Jenderal Gatot Nurmantyo dilantik menjadi Panglima TNI, Rabu (8/7). (ANTARA/Ari Bowo Sucipto)
Jakarta, CB
--
Jenderal Gatot Nurmantyo akan dilantik menjadi
Panglima Tentara Nasional Indonesia oleh Presiden Jokowi, Rabu (8/7),
menggantikan Jenderal Moeldoko yang bulan depan pensiun dari dinas
ketentaraan.
Sumpah dan janji jabatan yang bakal diucapkan Gatot
bagai menjawab doa ayahnya 55 tahun silam. Jenderal bintang empat yang
lahir 13 Maret 1960 itu pada satu kesempatan bercerita, ayahnya punya
alasan khusus memberi dia nama ‘Gatot.’
Sang ayah berharap putranya kelak dapat meniru jejak pahlawan perang
kemerdekaan Jenderal Gatot Subroto –yang namanya kini diabadikan menjadi
nama salah satu jalan protokol di ibu kota RI, Jakarta.
"Pada
saat Bapak saya berumur 16, Gatot Subroto adalah seorang pejuang. Bapak
saya bercita-cita anak lelaki pertamanya diberi nama Gatot," ujar Gatot
Nurmantyo ketika berpidato di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional,
Jakarta, 17 Juni.
Hari ini apa yang diimpikan ayahanda Gatot
Nurmantyo bakal terwujud. Karier militer putranya membuat Gatot naik ke
pucuk pimpinan TNI, dari sebelumnya menjabat Kepala Staf TNI Angkatan
Darat menjadi Panglima TNI.
Dari sudut pandang jabatan
kemiliteran, Gatot Nurmantyo telah melampaui Gatot Subroto, sebab
jabatan tertinggi yang pernah disandang Gatot Subroto adalah Wakil
Kepala Staf TNI AD. Meski demikian, Gatot Subroto bukan perwira
sembarangan.
Pengaruh besar Gatot Subroto pada negara ini dituliskan wartawan senior Rosihan Anwar melalui bukunya yang berjudul
Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965.
Rosihan
menuturkan ketika Gatot meninggal mendadak pada 11 Juni 1964, Indonesia
memasuki masa berkabung selama satu pekan. Gatot Subroto mengembuskan
nafas terakhir akibat serangan jantung. Bendera setengah tiang berkibar
seantero negeri.
Gatot Subroto beroleh kehormatan penuh dari
negara di akhir hidupnya meski perjalanan karier kemiliterannya naik
turun. Pahlawan anumerta yang menjabat Gubernur Militer Daerah Istimewa
II sebelum peristiwa 11 Oktober 1952 itu sempat dicopot dari jabatannya
akibat dituduh ikut mendalangi aksi beberapa jenderal yang mengarahkan
moncong meriam ke arah Istana Kepresidenan.
Namun dua tahun
kemudian, Presiden Soekarno kembali menarik Gatot Subroto di lingkaran
inti. Ia diberi jabatan Wakil KSAD. Jabatan itu disandang Gatot Subroto
hingga hari wafatnya.
Ironisnya, meninggalnya Gatot Subroto
mengakhiri kebimbangan Soekarno serta Menteri Pertahanan dan Keamanan
Abdul Haris Nasution akan masa depan karier Gatot.
"Ada niat
menaikkan pangkat Gatot menjadi jenderal, kemudian memberikan pensiun
kepadanya. Ada niat menjadikannya penasihat hukum TNI setelah ia
berhenti menjadi Wakil KSAD. Baik Soekarno maupun Nasution tidak tahu
lagi apa yang harus mereka perbuat dengan Gatot. Dengan meninggalnya
Gatot, masalah itu selesai dengan sendirinya," tulis Rosihan.
Perjalanan karier Gatot Nurmantyo tentu tak sepelik Gatot Subroto sebab mereka hidup pada zaman yang berbeda.
Mantan
Kepala Angkatan Perang RI Letnan Jenderal T.B. Simatupang pernah memuji
para petinggi militer yang berasal dari wilayah Banyumasan, Jawa
Tengah.
"Saya tidak tahu mengapa, pimpinan militer banyak
berasal dari Banyumas dan Kedu, seperti Sungkono, Sadikin, Bambang
Sugeng, Gatot Subroto dan tentu yang tidak boleh dilupakan, Pak Urip,"
tulisnya pada buku berjudul
Report From Banaran: Experiences During People's War.
TB
Simatupang lantas berkata, pada masa itu muncul pembicaraan bahwa
dialek Banyumas memang lebih terdengar lebih militan dibanding dialek
masyarakat Pulau Jawa lainnya.
"Saya kerap bercanda, menganggap
orang-orang itu (para pemimpin militer asal wilayah Banyumas) sebagai
Prussian of Java," tulisnya merujuk kehebatan Kerajaan Prusia yang
mempengaruhi Eropa pada abad ke-16 hingga 19.
Entah kebetulan atau tidak, Gatot Nurmantyo lahir di wilayah Banyumasan bagian utara, yakni Tegal.
Tantangan luar-dalam
Kurang
lebih sepekan sebelum pelantikannya sebagai Panglima, TNI dirundung
musibah. Pesawat Hercules C-130 yang dioperasikan Skuadron Udara 32
jatuh di Medan akibat kerusakan mesin.
Peristiwa yang merenggut
lebih dari 100 nyawa tersebut memperpanjang catatan negatif soal alat
utama sistem senjata TNI. Menurut catatan Center for Strategic and
International Studies, sejak 2006 setidaknya dua pesawat matra udara TNI
itu mengalami insiden setiap tahunnya.
Mengenai
hal ini Gatot menegaskan, pesawat-pesawat tua TNI AU yang mendapatkan
izin terbang berarti masih laik dioperasikan. Meski demikian ia berkata,
"Pengadaan selanjutnya harus baru, kecuali yang sudah terlanjur."
Selain
tugas modernisasi alutsista untuk memenuhi permintaan Presiden Jokowi
soal zero military accident, Gatot memiliki segudang tantangan. Salah
satunya adalah transparansi institusinya. Lembaga swadaya masyarakat
kerap mendorong TNI membuka diri terhadap audit eksternal terkait
penggunaan anggaran negara, pengadaan serta pemiliharaan alutsista.
Selain
itu, menurut peneliti Imparsial Al Araf, “TNI harus berani membuka diri
terhadap pihak eksternal. Itu hanya dapat terwujud kalau tidak resisten
terhadap revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.”
Tak sekadar akuntabilitas, perubahan UU Peradilan
Militer juga berkaitan dengan maraknya pelanggaran pidana yang dilakukan
prajurit TNI, dari soal konsumsi narkotik, bentrokan, hingga
pembunuhan.
Soal pembunuhan dan pertikaian yang melibatkan
prajurit TNI AD, Gatot memiliki penyelesaian tersendiri. "Ada penekanan
bagi seluruh prajurit, mereka tidak boleh ke klub-klub malam dan tempat
terlarang, tapi juga tidak boleh melakukan hal yang tidak sesuai dengan
Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI," ujar Gatot melalui
Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal Wuryanto.
Moeldoko
beberapa pekan lalu sempat menyebut program yang harus dilanjutkan
Gatot. Ia meminta Gatot tak hanya fokus pada peningkatan kemampuan
alutsista, tapi juga kesejahteraan prajurit. Kedua hal tersebut, tegas
Moeldoko, tak boleh dilupakan.
Gatot mengemban tugas berat. Masa depan TNI, penjaga Republik ini, ada di pundaknya.
Credit
CNN Indonesia