Foto: Muhammad Idris
Jakarta -Hampir genap 3 tahun Winardi Sunoto
menakhodai BUMN peleburan aluminium di Sumatera Utara, PT Indonesia
Asahan Aluminium (Inalum). Sebelumnya, perusahaan yang berkantor pusat
di Kuala Tanjung, Kabupaten Asahan ini merupakan perusahaan Penanaman
Modal Asing (PMA) asal Jepang.
Saat pemerintah mengambil alih
58,87% saham dari Nippon Asahan Aluminium (NAA), muncul kekhawatiran
kinerja Inalum bakal melorot setelah menjadi BUMN. Bahkan, menurut
Winardi, di awal masa kepemimpinannya sejumlah karyawan pesimistis
Inalum bisa tumbuh setelah investor Jepang hengkang.
Nyatanya
dengan menjadi BUMN, Inalum tumbuh pesat dan bisa mengendalikan hasil
produksinya. Berbeda saat masih dikuasai NAA, produk alumina, hasil
peleburan dari bijih bauksit, sekitar 60% harus diekspor ke Jepang untuk
diproses lebih lanjut menjadi aluminium di sana. Kewajiban mengekspor
alumnina ke Jepang membuat Inalum tak banyak mengendalikan produk
hilirnya.
Lantas, seperti apa transformasi Inalum dan kondisinya saat ini. Berikut petikan wawancara
detikFinance dengan Direktur Utama Inalum, Winardi Sunoto, saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, pekan lalu.
Apa saja yang Anda lakukan saat awal memimpin Inalum? Masalah apa saja yang dihadapi?Dulu
kan PMA, sekarang BUMN. Banyak peraturan yang harus disesuaikan,
pengadaan, sumber daya manusianya, hampir semua termasuk hubungan dengan
masyarakat sekitar. Artinya dari dulu PMA ke BUMN transisi perlu waktu,
tapi kita kan sudah jalan dari 2013. Desember nanti sudah 3 tahun,
pelan-pelan bisa jadi BUMN yang baik.
Kesulitan kan
berbeda. Artinya, kita datang sebagai orang baru, belum tentu
pegawai-pegawai sana mau welcome ke kita, apa benar ini?Khawatir
kinerja setelah jadi BUMN akan turun. Kenyataannya tidak kan. Di 2012
keuntungan hanya US$ 25 juta. Di 2013 US$ 68 juta, lalu 2014 US$ 156
juta. Kemudian, tahun lalu US$ 79 juta karena harga komoditas turun.
Mudah-mudahan tahun ini bisa naik lagi.
Apakah masih ada orang Jepang di Inalum saat ini?Sudah
tidak ada. Waktu 2013 direksinya 4 orang Jepang semua, orang Indonesia
3. Sekarang direksinya 5 orang Indonesia semua. Dari direksi sampai
orang paling di bawah orang kita semua.
Desember nanti Inalum 3 tahun jadi BUMN. Apa rencana Bapak ke depan?Kesempatan
perusahaan terbuka lebar. Artinya, kita diberi kesempatan pemegang
saham agar perusahaan bisa tumbuh dan berkembang. Sehingga bisa memberi
manfaat ke seluruh
stakeholder.
Dengan menjadi BUMN, Inalum sekarang bisa masuk ke industri hilir atau
downstream product. Kalau dulu saat masih saham punya Jepang itu nggak bisa karena produk kita dikirim ke Jepang,
downstream produk diproses di sana. Setelah Inalum jadi BUMN, kita lakukan di sini. Jadi, nilai tambahnya ada di sini sekarang.
Kenapa dulu proses industri hilir harus di Jepang?Karena
dulu saham pengendali mayoritas Jepang. Jadi, yang menentukan operasi
perusahaan mereka, investor Jepang. Produknya 60% harus dikirim ke
Jepang. Kalau sekarang setelah menjadi BUMN kita proses sendiri. Awal
tahun lalu, Januari 2015, kita bangun pabrik hilir aluminium alloy,
diharapkan tahun ini bisa produksi.
