan di Renstra berikutnya,” tuturnya.


Panglima TNI menjelaskan bahwa kedepan Satuan TNI Terintegrasi direncanakan akan menjadi bagian dari Komando Gabungan Wilayah Pertahanan yang akan segera dibentuk.

Satuan TNI Terintegrasi saat ini masih berupa Embrio yang terdiri dari satuan-satuan TNI AD yaitu Batalyon Komposit yang diperkuat oleh Kompi Zeni Tempur, Baterai Rudal Artileri Pertahan Udara dan Baterai Artileri Medan.
Sementara itu, dari Satuan TNI AL selain Pangkalan TNI AL juga terdapat Kompi Komposit Marinir dan fasilitas pelabuhan untuk mendukung operasional Kapal Perang TNI AL, yang beroperasi disekitar perairan Natuna.

Sedangkan Pangkalan Udara TNI AU dilengkapi berbagai fasilitas, seperti Hanggar Integratif dan Hanggar Skuadron Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk mendukung operasional Pesawat Udara TNI.
“Selain itu juga dilengkapi dengan Mess dan Rumah Sakit Integratif, untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh prajurit TNI di Natuna,” kata Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Presiden Joko Widodo meninjau kawasan perairan Natuna dari atas KRI Imam Bonjol, Kamis (23/6/2016).
Presiden Joko Widodo meninjau kawasan perairan Natuna dari atas KRI Imam Bonjol, Kamis (23/6/2016). (PRESIDENTIAL PALACE/Agus Suparto)
Lebih lanjut Panglima TNI mengatakan bahwa Satuan TNI Terintegrasi Natuna masih akan terus berkembang, sesuai peningkatan eskalasi ancaman.

Menurutnya, perencanaan ke depan dimungkinkan untuk menyempurnakan Satuan TNI Terintegrasi menjadi organisasi permanen dan terintegrasi dalam satu komando dan dilengkapi dengan sistem kendali operasi berbasis kemampuan network centric warfare.
Sehari setelah peresmian Pangkalan TNI Terpadu Natuna, Calon presiden petahana Joko Widodo bercerita pengalamannya sebagai Presiden RI beberapa tahun lalu saat harus naik kapal perang ketika ada klaim terkait Pulau Natuna.
"Waktu ada klaim Pulau Natuna itu masuk Laut China Selatan, saya panas, saya bawa kapal perang ke Natuna," kata Jokowi saat berpidato dalam acara Deklarasi Akbar Ulama Madura Bangkalan, Rabu (19/12/2018), di Gedung Serba Guna Rato Ebuh, Bangkalan, Jatim.
Melansir kompas.com, Jokowi mengatakan, saat itu ia ingin menunjukkan Natuna merupakan wilayah teritorial Indonesia.
Terlebih bahwa sekitar 169.000 penduduk yang seluruhnya WNI menempati wilayah tersebut.

"Saya sampaikan Natuna itu di daerah teritorial Indonesia. Karena, penduduk Natuna itu 169.000 penduduk Indonesia," ungkapnya.
Ia menekankan, siapa pun yang menentang hal itu, Pemerintah RI siap menghadapinya.


"Kalau mau ajak berantem, ya kita ramai-ramai, kalau ada yang macam-macam," ucapnya.
Sebelumnya pada acara yang sama, Yenny Wahid menilai, Jokowi sebagai sosok yang meskipun kurus, memiliki mental yang sangat kuat.
"Ada seorang laki-laki kurus menaiki kapal perang, kapal itu mengarungi Natuna. Apa yang dilakukan laki-laki itu? Dia mengambil air wudhu di Samudera yang luas. Maknanya apa? Tekad dari pemimpin Indonesia untuk menegakkan teritorial bangsa kita," paparnya.

Bahkan ketika terjadi persengketaan dengan Tiongkok terkait klaim perairan Natuna, ketika negara lain hanya mengirimkan "lawyer" ke pengadilan internasional, kata Yenny, justru berbeda dengan yang dilakukan Jokowi.
"Tapi tidak, laki-laki kurus ini. Dia bermaklumat bahwa Indonesia itu negara berdaulat," kata Yenny.
Melansir SCMP, pangkalan militer ini diperkuat lebih dari 1.000 personel berada di ujung selatan Laut China Selatan yang disengketakan, di mana klaim teritorial China dan beberapa negara lain saling tumpang tindih.
Di militer Indonesia, satu batalion terdiri dari antara 825 hingga 1.000 personel, sementara satu korps terdiri dari sekitar 100 personel.
Foto-foto di Twitter resmi Pusat Informasi TNI, juga menunjukkan upacara peresmian rumah sakit untuk melayani personel militer di pangkalan tersebut.
Pangkalan tersebut  terletak di Selat Lampa di Pulau Natuna Besar—bagian dari Kepulauan Natuna—salah satu daerah terluar Indonesia dan lebih dari 200 kilometer dari pulau Kalimantan.

Indonesia bukan negara penggugat di Laut China Selatan, tetapi Jakarta dan Beijing telah mengalami beberapa pertikaian maritim di daerah yang kaya sumber daya tersebut, termasuk sengketa pada tahun 2016 ketika sebuah kapal patroli Indonesia menangkap kapal ikan China seberat 300 ton.


Beberapa jam kemudian, sebuah kapal Penjaga Pantai China menabrak kapal nelayan tersebut, sehingga pihak berwenang Indonesia melepaskannya.
Pada upacara peresmian pangkalan tersebut, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa pos terdepan itu dirancang untuk berfungsi sebagai alat pencegah potensi ancaman keamanan, khususnya di daerah perbatasan, menurut juru bicara militer Kolonel Sus Taibur Rahman.
Collin Koh Swee Lean—seorang analis di Sekolah Studi Internasional S Rajaratnam di Singapura—mengatakan bahwa rencana untuk sebuah pusat militer di Kepulauan Natuna telah dibuat selama bertahun-tahun.
“Peristiwa pada bulan Maret 2016 dengan China memberi lebih banyak dorongan untuk rencana tersebut,” kata Koh.
Aaron Connelly—seorang peneliti di International Institute for Strategic Studies-menggambarkan komentar Jokowi “jelas-jelas adalah retorika kampanye”.
Laut China Selatan adalah lokasi bagi beberapa jalur laut tersibuk di dunia, dan China memiliki klaim wilayah yang tumpang tindih dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, serta Taiwan.
Meskipun China mengakui kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna, tapi China menegaskan bahwa kedua negara memiliki klaim yang tumpang tindih terhadap hak-hak maritim dan kepentingan di wilayah tersebut yang perlu diselesaikan—klaim yang ditolak oleh Indonesia.
Tahun lalu, pemerintah Indonesia mempresentasikan peta nasional yang diperbarui, di mana zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di utara Kepulauan Natuna berganti nama menjadi Laut Natuna Utara. Itu sebelumnya digambarkan sebagai bagian dari Laut China Selatan.
Pada tahun 2002, Indonesia mengganti nama bagian dari Laut China Selatan yang berada dalam ZEE Indonesia sebagai Laut Natuna, kecuali perairan di utara Kepulauan Natuna. Dengan perubahan nama terbaru itu, Laut China Selatan tidak lagi digunakan untuk wilayah perairan Indonesia.
Sesaat setelah perubahan nama tersebut, China menyatakan menentang langkah itu, dengan mengatakan bahwa itu akan menghasilkan komplikasi dan perluasan perselisihan.
Mengubah nama yang diakui secara internasional juga akan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas, dan tidak kondusif bagi hubungan damai antara Jakarta dan Beijing, katanya.
Namun, Indonesia membalas, bahwa Indonesia memiliki hak untuk memberi nama perairan teritorialnya sendiri, dan bahwa Laut Natuna Utara jatuh ke dalam wilayahnya.
Tetapi walau Indonesia fokus untuk melindungi kepentingannya sendiri di sekitar Kepulauan Natuna, bukan berarti Indonesia ingin menentang China, mengingat minat Jokowi dalam menarik investasi China untuk proyek infrastruktur, menurut laporan oleh lembaga pemikir Australia, The Lowy Institute.
“Terlepas dari retorika Jokowi yang tegas tentang hak-hak maritim, Indonesia telah berusaha memastikan bahwa kampanye melawan penangkapan ikan ilegal tidak menargetkan kapal-kapal China; dan dalam diplomasi regional, pemerintahan Jokowi ingin memastikan untuk tidak menyinggung Beijing,” kata Connelly.


