Ilustrasi
Jakarta (CB) - Selain keris Kiai Nogosiluman milik Pangeran
Diponegoro yang simpang siur keberadaannya di Belanda, masih ada
beberapa artefak penting bagi sejarah RI yag tercecer di luar negeri.
Seperti 2 artefak ini.
"Dari pemerintah Indonesia harus ada
permintaan yang resmi untuk Prasasti Sangguran atau Minto Stone.
Prasasti itu berada di perbatasan Skotlandia dan Inggris," demikian kata
sejarawan asal Inggris, Peter Brian Ramsey Carey.
Hal itu
dikatakan Peter usai Curator's Talk pameran 'Aku Diponegoro' di Galeri
Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (6/2/2015) malam.
Minto Stone berasal dari tahun 929 Masehi, lokasi aslinya dari
Ngandat, Malang, Jawa Timur. Dalam prasasti itu tertera nama Raja Jawa,
Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sari Wijayamokanamottungga, yang
memerintah di sekitar Malang. Prasasti itu mengandung ancaman, atau
kutukan bagi pengurus desa dan penduduk Sangguran yang berbuat jahat,
maka akan mendapatkan karma jelek, mati dengan mengerikan. Kutukan itu
menyebutkan bahwa yang berbuat jahat mati dengan dibelah kepalanya,
ususnya terburai, hidungnya dipotong dan hal-hal mengerikan lainnya.
Nah,
pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Thomas Stamford
Rafles memindahkan batu itu ke Kalkuta, India. Kemudian menyerahkan pada
atasannya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto. Sejak itu,
prasasti itu menjadi bagian dari keluarga Minto, dan dinamakan Minto
Stone, di rumah keluarga Minto, Hawick, Skotlandia.
"Dan
prasasti ini diletakkan di luar rumah, di samping kebun, kena hujan,
terik matahari. Itu sama sekali tidak tepat untuk satu benda yang
berharga seperti itu," jelas Peter.
Mengapa Prasasti Sangguran
atau Minto Stone ini penting? Menurut Wikipedia, Raja Dyah Wawa adalah
Raja Mataram yang terakhir di Jawa Tengah. Sedangkan penerusnya, Mpu
Sindok, memindahkan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Alasan
pindah dari Jateng ke Jatim itulah yang belum diketahui.
Sedangkan satu lagi prasasti yang bernasib serupa adalah Prasasti
Pucangan, yang berasal pada tahun 1.040 Masehi. Menurut Peter, prasasti
ini merupakan peninggalan Raja Airlangga yang menjelaskan beberapa
peristiwa serta silsilah keluarga raja yang berurutan.
Menurut
Wikipedia, dinamakan Prasasti Pucangan karena ditemukan di tempat
pertapaan Pucangan dekat Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur.
Prasasti ini juga dibawa Rafles ke Kalkuta, India untuk diserahkan pada
Lord Minto, namun tidak dibawa ke Skotlandia. Alhasil, hingga hari ini,
prasasti Pucangan itu masih berada di museum Kalkuta, India.
"Dan itu di museum India, ditaruh di satu gudang di luar, kena hujan dan angin dan sama sekali tidak dianggap," keluh Peter.
Dua
prasasti itu, menurut Peter, sangat penting karena bisa menelusuri
perpindahan Dinasti Syailendra dari Jateng ke Jatim, juga menelisik
kehidupan di masa Raja Airlangga.
"Raja Airlangga itu tokoh
besar. Itu Pangeran Diponegoro dari abad ke-11. Kalau saya jadi kepala
cagar budaya, saya akan minta itu kembali. Akan jadi fitur yang bagus di
Museum Nasional," tutur profesor tamu di Fakultas Ilmu Budaya UI ini.
Usaha Mengembalikan
Menurut Peter, pemerintah Indonesia pernah meminta pada keluarga Lord Minto dan pemerintah India. Namun belum membuahkan hasil
Peter menyarankan, untuk artefak Prasasti Pucangan, Indonesia bisa menawarkan barter artefak dari India yang ada di sini.
"Kalau
prasasti itu tidak dianggap di India, kenapa tidak diminta kembali.
Mungkin ada beberapa benda dari India di sini yang bisa ditukar,"
sarannya.
Sedangkan untuk Prasasti Sangguran atau Minto Stone,
Peter meminta pemerintah melakukan pendekatan secara halus dengan
keluarga Lord Minto. Sebab, keluarga bangsawan ini dinilai tidak seperti
bangsawan JC Baud, mantan gubernur jenderal Belanda, yang keturunannya
dengan lapang dada merawat warisan pusaka itu.
Pemerintah sudah
mendekati keluarga Minto, sejak 2004. Salah satu yang mendekati adalah
pengusaha Hashim Djojohadikusumo yang bersedia menanggung biaya
pemulangan prasasti itu sekitar Rp 3 miliar pada tahun 2008, seperti
dilaporkan beberapa media lokal Inggris. Namun, Peter mendorong agar
yang lebih proaktif mendekati adalah pemerintah, bukan individu.
"Pemerintah sudah ada usaha, tapi mereka, orang Skotlandia pelit dan minta uang segunung, 70 ribu poundsterling," ungkap dia.
Selain
sisi komersial, Peter juga menyinggung sisi mistis. Menurutnya, Minto
Stone itu berisi kutukan bagi yang berbuat jahat. Keluarga Lord Minto,
dari informasinya, tertimpa kesialan terus.
"Mereka tertimpa sial
terus-menerus. Mereka sudah tidak punya kediaman lagi, sudah dijual
pada Jepang, kemudian berutang. Saya kira harus ada yang memberi tahu
secara halus bahwa dengan memberikan prasasti, namanya akan harum,
malapetaka keluarga Minto juga akan diangkat. Jangan main-main dengan
benda pusaka," pesannya.
Credit
Detiknews