Berapa kapasitas pabrik tersebut?Kapasitas
aluminium 30.000 ton per tahun. Aluminium alloy 90.000 ton per tahun.
Totalnya 120.000 ton setahun. Fokus untuk dalam negeri, kalau ada
kelebihan baru kita ekspor.
Setelah produksi aluminium alloy, apakah produksi lebih ke hilir lagi?Belum.
Tapi nanti bertahap masuk ke sana, kan sekarang sudah banyak industri
yang main. Inalum juga nggak mau head to head dengan mereka. Inalum saat
ini baru pasok bahan baku untuk mereka.
Saat ini kebanyakan
impor, nanti setelah kita selesai pabrik produk hilir mereka bisa pakai
produk kita. Tidak harus impor sehingga devisa bisa hemat. Sudah jalan,
60% selesai. Sehingga akhir tahun sudah bisa
comissioning.
Sekarang
konsumsi aluminium dalam negeri 400.000 ton per tahun, termasuk scrap.
Padahal Inalum sendiri produksinya hanya sekitar 260.000 ton, jadi
sisanya masih impor. Inalum ke depan akan ekspansi dari 300.000 ton
setahun ke 400.000 ton setahun. Terakhir di 2025 jadi 1 juta ton.
Saat ini Inalum masih impor alumina sebagai bahan baku aluminium. Kenapa harus impor?Alumina
kita impor karena belum ada alumnina refinery di Indonesia. Baru di
Kalimantan Barat ada swasta bangun di sana, tapi itu buat mereka
sendiri. Produknya diekspor ke China. Dipakai oleh
sister company dia.
Kita
produksi aluminium 260.000 ton, butuh bahan baku alumnina dua kali
lipatnya, jadi 520.000 ton setahun. Kalau nanti naik jadi 1 juta ton,
alumina perlu 2 juta ton, jadi perlu 2 kali lipatnya.
Inalum juga mengekspor aluminium, berapa banyak dan ke mana saja?Sekitar
10% dari hasil produksi 260.000 ton itu, kurang lebih 20.000 ton
setahun kita tender ke internasional. Bisa ke Jepang, Eropa, China.
Siapa yang menawar harga terbaik, itu yang diekspor.
Inalum juga punya pengalaman di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), apakah ada rencana ekspansi ke pembangkit?Untuk
ekspansi, di Sumatera Utara itu peluangnya kecil. Tapi ke depan di
Kalimantan Utara kita akan kembangkan di sana. Jadi, 500 MW berikutnya
di Kalimantan Utara kita akan pakai PLTA juga. Mahal di awal tapi nanti
harga bersaing. Di Kalimantan Utara banyak sungai, itu potensi besar
sampai 6.000 MW.
Berapa rencana investasi di pembangkit dan apakah akan menjalin kerja sama dengan pihak lain?Tergantung
lokasinya. Memang sedikit lebih mahal, tapi operasinya lebih murah.
Dan, selama ini kita sendiri. Tapi nanti berjalannya waktu ada yang
menawarkan ikut, kita tidak tertutup.
Setelah melalui proses transformasi menjadi BUMN, bagaimana posisi Inalum dalam persaingan di industri aluminium saat ini?Di
dalam negeri kita tak ada pesaingnya. Luar negeri banyak, sekarang
produksi dunia 55-60 juta ton setahun, dan separuhnya yaitu 33 juta ton
dari China. Jadi, China demand aluminium besar, produksinya juga besar.
China 50%. Sisanya dari Timur Tengah, Amerika Serikat, Kanada, Rusia.
Lalu, ada Malaysia yang 700.000 ton setahun. Kalau Inalum 260.000 ton
setahun. Tapi kita tetap meningkatkan daya saing supaya bisa bertahan.
Credit
detikfinance