Ini foto foto dan video peresmian Pangkalan TNI Terpadu Natuna:
1bb
Peresmian Pangkalan TNI Terpadu Natuna, Selasa (18/12/2018)
1aa
Peresmian Pangkalan TNI Terpadu Natuna, Selasa (18/12/2018)
4b
Peresmian Rumah Sakit Integratif Rumah Sakit Dr Yuniarti Wisma Karyani, pendukung Pangkalan TNI Terpadu Natuna.



Credit  medan.tribunnews.com






Trump Tarik Pasukan di Suriah buat Inggris dan Prancis Pusing


Trump Tarik Pasukan di Suriah buat Inggris dan Prancis Pusing
Inggris dan Prancis mengaku terkejut dan tidak sepakat dengan keputusan Presiden AS Donald Trump, yang menarik seluruh pasukannya di Suriah. (Delil SOULEIMAN / AFP)



Jakarta, CB -- Inggris dan Prancis yang turut mengirim pasukan khusus mereka ke Suriah terkejut dengan keputusan mendadak Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menarik seluruh prajuritnya di negara itu. Kedua negara itu mengaku Trump tidak pernah meminta pendapat dan tidak sepakat dengan langkah itu.

Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly mengaku masih belum paham bagaimana keputusan Trump akan diterapkan di lapangan. Sebab, pasukan khusus Prancis dan Inggris yang beroperasi bersama-sama di Suriah sangat bergantung kepada pasokan logistik AS.

Di sisi lain, Parly meragukan klaim Trump soal kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang sudah ditaklukkan. Sebab mereka merasa justru yang terjadi sebaliknya.

"ISIS memang kehilangan lebih dari 90 persen wilayahnya. Namun, ISIS belum ditaklukkan hingga akarnya. Basis pertahanan terakhir mereka harus dihancurkan melalui operasi militer," kata Parly melalui Twitter, seperti dilansir The Guardian, Jumat (21/12).

Duta Besar Inggris untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Karen Pierce juga menyampaikan tidak sepakat dengan keputusan Trump.

"Masih banyak yang harus dilakukan. Kita tidak boleh lengah mengawasi ISIS, bahkan ketika mereka sudah tidak mempunyai wilayah lagi," kata Pierce di hadapan Dewan Keamanan PBB.

Menurut data Kementerian Pertahanan AS, hingga saat ini tercatat masih ada 14,500 militan ISIS di Suriah. Keputusan Trump menarik pasukan disebut sengaja tidak diberitahukan atau dibicarakan sebelumnya kepada sejumlah pejabat di bidang pertahanan. Namun, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo pasang badan.

"Keputusan ini dibuat presiden (Trump) berdasarkan konsultasi dengan seluruh pejabat senior, termasuk saya," kata Pompeo.

Sejumlah kalangan di Amerika Serikat mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Donald Trump yang bakal menarik 2000 pasukan di Suriah. Pasukan AS selama ini disebut hanya ditugaskan memerangi ISIS dan melatih pasukan pemberontak Suriah, SDF.

Mayoritas pasukan AS itu ditempatkan di Suriah bagian utara. Ada juga sebagian kecil yang diplot di garnisun yang berada di Al-Tanaf, dekat perbatasan Yordania dan Irak.



Credit  cnnindonesia.com




AS Diperkirakan Akhiri Operasi Serangan Udara Lawan ISIS


Anggota ISIS ketika melakukan parade di Raqqa, Suriah.
Anggota ISIS ketika melakukan parade di Raqqa, Suriah.
Foto: AP Photo
Keputusan AS mengakhiri operasi serangan terhadap ISIS memunculkan kekhawatiran.




CB, WASHINGTON -- Pejabat Amerika Serikat (AS) kepada Reuters mengatakan, perintah Presiden AS Donald Trump untuk menarik pasukan dari Suriah diperkirakan menandakan berakhirnya operasi serangan udara AS melawan ISIS. Namun, keputusan akhir belum dibuat dan tidak mengabaikan dukungan untuk sekutu di Suriah. Prancis misalnya, mereka akan terus berjuang di Suriah melawan ISIS.

Keputusan Presiden Trump pada Rabu lalu untuk menarik pasukan AS dari Suriah mengejutkan banyak pihak. Keputusan tersebut memicu kritik dari orang-orang Partai Republik dan membuat khawatir sekutu AS.

Keputusan mengakhiri operasi serangan udara AS membuat khawatir, sebab ISIS bisa mendapatkan ruang untuk berkumpul kembali. Padahal, ISIS telah kehilangan hampir seluruh wilayah yang pernah dikuasainya.

Pengumuman penarikan pasukan darat belum tentu mengakhiri serangan udara AS. Sebab aset utama pasukan udara AS tidak berbasis di Suriah. Pasukan udara AS terbang ke Suriah dari negara-negara terdekat. Pusat operasi udara AS untuk perang udara terletak di Qatar.

Menurut data angkatan udara, serangan udara yang pimpinan AS sangat penting untuk memukul mundur ISIS dan menekan ISIS di Irak dan Suriah. Lebih dari 100 ribu bom dan rudal menembaki sasaran di Irak dan Suriah sejak 2015.

Para pejabat AS mengatakan kepada Reuters bahwa waktu berakhirnya operasi perang udara akan berkaitan dengan penarikan pasukan AS. Tetapi, pejabat AS menolak untuk menyampaikan waktu penarikan pasukan.

Tidak jelas apakah ada kemungkinan untuk mengubah keputusan Trump menarik pasukan karena Trump tidak berbicara di depan umum secara langsung. Tapi, militer AS cenderung bila memungkinkan, mendukung sekutu yang sedang memerangi musuh bersama.

Namun, Pentagon menolak berspekulasi tentang hal tersebut. "Selama ada pasukan AS di lapangan kami akan melakukan serangan udara dan artileri untuk mendukung pasukan kami, kami tidak akan berspekulasi tentang operasi masa depan," kata Pusat Komando AS.

Aset pasukan udara AS sangat penting, tidak hanya untuk serangan ofensif terhadap ISIS tetapi juga untuk membantu pasukan AS di lapangan. Peran pasukan udara AS itu dikenal sebagai kekuatan pelindung. Pasukan udara AS sangat penting untuk memastikan keluarnya pasukan AS secara teratur dan aman dari Suriah



Credit  republika.co.id



Setelah Suriah, Trump Pertimbangkan Tarik Pasukan dari Afghanistan


Setelah Suriah, Trump Pertimbangkan Tarik Pasukan dari Afghanistan
Presiden Donald Trump dilaporkan tengah mempertimbangkan untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan. Foto/Ilustrasi/SINDONews/Ian

WASHINGTON - Gedung Putih telah memerintahkan Pentagon untuk menyusun rencana penarikan pasukan dari Afghanistan. Laporan itu diungkapkan oleh dua pejabat pertahanan dan seorang sumber yang diberitahu mengenai masalah tersebut.

Menurut para pejabat rencana itu dilakukan tidak lama setelah tahun baru. Mereka lantas memperingatkan bahwa belum ada keputusan yang telah dibuat, tetapi Presiden Trump ingin melihat opsi terlebih dahulu.

"Gedung Putih telah meminta Pentagon untuk membuat beberapa pilihan, termasuk penarikan lengkap," kata para pejabat seperti dikutip dari NBC News, Jumat (21/12/2018).

Seorang pejabat Afghanistan mengatakan kepada NBC News bahwa Trump sedang mempertimbangkan penarikan besar-besaran pasukan AS di negara itu.

Para pejabat menggambarkan pernyataan Afghanistan sehari setelah pemerintahan Trump mengatakan pihaknya akan menarik semua pasukan AS keluar dari Suriah.

AS memiliki sekitar 14.000 pasukan di Afghanistan. Trump telah berulang kali menyatakan ketidaksabarannya dengan perang 17 tahun itu menjadikan perang terpanjang bagi Paman Sam.


NBC News melaporkan pada bulan Juli bahwa sikap Trump mendorong para diplomat dan komandan AS untuk berjudi pada upaya memulai negosiasi perdamaian, termasuk mengadakan pembicaraan langsung dengan Taliban. 




Credit  sindonews.com




Negara bagian Sudan umumkan keadaan darurat akibat protes



Negara bagian Sudan umumkan keadaan darurat akibat protes
Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir melambai kepada pendukungnya dalam reli kampanye damai di Zalingei di Darfur, Minggu (3/4/2016). (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdal)



Khartoum (CB) - Negara Bagian Nile River di bagian timur-laut Sudan, pada Rabu (19/12) mengumumkan keadaan darurat di Kota Atbara setelah protes mengenai kenaikan harga.

"Komite keamanan di negara bagian tersebut menyelenggarakan pertemuan mengenai peristiwa itu dan mengumumkan keadaan darurat serta memberlakukan larangan orang keluar rumah di Kota Atbara sampai pemberitahuan lebih lanjut," kata Juru Bicara Pemerintah Negara Bagian Ibrahim Mukhtar, kepada stasiun televisi Ashorooq.

Ia menambahkan bahwa kegiatan belajar-mengajar di semua sekolah dasar dan sekolah menengah di kota tersebut akan ditiadakan, demikian laporan Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.

Keputusan itu diambil setelah demonstrasi digelar sehubungan dengan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di Sudan, termasuk harga roti dan bahan bakar.

Media lokal memberitakan ratusan mahasiswa universitas dan pelajar sekolah menengah mendukung protes tersebut untuk menentang kebijakan pemerintah.



Markas lokal Partai Kongres Nasional (NCP), yang memerintah, juga dilaporkan telah dibakar, meskipun sejauh ini tak ada pernyataan resmi mengenai peristiwa itu.

Demonstrasi dilaporkan telah digelar di Kota Port Sudan di bagian timur negeri tersebut, tempat polisi menggunakan gas air mata terhadap pemrotes.

Kota Omdurman dan North Kordofan juga menyaksikan demonstrasi sehubungan dengan situasi ekonomi di negeri itu.

"Setiap warga memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya secara damai, tapi apa yang terjadi di Atbara tidak sejalan dengan konsep kedamaian," kata Ibrahim As-Siddiq, Juru Bicara NCP.

As-Siddiq mengatakan protes di Atbara adalah "upaya untuk mengganggu keamanan dan kestabilan". Ditambahkannya, "Hak menyampaikan sikap dan pendapat dijamin oleh undang-undang, tapi sabotase tak bisa diterima baik."



Credit  antaranews.com



Nasionalis Eropa Ingin Boikot Toblerone soal Sertifikat Halal


Nasionalis Eropa Ingin Boikot Toblerone soal Sertifikat Halal
Ilustrasi. (Reuters/Darren Staples)


Jakarta, CB -- Kubu sayap kanan di Eropa menyerukan boikot massal produk Toblerone, setelah mengetahui cokelat populer tersebut bersertifikat halal.

Dilansir CNN, halal merupakan kata dalam bahasa Arab yang menunjukkan bahwa makanan atau layanan tertentu diperbolehkan menurut hukum Islam, termasuk tak mengandung babi atau alkohol.

Pabrik Toblerone di Bern, Swiss, mendapat sertifikasi halal sejak April tahun ini.



Juru bicara federal dari partai nasional Jerman, AfD, mengklaim hal tersebut sebagai langkah Islamisasi di Eropa.

"Islamisasi tidak seharusnya dilakukan, termasuk di Jerman dan Eropa," katanya melalui akun Twitter pribadinya, Kamis (20/12).

Kicauan tersebut memicu kemarahan serupa dari warga Eropa. Jejaring sosial Twitter dibanjiri serentetan pernyataan bahwa mereka tak akan mengonsumsi produk Toblerone, dengan tagar #boycotttoblerone.


Hal serupa juga ditemukan di jejaring sosial Facebook.

"Sayang sekali, padahal saya suka makan. Namun, saya tidak suka makanan Muslim," tulis salah satu pengguna Facebook.

Namun, perwakilan dari Departemen Sertifikasi Halal, Umar al-Qadri, mengatakan bahwa sebagian besar makanan yang diproduksi secara massal mencapai kriteria sertifikasi halal, termasuk Toblerone.

"Sebagian besar perusahaan multinasional memiliki produk yang bersertifikat halal. Perusahaan ingin menghasilkan lebih banyak pendapatan, dan ada dua miliar Muslim di dunia yang hanya mengonsumsi produk halal," tuturnya.


Mondelez, yang memproduksi Toblerone, mengonfirmasi bahwa pabriknya di Bern telah menerima sertifikasi halal delapan bulan lalu. Namun, ia menegaskan bahwa proses produksi tidak diubah untuk mendapatkan sertifikasi itu.

"Sertifikasi ini tidak membuat perubahan pada resep asli Toblerone tradisional kami. Memang resep kami memenuhi kriteria halal secara alami," katanya dalam sebuah pernyataan.

Al-Qadri juga mengonfirmasi bahwa pemberian sertifikat halal kepada Toblerone tidak mengubah resep mereka.

"Mereka menganggap halal itu negatif, padahal sebenarnya itu adalah sesuatu yang positif. Mereka bisa melakukan penelitian sendiri dan mencari tahu apa itu halal. Kemarahan ini hanya hasil Islamofobia atau ketakutan terhadap Islam," katanya.




Credit  cnnindonesia.com




AS Tuding China Dalang Serangan Siber di 12 Negara


AS Tuding China Dalang Serangan Siber di 12 Negara
AS tuding China dalang serangan siber di 12 negara. Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

WASHINGTON - Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mengumumkan dakwaan terhadap dua peretas asal China yang diduga menargetkan 45 perusahaan dan badan di sejumlah negara. Menurut AS, ini menunjukkan Beijing belum memenuhi janjinya untuk menghentikan aksi di dunia maya.

Dalam operasi yang dikoordinasikan dengan sekutu AS di Eropa dan Asia, Wakil Jaksa Agung Rod Rosenstein mengatakan langkah itu dilakukan untuk menolak agresi ekonomi China.

Departemen Kehakiman mengatakan para peretas telah menargetkan banyak penyedia layanan terkelola (MSP), perusahaan spesialis yang membantu perusahaan lain mengelola sistem teknologi informasi mereka - berpotensi memberi hacker masuk ke jaringan komputer dari puluhan perusahaan.

Rosenstein mengecam Beijing karena berulang kali melanggar janji yang dibuat oleh Presiden China Xi Jinping kepada Presiden Barack Obama pada 2015 untuk menghentikan serangan dunia maya terhadap perusahaan-perusahaan AS dan infrastruktur komersial.

"Para terdakwa ini diduga mengkompromikan klien MSP di setidaknya selusin negara," kata Rosenstein.

"Tidak dapat diterima bahwa kami terus mengungkap cybercrime yang dilakukan oleh China terhadap negara lain," imbuhnya.

"Kami ingin China menghentikan kegiatan siber ilegal dan menghormati komitmennya terhadap komunitas internasional," tegasnya.

"Tetapi bukti menunjukkan bahwa China mungkin tidak berniat untuk memenuhi janjinya," sambungnya seperti dikutip dari AFP, Jumat (21/12/2018).

Departemen Kehakiman AS mengatakan kedua peretas itu, Zhu Hua dan Zhang Shilong, bekerja untuk apa yang disebut kelompok hacker APT10 yang diduga didukung oleh Kementerian Keamanan Negara China.

Dikatakan Rosenstein keduanya bekerja dengan Biro Keamanan Negara kementerian Tianjin.

"Dari setidaknya pada atau sekitar tahun 2006 hingga dan termasuk dalam atau sekitar 2018, anggota Kelompok APT10, termasuk Zhu dan Zhang, melakukan kampanye ekstensif gangguan ke dalam sistem komputer di seluruh dunia," ungkapnya.

Departemen Kehakiman AS mengatakan bahwa salah satu penyedia pengelola layanan yang diretas adalah perusahaan New York yang memberi warga negara China akses ke data dari klien perusahaan yang terlibat dalam perbankan, telekomunikasi, peralatan medis, manufaktur, perawatan kesehatan, bioteknologi, eksplorasi minyak dan gas, dan lain-lain.

Dakwaan datang di tengah ketegangan yang meningkat atas perdagangan, peretasan dan masalah geopolitik antara Washington dan Beijing.

Pada tanggal 30 Oktober, AS mendakwa 10 warga negara China, termasuk dua perwira intelijen, lebih dari skema lima tahun untuk mencuri teknologi mesin dari perusahaan kedirgantaraan AS dan Prancis dengan meretas ke komputer mereka.

Awal bulan itu, Departemen Kehakiman memperoleh ekstradisi yang belum pernah terjadi sebelumnya seorang pejabat intelijen senior China dari Belgia untuk diadili di Amerika Serikat karena menjalankan dugaan upaya yang disponsori negara untuk mencuri rahasia industri penerbangan AS. 





Credit  sindonews.com





Xinjiang, Negeri Kaya Minyak yang Tertindas



Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)
Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)
Foto: AP

Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh Tembok Besar Cina.



 Oleh: Harun Husein*



Xinjiang tak kunjung tenang. Wilayah otonomi Uighur di barat laut Cina ini, selalu saja mengabarkan nestapa Muslim, yang hak asasinya diinjak-injak pemerintah Komunis Cina. Dua kali kawasan ini coba dimerdekakan, dua kali pula republik Islam berdiri di sana, namun negara baru itu selalu berhasil dibubarkan.

Jika Anda membayangkan Xinjiang sebuah kawasan kecil di tepi gurun pasir Asia Tengah, Anda keliru. Xinjiang adalah sebuah kawasan besar, luasnya setara dengan tiga pulau Sumatra, atau sama dengan Pakistan dan Afghanistan digabung jadi satu. Sejak dulu, Xinjiang merupakan wilayah penting yang diperebutkan.


Dulu, Xinjiang merupakan urat nadi perdagangan dunia, karena berada di Jalur Sutra. Kini, Xinjiang merupakan wilayah yang kaya sumberdaya alam. Ungkapan ‘di mana ada adzan di situ ada minyak’, juga terbukti di sini.



Cadangan minyak dan gas terbesar Republik Rakyat Cina (RRC) ada di sini, khususnya di Xinjiang bagian selatan (Tarim Basin), tempat Muslim Uighur sejak dulu tinggal menetap di bawah sistem pemerintahan tradisional yang disebut Khanate atau Khaganate.

Dengan luas 1,6 juta kilometer persegi, Xinjiang setara dengan 17 persen wilayah Cina, dan merupakan wilayah otonomi terbesar di Cina. Namun, hanya lima persen (80 ribu kilometer persegi) wilayahnya yang bisa ditinggali. Meski demikian, wilayah yang hanya lima persen ini setara dengan 100 kali luas daratan Jakarta.

Sebagian besar wilayah Xinjiang adalah gurun pasir, padang rumput, danau, hutan, dan perbukitan. Xinjiang berada di kaki Gunung Tianshan yang membelah Asia Tengah. Xinjiang berbatasan dengan delapan negara, yaitu Mongo lia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh Tembok Besar yang dibangun dinasti demi dinasti di Cina selama dua ribu tahun. Karena itu, orang-orang Uighur pun menjadikan fakta ini sebagai argumen bahwa tanah mereka bukanlah bagian dari Cina, apalagi mereka pun bukan orang Cina.

Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai orang Turkistan Timur. Kawasan Xinjiang, dalam sejarah diperintah berbagai kerajaan. Mulai Tocharians, Yuezhi, Kekaisaran Xiongnu, negara Xianbei, Kekaisaran Kushan, Khagan Rouran, Kekaisaran Han, Liang,
Qin, Liang Barat, Dinasti Tang, Kekaisaran Tibet, Khagan Uyghur, Khan Kara, Khitan, Kekaisaran Mongol, Dinasti Yuan, Khan Chagatai, Moghulistan, Qaradel, Yuan Selatan, Khan Yarkent, Dinasti Qing, Republik Cina, dan terakhir Republik Rakyat Cina (RRC).

Dinasti Qing masuk ke Xinjiang setelah Muslim Uighur dan khan-khan Muslim lain di Asia Tengah, meminta bantuan untuk menghadapi orang-orang Dzungar-Mongol, yang selalu mengganggu. Setelah orang-orang Mongol Budha ditumpas, Dinasti Qing mendatang kan orang-orang Han dan Hui untuk menempati kawasan utara (Dzugar Basin).

Namun, mereka tidak diperbolehkan memperdagangkan babi dan minuman keras ke kawasan selatan yang dihuni Muslim. Kawasan Tarim Basin, disebut juga sebagai Huiland, atau tanah Hui, yang terjemahan bebasnnya adalah Tanah Muslim.

Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)
Muslim Uighur
Foto:
Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh Tembok Besar Cina.


Sekadar catatan, Hui awalnya bukan nama etnik. Dulu istilah Hui disematkan
kepada penganut Islam, Kristen, bahkan Yahudi. Tapi, lama kelamaan istilah ini menyempit untuk menyebut Muslim.

Jenghis Khan, misalnya, kerap menyebut Muslim dengan istilah “Hui-hui.”
Belakangan, istilah Hui menyempit lagi, khusus untuk orang Cina Muslim berkulit kuning.


Orang Hui dan Han saat ini, sebenarnya secara etnis tak ada bedanya. Pada pertengahan abad ke-19, Dinasti Qing melemah akibat perang dan pemberontakan.


Mulai Perang Candu dengan Inggris, pada 1839 hingga 1860, pemberontakan Taiping atau perang sipil di selatan Cina (1850-1864), dan pemberontakan Muslim

Hui dan Uyghur di Xinjiang pada 1864, yang terimbas pemberontakan Cina Muslim di Gansu dan Shaanxi, dua provinsi di sebelah timur Xinjiang.

Pada 1864, orang-orang Han dan Hui terlibat bentrok parah yang dikenal dengan Revolusi Dungan atau Revolusi Hui Muslim. Revolusi ini awalnya bertujuan memberi pelajaran kepada pemerintahan pemerintahan korup dan para pejabat penindas rakyat, karena itu tak terdengar istilah jihad atau pendirian negara Islam. Tapi, kemudian orang-orang Han (Prajurit Taiping) mendatangi kawasan Muslim seperti Shaanxi atas
dukungan Dinasti Qing dan membentuk milisi Yong Ying.

Orang-orang Hui pun merespons dengan membentuk milisi. Kondisi chaos saat itu berlanjut saat Khan Kokand dari kawasan yang kini Kyrgistan, bersama pasukan Turko-
Muslim-nya memasuki Xinjiang dari Kasghar. Ironisnya, pasukan yang dipimpin Yaqub Beg ini menjalin aliansi dengan milisi Han, dan mengepung pasukan Muslim di Urumqi. Yaqub memerin tah di sana enam tahun.

Rusia pun ikut ambil bagian, dan pada 1871 mengepung kawasan Lembah Ili yang kaya, termasuk Gulja, di utara Xinjiang. Belasan tahun kemudian barulah Dinasti Qing siuman. Mereka mengirim pasukan untuk menumbangkan Ya qub Beg, dan mengambil Gulja dari Rusia.

Selanjutnya, Diansti Qing menggabungkan kawasan utara Tianshan (Dzungar Basin) dengan kawasan selatan (Tarim Basin) yang didiami Muslim, dan pada 1884 menamainya Xinjiang, yang berarti batas baru. Xinjiang menjadi sebuah provinsi.

Tapi, karena orang-orang Han  dan Hui di Xinjiang utara hampir punah gara-gara perang sipil, orang-orang Uighur di selatan pun akhirnya menyebar ke utara. Maka, jadilah seantero Xinjiang didiami mayoritas Muslim Uighur. Selain menjadi rumah orang Uyghur, Xinjiang juga ditinggali orang Kazakh, Tajik, Kyrgyz, Hui, Han, dan Mongol.



Credit  republika.co.id



Kemlu Minta Dubes RI Cari Informasi Soal Situasi Uighur




Kemlu Minta Dubes RI Cari Informasi Soal Situasi Uighur
Kemlu RI mengaku telah menginstrusikan Dubes RI di Beijing untuk mencari informasi mengenai keadaan sebenarnya di wilayah komunitas Muslim Uighur tinggal. Foto/Istimewa


JAKARTA - Kementerian Luar Negeri Indonesia mengaku telah menginstrusikan Duta Besar Indonesia di Beijing untuk mencari informasi mengenai keadaan sebenarnya di wilayah komunitas Muslim Uighur tinggal, yakni di wilayah Xinjiang."Kita meminta Duta Besar kita yang ada di Beijing untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai keadaan yang sebenarnya seperti apa," kata juru bicara Kemlu RI, Arrmanantha Nassir pada Kamis (20/12).Sebelumnya, Arrmanantha mengatakan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan Duta Besar China di Jakara. Dalam pertemuan itu, papar Arrmanantha, Kemlu menyampaikan sikap pemerintah mengenai keberadaan kamp penanahan terhadap kaum minoritas di China, khususnya kaum Muslim Uighur.Arrmanantha mengatakan, pertemuan dengan Dubes China tersebut berlangsung pada tanggal 17 Desember lalu. Dalam pertemuan itu, Kemlu menegaskan berdasarkan hukum internasional setiap orang berhak untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama mereka."Pada kesempatan tersebut Kemlu menegaskan bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia dan dalam kaitan ini merupakan tanggung jawab setiap negara untuk menghormati ini," ucap Arrmanantha, Jakarta, Rabu (19/12/2018).Ia lalu mengatakan, dalam kesempatan tersebut juga Dubes China menyampaikan komitmen Beijing terhadap perlindungan HAM dan sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.  




Credit  sindonews.com




China Klaim Kamp Penahanan Uighur Hanya Sekolah Keterampilan


China Klaim Kamp Penahanan Uighur Hanya Sekolah Keterampilan
Ilustrasi Uighur di China. (Reuters/Thomas Peter)


Jakarta, CB -- Pemerintah China melalui kedutaan besarnya di Jakarta mengklaim "penampungan" etnis minoritas Uighur di Xinjiang bukan kamp penahanan atau kamp konsentrasi, tapi sekolah pendidikan vokasi.

Kedubes China menyatakan kamp-kamp tersebut dibentuk demi membantu memberdayakan etnis Uighur yang sebagian besar memiliki keterampilan dan bahasa terbatas.

"Di beberapa tempat, penduduk tertentu di sana memiliki keterampilan dan bahasa yang terbatas akan pengetahuan hukum. Mereka sering kesulitan mencari pekerjaan karena keterampilan yang terbatas," bunyi pernyataan Kedubes China pada Rabu (20/12).


"Mengingat situasi ini, otoritas Xinjiang telah mendirikan lembaga pelatihan kejuruan profesional sebagai platform yang menyediakan kursus bahasa China, pengetahuan hukum, keterampilan kejuruan, hingga pendidikan deradikalisasi bagi warga yang terpengaruh ide-ide ekstremis."



Institusi-institusi pelatihan itu disebut memberikan etnis Uighur dan Xinjiang berbagai macam kursus, seperti membuat baju, sepatu, makanan, produk-produk elektronik, hingga cara membangun e-commerce.

Kedubes China memaparkan para peserta pelatihan juga bisa belajar hingga dua keterampilan sesuai minat masing-masing. Para peserta juga diklaim dibayar atas hasil karya mereka selama berada di kamp pelatihan.

Selain membantu memberdayakan warga Xinjiang, Beijing menganggap pelatihan vokasi juga dianggap bisa membantu mencegah penyebaran paham ekstremis yang dapat mengancam keamanan.

"Fakta telah membuktikan bahwa pelatihan vokasi seperti itu sangat efektif mencegah penyebaran paham ekstremisme dan mencegah serangan terorisme di Xinjiang," demikian pernyataan kedubes China.



Dalam pernyataan itu, Kedubes China juga membantah tudingan bahwa pemerintahannya membatasi hak-hak beragama kaum minoritas, termasuk etnis Uighur yang mayoritas Muslim.

Kedubes China menyatakan sesuai dengan konstitusi, "pemerintah melindungi kebebasan beragama yang dinikmati oleh seluruh warga, termasuk etnis Muslim Uighur."

Pernyataan itu dirilis Kedubes China di Jakarta menyusul protes warga Indonesia, termasuk sejumlah tokoh hingga politikus, terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Negeri Tirai Bambu terhadap suku Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang secara massal dan sistematis.



Salah satu pelanggaran HAM paling dikhawatirkan adalah mengenai penahanan jutaan etnis Uighur dan minoritas lainnya yang dilakukan otoritas China.

Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Xinjiang, otoritas China terus melakukan penahanan massal sewenang-wenang terhadap Uighur dan minoritas muslim lain di Xinjiang sejak 2014 lalu.

Tak seperti kasus Rohingya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, dianggap tutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi pada etnis Uighur.

Sejumlah politikus oposisi pemerintah seperti Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, dan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, turut mengkritik sikap pemerintah yang dianggap diam melihat dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang.



Tak hanya kelompok pemerhati HAM dan tokoh politik, warganet Indonesia juga menaruh perhatian pada penindasan terhadap Muslim Uighur.

Seruan #UsirDubesChina menggema sebagai sikap geram lewat lini masa Twitter pada Rabu (19/12). Meski tidak menjadi trending topic, tapi tagar ini menyita perhatian warganet Indonesia.

Pengguna internet mempertanyakan empati warga di seluruh dunia atas kekejaman atas Muslim etnis Uighur di China.



Credit  cnnindonesia.com



Indonesia Bisa Sarankan Tiongkok Buka Informasi Xinjiang


Kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters

Indonesia dapat menggunakan forum multilateral maupun bilateral untuk menjembatani.



CB, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia dapat menyarankan kepada Tiongkok untuk membuka akses informasi tentang Xinjiang. Dengan demikian, dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan jelas terhadap apa yang terjadi di Xinjiang.


"Keterbukaan informasi menjadi hal yang sangat penting. Hubungan yang sangat baik dengan China menjadi modal bagi Indonesia untuk mempunyai peran pada masalah keterbukaan informasi," ujar Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, di Jakarta, Kamis (20/12).

Pernyataan tersebut disampaikan Dosen HI Universitas Indonesia itu usai diskusi mengungkap fakta pelanggaran HAM terhadap Etnis Uighur di Jakarta. Agung mengatakan Indonesia dapat menggunakan forum multilateral maupun bilateral untuk menjembatani penyelesaian permasalahan etnis Uighur.


"Forum multilateral seperti Sidang PBB, KTT ASEAN, dan OKI mungkin bisa digunakan Indonesia," ucapnya.


Di samping itu, pemerintah Indonesia butuh kalkulasi yang tinggi dalam mengambil sikap terkait kasus etnis Uighur. "Karena saya lihat negara-negara dunia Islam pun belum banyak yang bersuara, dan Indonesia masih menunggu. Perlu diingat bahwa respon sekeras apapun itu akan memberikan dampak balik kepada Indonesia," ujarnya.


Sebelumnya, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan telah menerima berbagai laporan dari sumber-sumber kredibel bahwa terdapat 1 juta etnis Uighur ditahan di suatu kamp pengasingan yang terselubung. Mereka dipaksa mengikuti program "Kamp Indoktrinasi Politik" yang di dalamnya diduga terdapat upaya pelunturan keyakinan yang dianut warga Uighur.


Sementara itu, Amnesti Internasional mendesak Pemerintah China agar segera menghentikan represi tersistematis itu dan memberikan penjelasan mengenai nasib sekitar satu juta Muslim yang ditahan di Xinjiang.




Credit  republika.co.id



Amerika Buat UU Tibet, Cina Sebut Itu Masalah Serius



Warga Tibet berkumpul untuk merayakan Loshar, Tahun Baru Tibet, di Kathmandu, Nepal, 16 Februari 2018. Orang-orang Tibet di seluruh dunia menandai kedatangan Tahun Baru dengan doa dan perayaan. AP Photo/Niranjan Shrestha
Warga Tibet berkumpul untuk merayakan Loshar, Tahun Baru Tibet, di Kathmandu, Nepal, 16 Februari 2018. Orang-orang Tibet di seluruh dunia menandai kedatangan Tahun Baru dengan doa dan perayaan. AP Photo/Niranjan Shrestha

CBBeijing – Pemerintah Cina mengecam keputusan pemerintah Amerika Serikat untuk mengesahkan undang-undang baru terkait daerah bermasalah Tibet.


Cina mengatakan menolak keras UU AS mengenai Tibet, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap urusan internal negara itu dan menimbulkan masalah serius bagi hubungan kedua negara.
Presiden AS, Donald Trump, mengesahkan UU Akses Resiprokal ke Tibet pada Rabu, 19 Desember 2018 waktu setempat.
“Jika AS mengimplementasikan UU ini, ini akan menciptakan masalah serius bagi hubungan Cina dan AS dan kerja sama dalam area penting antara kedua negara,’ kata Hua Chunying, juru bicara kementerian Luar Negeri Cina, seperti dilansir Reuters pada Kamis, 20 Desember 2018.


Chua, dalam jumpa pers, mengatakan UU Tibet dari AS itu mengirim sinyal keliru kepada elemen separatis Tibet. Seperti diketahui, Cina mengirim pasukan ke kawasan Tibet di pegunungan pada 1950 dan menyebutnya sebagai pembebasan damai. Cina memerintah Tibet dengan tangan besi sejak saat itu.
UU Tibet dari AS ini membuka akses bagi para pejabat diplomat, jurnalis dan warga negara dengan menolak akses masuk bagi pejabat Cina, yang dianggap bertanggung jawab membatasi akses ke Tibet.
Chua menambahkan AS harus menyadari penuh sensitivitas penuh isu Tibet dan harus menghentikan gangguannya. Jika tidak, AS harus bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang muncul.


Kelompok HAM mengatakan kondisi etnis Tibet di Wilayah Otonomi Tibet terus bermasalah. Komisi Tinggi HAM PBB menyebut kondisi Tibet terus memburuk pada pernyataan Juni 2018.
Setiap orang asing membutuhkan akses izin khusus untuk bisa memasuki Tibet, yang biasanya diberikan kepada Turis. Mereka diizinkan melakukan tur yang dikontrol ketat. Akses ini kerap tidak diberikan kepada diplomat asing dan jurnalis.
Menurut Chua, Tibet terbuka untuk pengunjung seperti ditunjukkan data 40 ribu pengunjung dari AS sejak 2015.
Namun, Chua mengatakan pemerintah setempat mengontrol kedatangan para orang asing ke Tibet karena letak geografis dan alasan cuaca.


Jika Cina menolak UU Tibet ini, kelompok HAM Tibet justru mendukungnya. Kelompok Kampanye Internasional untuk Tibet mengatakan UU itu menandai era baru dukungan AS dan merupakan tantangan bagi kebijakan Cina di Tibet.
“AS memberi tahu Beijing konsekuensi yang dihadapi pejabatnya karena bersikap diskriminasi terhadap warga Tibet dan AS. Ini membuka jalan bagi negara lain untuk mengikuti,” kata presiden Kampanye Internasional untuk Tibet, Matteo Mecacci, dalam pernyataannya.
Tibet bakal merayakan 60 tahun pengasingan Dalai Lama pada 2019. Dalai Lama merupakan pemimpin tertinggi Tibet, yang sempat memimpin perlawanan terhadap Cina namun gagal.
Selama ini, Cina rutin mengecam Dalai Lama sebagai seorang separatis berbahaya. Dalai Lama menanggapi dia hanya menginginkan otonomi murni bagi tanah kelahirannya.




Credit  tempo.co




Mengundurkan Diri, Bos Pentagon: Trump Tak Keras pada Rusia dan China



Mengundurkan Diri, Bos Pentagon: Trump Tak Keras pada Rusia dan China
Presiden Donald Trump (kanan) dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Norman Mattis. Mattis mengundurkan diri dan resmi hengkang dari pemerintah Trump Februari 2019. Foto/REUTERS/Leah Millis


WASHINGTON - Bos Pentagon atau Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) James Norman Mattis mengundurkan diri dan resmi meninggalkan kantornya akhir Februari 2019 nanti. Dalam surat pengunduran dirinya, dia mengkritik Presiden Donald Trump yang tidak bertindak keras pada Rusia dan China sebagai musuh.

Surat Mattis menyatakan dia mengundurkan diri sehingga Trump dapat menyewa seorang Menteri Pertahanan dengan pandangan yang lebih sejalan dengannya.

Meski demikian, dia mengaku setuju dengan sikap Trump bahwa AS tidak boleh menjadi polisi dunia. Hanya saja, dia menekankan pentingnya pemerintah Trump untuk membela sekutunya.

"Penting memberikan kepemimpinan yang efektif untuk aliansi kita dan mendorong sebuah tatanan internasional yang paling kondusif bagi keamanan, kemakmuran dan nilai-nilai kita," bunyi surat Mattis, yang dikutip CNBC, Jumat (21/12/2018).

Lebih lanjut, mantan janderal Marinir AS ini mengatakan bahwa Trump tidak cukup keras pada Rusia dan China yang merupakan rival utama. "Kita harus tegas dan tidak ambigu dalam pendekatan kita kepada mereka," lanjut surat Mattis.

Sementara itu, Trump mengonfirmasi pengunduran diri Mattis dalam rangkaian tweet.

"Jenderal Jim Mattis akan pensiun, dengan perbedaan, pada akhir Februari, setelah melayani administrasi saya sebagai Menteri Pertahanan selama dua tahun terakhir. Selama masa jabatan Jim, kemajuan luar biasa telah dibuat, terutama berkenaan dengan pembelian peralatan tempur baru," tulis Trump.

"Jenderal Mattis sangat membantu saya mendapatkan sekutu dan negara-negara lain untuk membayar kewajiban militer mereka. Nama Menteri Pertahanan baru akan muncul segera. Saya sangat berterima kasih kepada Jim atas layanannya!," lanjut Trump.


Pada hari-hari sebelum pengunduran dirinya, Mattis dilaporkan berpendapat bahwa misi kontraterorisme Washington di Suriah tidak lengkap. Menurut para pejabat AS yang berbicara dalam kondisi anonim, Mattis tidak setuju dengan keputusan Trump menarik seluruh pasukan AS dari Suriah karena akan meninggalkan wilayah itu dalam kekacauan.

Mattis bergabung dengan kabinet Trump pada awal masa kepresidenannya pada Januari 2017 setelah lebih dari 40 tahun berkarier di militer. Dia pernah memimpin Komando Pusat AS yang mengawasi seluruh operasi AS di Timur Tengah. 





Credit  sindonews.com



Menhan AS Mundur Usai Trump Tarik Pasukan dari Suriah


Menhan AS Mundur Usai Trump Tarik Pasukan dari Suriah
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, James 'Jim' Norman Mattis memilih mundur usai Presiden Donald Trump memutuskan menarik seluruh pasukan AS dari Suriah. (Reuters/Jonathan Ernst)


Jakarta, CB -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat, James 'Jim' Norman Mattis menyatakan mengundurkan diri dari kabinet pada Kamis (20/12) kemarin. Dia tidak secara terbuka menyatakan alasan mundur, tetapi nampaknya tidak sepakat dengan keputusan Presiden Donald Trump yang menarik seluruh pasukan mereka dari Suriah.

Seperti dilansir Reuters, Jumat (21/12), Mattis menyampaikan pengunduran diri kepada Trump melalui sebuah surat. Dia menyatakan bersilang pendapat dengan Trump yang dianggap tidak setia terhadap negara-negara sekutu dan malah terlihat semakin merapat kepada Rusia.

"Pandangan saya adalah seharusnya memperlakukan negara-negara sekutu dengan hormat, dan juga saya memahami pelaku dan taktik pesaing karena sudah berkecimpung selama empat dasawarsa dalam hal ini," kata Mattis.


"Karena Anda (Trump) berhak untuk mempunyai menteri pertahanan yang sejalan dengan pandangan Anda dan juga hal-hal lainnya, rasanya ini saat yang tepat untuk saya mengundurkan diri," ujar mantan komandan korps Marinir AS itu.


Kabar pengunduran diri Mattis terlebih dulu disampaikan oleh Trump melalui cuitan di Twitter. Beberapa saat kemudian giliran Kementerian Pertahanan AS (Pentagon) merilis surat pengunduran diri Mattis. Dia menyatakan Mattis baru benar-benar meninggalkan jabatannya pada Februari 2019.

"Jenderal Mattis sangat membantu saya untuk mendapatkan sekutu dan sejumlah negara supaya mendapat bantuan militer. Menteri Pertahanan baru akan segera saya umumkan. Saya mengucapkan banyak terima kasih untuk Jim atas dedikasinya," tulis Trump.

Sejumlah kalangan di Amerika Serikat mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Donald Trump yang bakal menarik 2000 pasukan di Suriah. Pasukan AS selama ini disebut hanya ditugaskan memerangi ISIS dan melatih pasukan pemberontak Suriah, SDF. Mayoritas pasukan AS itu ditempatkan di Suriah bagian utara. Ada juga sebagian kecil yang diplot di garnisun yang berada di Al-Tanaf, dekat perbatasan Yordania dan Irak.



Kalangan politikus juga menyatakan bingung dengan jalan pikir Trump. Apalagi selama ini Mattis dikenal sebagai sosok yang mampu mengimbangi Trump, karena memegang kendali bidang pertahanan.

"Mattis selama ini adalah menteri yang menjadi jangkar saat pemerintahan Trump terlihat sangat kacau," kata Senator dari Partai Demokrat, Mark Warner.

Sedangkan Senator Marco Rubio menganggap pengunduran diri Mattis memperlihatkan kebijakan yang dibuat Trump seolah seperti menggali kubur sendiri bagi AS. Sebab hal itu membahayakan mereka dan merusak persahabatan dengan para sekutu.

Ada sejumlah kandidat yang digadang-gadang mengisi posisi yang ditinggalkan Mattis. Mereka adalah mantan jenderal Angkatan Darat AS, Senator Tom Cotton, dan bekas Wakil Kepala Staf Angkatan Darat AS, Jack Keane.

Kemungkinan besar keputusan penarikan pasukan di Suriah menjadi titik puncak silang pendapat antara Mattis dan Trump. Keduanya sempat berbeda sikap ketika Trump memutuskan membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran.



Trump juga memaksa supaya Angkatan Bersenjata AS membentuk satuan Pasukan Antariksa, yang mana ditentang Mattis.




Credit  cnnindonesia.com



Penarikan Pasukan dari Suriah, Menhan AS Tidak Setuju dengan Trump



Penarikan Pasukan dari Suriah, Menhan AS Tidak Setuju dengan Trump
Foto/Ilustrasi/Istimewa


WASHINGTON - Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat (AS), James Mattis, tidak setuju dengan keputusan Presiden Donald Trump untuk segera menarik semua pasukan dari Suriah. Hal itu diungkapkan Senator Lindsey Graham saat konferensi pers di Capitol Hill.

"Dia (Mattis) berpikir bahwa waktunya tidak tepat untuk pergi," kata Graham.

"Dia mengatakan kepada saya tanpa ragu-ragu bahwa (ISIS) telah terluka parah, bahwa perubahan dalam strategi untuk menjadi lebih agresif telah membuahkan hasil. Tetapi mereka tidak kalah, dan bahwa apa yang terjadi di Iraq sangat mungkin terulang," imbuhnya seperti dikutip dari Sputnik, Jumat (21/12/2018).

Graham mengatakan dia juga berbicara dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang dia katakan memahami bahwa kondisi di wilayah Suriah tidak tepat bagi Amerika Serikat untuk menarik pasukannya.

Senator dari Partai Republik itu berpendapat bahwa meninggalkan Suriah dapat menyebabkan munculnya kembali ISIS, menempatkan para pejuang Kurdi di sana dalam bahaya dan menguntungkan kepentingan nasional Rusia, Iran serta pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Pada hari Rabu, Trump mengumumkan keputusannya untuk menarik semua pasukan militer AS dari Suriah. Ia mengatakan langkah itu dimotivasi oleh fakta bahwa ISIS di negara itu telah dikalahkan.


Koalisi pimpinan AS yang terdiri lebih dari 70 negara melakukan operasi militer terhadap ISIS di Suriah dan Irak. Operasi koalisi di Irak dilakukan bekerja sama dengan pemerintah Irak, tetapi mereka di Suriah tidak diizinkan oleh pemerintah Suriah atau pun Dewan Keamanan PBB. 





Credit  sindonews.com



Tarik Pasukan AS dari Suriah, Donald Trump Panen Kritik


Tarik Pasukan AS dari Suriah, Donald Trump Panen Kritik
Keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik 2000 pasukan di Suriah dianggap bentuk 'kekalahan' dan memuluskan Rusia dan Iran menancapkan pengaruh di Timur Tengah. (REUTERS/Carlos Barria)


Jakarta, CB -- Sejumlah kalangan di Amerika Serikat mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Donald Trump yang bakal menarik 2000 pasukan di Suriah. Hal itu dianggap sebagai bentuk 'kekalahan' dan memuluskan jalan Rusia serta Iran untuk menancapkan pengaruh di Timur Tengah.

Seperti dilansir Reuters, Kamis (20/12), kritik disampaikan oleh sejumlah kalangan di Kementerian Pertahanan AS. Mereka merasa keputusan Trump justru menguntungkan Rusia dan Iran.

Sumber di Kementerian Pertahanan AS menyatakan khawatir Suriah bakal menjadi ancaman sekutu mereka di Timur Tengah, Israel. Sebab, Iran yang menjadi musuh mereka bisa menggunakan Suriah sebagai basis untuk menyerang Negara Zionis.


"Secara geopolitik itu menguntungkan Rusia, sedangkan di kawasan menguntungkan Iran," kata sumber itu.


Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat AS, Jack Keane juga mengkritik keputusan Trump. Menurut dia hal itu juga bisa membuat kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bangkit lagi.

Menurut Keane, yang merupakan kandidat pengganti Menteri Pertahanan James Mattis, hal itu akan membuat AS tidak punya daya tawar dalam perundingan damai di Suriah, jika terjadi kelak.

"Meski markas ISIS di Suriah sudah hancur, tetapi kami akan kalah dalam hal perdamaian karena penarikan pasukan ini. ISIS akan bangkit lagi, Iran menjadi ancaman yang terus berkembang dan menguasai Suriah, lalu Israel akan terancam bahaya," kata Keane dalam cuitan melalui akun Twitternya.

Analis Institut Timur Tengah, Charles Lister menyatakan juga setuju dengan pemikiran Keane. Menurut dia keputusan Trump membuat posisi mereka semakin sulit di Suriah.


"Tapi yang terutama akan berpengaruh terhadap kebijakan dalam menghadapi Iran. Sebab Suriah adalah kunci dari strategi kawasan Iran," kata Keane.

Meski demikian, seluruh pendapat itu disangkal oleh pemerintah Trump. Menurut sumber di kalangan pejabat keamanan AS, tugas pasukan mereka di Suriah hanya untuk menghadapi ISIS, bukan Iran.

"Menurut saya presiden (Trump) sudah tepat saat menyatakan misi itu sudah sampai pada tahap akhir," kata sumber itu.

Pasukan AS selama ini disebut hanya ditugaskan memerangi ISIS dan melatih pasukan pemberontak Suriah, SDF. Mayoritas pasukan AS itu ditempatkan di Suriah bagian utara. Ada juga sebagian kecil yang diplot di garnisun yang berada di Al-Tanaf, dekat perbatasan Yordania dan Irak.

Bahkan keputusan Trump ini membuat partainya, Partai Republik bingung. Mereka menumpahkan kekecewaan soal Trump langsung kepada Wakil Presiden Mike Pence.


Perang sipil di Suriah yang berlangsung sejak 2011 sudah menelan korban jiwa ratusan ribu orang. Sekitar 11 juta penduduk juga terpaksa mengungsi ke sejumlah negara di dunia.



Credit  cnnindonesia.com



Sebelum Tarik Pasukan dari Suriah, Trump Mengontak Erdogan



Warga Suriah melihat pasukan AS berpatroli di dekat perbatasan Turki di Hasakah, 4 November 2018. [REUTERS / Rodi Said]
Warga Suriah melihat pasukan AS berpatroli di dekat perbatasan Turki di Hasakah, 4 November 2018. [REUTERS / Rodi Said]

CBWashington – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menginformasikan keputusannya untuk menarik pasukan dari Suriah kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.  Namun, Trump tidak mendiskusikan keputusannya itu dengan Erdogan.

“Presiden membuat keputusannya sendiri. Itu bukan keputusan yang didiskusikan dengan Presiden Erdogan. Dia telah menginformasikan keputusannya ini kepada Presiden Erdogan,” kata seorang pejabat Gedung Putih secara anonim kepada media pada Kamis, 20 Desember 2018, seperti dilansir Reuters.
Pejabat ini menambahkan AS meyakini sisa kantong milisi ISIS di Suriah bakal dihancurkan oleh pasukan AS dan mitra yang ada di sana.
Seperti dilansir sebelumnya, Trump mengumumkan penarikan pasukan AS secepatnya dari Suriah. Menurut sejumlah pejabat sipil dan militer AS, Trump menilai ISIS telah dikalahkan sehingga dia mempertanyakan tujuan keberadaan pasukan AS di Suriah.

Secara terpisah, Senator Jeff Flake dari Partai Republik mengeluhkan keputusan Trump ini karena tidak diberitahu sebelumnya. Senator dari partai pendukung Trump itu menyampaikan keluhannya kepada Wakil Presiden Mike Pence saat mereka bertemu kemarin.
Sedangkan mitra dari Prancis mengaku terkejut saat mendengar keputusan Trump untuk menarik pasukan daru Suriah.
“Jika ini terdengar seburuk seperti apa adanya, maka ini menjadi masalah serius bagi kami dan Inggris karena koalisi itu tidak berjalan tanpa AS,” kata seorang diplomat Prancis.


Menurut dua pejabat, Trump kerap bertanya apa yang dilakukan pasukan AS di Suriah. “Apa yang kita lakukan di sana? Saya tahu kita di sana untuk melawan ISIS, tapi kita telah melakukannya. Sekarang apa?” kata bekas pejabat seperti dilansir Reuters.

Trump memahami tapi menolak penjelasan dari penasehat senior AS bahwa pasukan berada di sana bukan di garis terdepan dan jumlahnya hanya 2000 orang. Pasukan ada disana, kata penasehat, untuk memperkuat pasukan lokal anti-ISIS.
Namun, Trump mengatakan dia menginginkan pasukan keluar dari Kota Raqqa dan basis ISIS lainnya begitu wilayah itu berhasil dikuasai.


Pejabat ini mengatakan keputusan Trump itu dianggap di Pentagon sebagai menguntungkan Rusia dan Iran, yang menggunakan dukungan kepada Suriah untuk memperkuat pengaruh di kawasan itu. Iran juga meningkatkan kemampuannya mengirim senjata ke Hizbullah di Lebanon untuk melawan Israel.




Credit  tempo.co



Amerika Bakal Jual Sistem Rudal Patriot ke Turki?


Swedia Beli Rudal Pertahanan Udara, Patriot dari AS Senilai US$ 1 Miliar
Swedia Beli Rudal Pertahanan Udara, Patriot dari AS Senilai US$ 1 Miliar

CBWashington – Kementerian Luar Negeri Amerika mengatakan telah menginformasikan rencana penjualan paket rudal Patriot ke Turkit kepada Kongres.


 
Penjualan ini termasuk 80 rudal Patriot, 60 rudal PAC-3 untuk pencegatan rudal, dan sejumlah peralatan terkait.
“Rencana penjualan ini bakal meningkatkan kemampuan pertahanan militer Turki untuk menjaga negara dari serangan dan melindungi sekutu NATO,” begitu pernyataan dari kementerian seperti dilansir Aljazeera, Rabu, 19 Desember 2018, waktu setempat.
Rencana pembelian rudal AS ini menambah rencana pembelian rudal untuk meningkatkan pertahanan Turki. Pada 2017, pemerintah Turki mengumumkan rencana membeli sistem rudal S-400 dari Rusia, yang memunculkan reaksi dan kritik dari sekutu di NATO, yang dulu dibentuk untuk menghadang kekuatan Uni Sovyet.


Seorang pejabat AS mengatakan Turki membahayakan partisipasinya dalam program senjata yaitu pembuatan pesawat tempur F-35 jika negara itu melanjutkan pembelian S-400.
Pejabat itu mengatakan Turki juga bisa terkena sanksi atas pembelian peralatan militer terkait undang-undang AS jika melanjutkan pembelian S-400.
“Penting bagi negara anggota NATO untuk membeli peralatan militer yang bisa dioperasikan dengan sistem NATO. Peralatan dari Rusia tidak akan memenuhi standar itu,” kata pejabat tadi secara anonim.
Pengumuman rencana penjualan rudal Patriot ke Turki ini dilakukan berdekatan dengan pengumuman penarikan pasukan AS dari Suriah oleh Presiden Donald Trump.


 
Trump mengatakan penarikan pasukan dilakukan dari Rusia karena telah mengalahkan kelompok ISIS.
Menurut seorang pejabat Gedung Putih, Trump sempat menginformasikan rencana penarikan pasukan AS dari Suriah kepada Presiden Tukri Recep Tayyip Erdogan.

Saat ini, pasukan AS, yang berjumlah sekitar 2000 orang, mendukung pasukan Kurdi, yang bergerak di sebelah timur sungai Eufrat. Di sisi ini, pasukan Unit Perlindungan Rakyat atau YPG dari Kurdi telah bertempur melawan pasukan ISIS.
Namun, Ankara telah mengungkapkan rasa frustrasinya mengenai penundaan implementasi kesepakatan dengan AS untuk mengosongkan wilayah sebelah barat dari sungai Eufrat dari pasukan YPG.

 
Pada Senin pekan ini, Presiden Erdogan mengatakan pasukan Turki akan membersihkan wilayah utara Suriah dari pasukan Kurdi jika diperlukan. Dia mengatakan telah berbicara dengan Trump lewat telepon dan bersepakat untuk bekerja sama mengenai Suriah.



Credit  tempo.co



AU Jepang Cegat Jet Tempur Rusia di Perairan Internasional


AU Jepang Cegat Jet Tempur Rusia di Perairan Internasional
Angkatan Udara Jepang mencegat pesawat tempur Su-24 Rusia di atas Laut Jepang. Foto/Istimewa

TOKYO - Angkatan Udara (AU) Jepang mengirim pesawat tempurnya untuk mencegat sebuah jet Su-24 Fencer Rusia di Laut Jepang pada Rabu lalu. Ini adalah kedua kalinya dalam seminggu Jepang mencegat pesawat asing, di saat negara itu tengah bergerak mengembangkan armada udaranya secara besar-besaran.

Pesawat tempr Rusia, Su-24, tengah melakukan patroli udara di perairan internasional ketika insiden itu terjadi.

"Jet Rusia tidak melanggar wilayah udara Jepang," kata Kementerian Pertahanan Jepang seperti dikutip Sputnik dari The Diplomat, Jumat (21/12/2018).

AU Jepang dilarang bersifat ofensif oleh konstitusi negara itu. Sebagai gantinya, mereka berkonsentrasi pada operasi pertahanan dan pendeteksian udara.

Diproduksi oleh Sukhoi, Su-24 pertama kali diperkenalkan oleh Uni Soviet pada tahun 1974. Ini adalah jet geometri yang cepat dan bervariasi yang dapat mencapai kecepatan hingga Mach 1,6 pada kecepatan penuh dan mampu membawa senjata nuklir, meskipun jet digunakan untuk menyesuaikan berbagai peran tempur dan pengintaian.

Meskipun ini adalah pertama kalinya dalam lima minggu, AU Jepang bereaksi sangat cepat untuk menghadapi sebuah pesawat Rusia. Insiden ini hanya berselang lima hari setelah sebelumnya sistem pertahanan mereka mendeteksi pesawat mata-mata China di sekitar Okinawa, jauh di selatan, di Laut Cina Timur.

Pada 14 Desember, AU Jepang mencegat pesawat Shaanxi Y-9JB dan pesawat pengintai China. Saat itu, pesawat China juga berada di wilayah udara internasional.

Namun, meskipun Jepang mandat secara konstitusional bersikap netralit, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe baru-baru ini memperluas pengeluaran pertahanan negaranya secara besar-besaran selama lima tahun ke depan, termasuk mengambil biaya konversi kapal perusak kelas Izumo menjadi kapal induk yang mampu memproyeksikan kekuatan udara jauh dari kepulauan Jepang.

Selain itu, Kementerian Pertahanan Jepang juga berencana memiliki lebih dari 100 jet siluman F-35 Lightning II baru dari Amerika Serikat sebagai bagian penting dari rencana itu.

Kementerian Pertahanan Jepang pada hari Selasa meminta tambahan USD244 miliar untuk belanja pertahanan mulai tahun depan, yang mencatat rekor peningkatan sebesar USD46 miliar yang ditetapkan oleh anggaran 2018.

Pada akhir Oktober, Abe dan Perdana Menteri India Narendra Modi menandatangani kesepakatan yang akan memungkinkan kapal-kapal India memiliki kemampuan untuk menggunakan pangkalan angkatan laut Jepang dan memberikan akses AU Jepang ke fasilitas angkatan laut India di Kepulauan Andaman dan Nikobar.



Credit  sindonews.com