CB, Jakarta - Krisis Turki mulai menimbulkan ancaman bagi bank-bank Eropa yang memiliki bisnis di Turki.
Dilaporkan Reuters, 15 Agustus 2018, bank BBVA dari Spanyol, UniCredit dari Italia, BNP Paribas dari Prancis, bank Belanda ING dan HSBC Inggris, adalah yang paling terdampak krisis Turki dan rentan terhadap mata uang lira yang jatuh bebas.
Analis melihat skenario terburuk meskipun masih kecil kemungkinan terjadi, yakni ketika bank-bank ini terpaksa sepenuhnya berhenti beroperasi dan keluar dari Turki.
Tetapi masalah Turki memberi penghindaran risiko di kalangan investor, yang khawatir tentang gejolak pasar keuangan menyebar ke negara-negara berkembang lainnya atau bahkan Italia, yang menghadapi masalah anggaran dan kredit.BBVA Spanyol menguasai 49,9 persen bank Turki Garanti setelah menaikkan kepemilikannya pada Februari tahun lalu. Garanti Bank, yang memiliki nilai US$ 5 miliar (Rp 73 triliun) untuk BBVA, memiliki aset US$ 84 miliar (Rp 1200 triliun) pada laporan 30 Juni.
Garanti menyumbang sekitar 13 persen dari penghasilan BBVA, menurut Deutsche Bank, yang memperkirakan bahwa skenario terburuk akan menghapus sekitar 12 persen dari ekuitas BBVA.
UniCredit yang merupakan bank terbesar di Italia memiliki sekitar 40 persen dari Yapi Kredi, bank terbesar keempat Turki. Deutsche Bank memperkirakan penurunan 4 persen terhadap ekuitas UniCredit dalam skenario terburuk.
Mata uang Lira Turki [REUTERS]
Bank ING Belanda memiliki anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki di negara ini, yakni ING Turki. Analis Deutsche Bank memperkirakan skenario terburuk akan terdampak sekitar 4 persen untuk nilai buku ING karena hilangnya ekuitas serta pendanaan intra-grup.
JPMorgan Cazenove melihat erosi hingga 87 poin dari modal inti ING di bawah skenario ekstrem karena eksposur pendanaan intragroup yang besar. BNP PARIBAS dari Prancis menguasai 72 persen dari Bank Ekonomi Turki (TEB), sebagian melalui perusahaan lokal.
Analis Deutsche Bank memperkirakan kepemilikan Turki sekitar 2,5 persen dari laba sebelum pajak BNP Paribas. Dalam skenario terburuk, kelompok perbankan akan kehilangan 1,7 persen dari nilai buku bersihnya.
HSBC Grup mengoperasikan HSBC Turki di negara tersebut dan Deutsche Bank memperkirakan akan kehilangan US$ 400 juta (Rp 5.8 triliun) atau 0,3 persen dari total ekuitas grup dalam skenario terburuk.Sementara perusahaan dan investor Asia tetap waspada terhadap krisis Turki karena jatuhnya mata uang liar mengancam keuangan global.
Dilansir dari Asia Nikkei, lira turun lebih dari 20% selama akhir pekan, dan mencatat level terendah baru di Asia pada Senin dari 7,2 lira terhadap dolar AS. Penurunan ini dipicu oleh respon ragu Presiden Tayyip Erdogan terhadap inflasi yang tumbuh dengan cepat.
Bank Sentral Turki [REUTERS]
Kejatuhan lira memacu aksi jual di mata uang negara berkembang lainnya, dengan rupee India jatuh ke rekor terendah. Rupiah Indonesia merosot ke level terendah sejak Oktober 2015.
Saham Asia mengalami tekanan pada Senin 13 Agustus. Semua indeks utama Asia, kecuali untuk VN Vietnam, jatuh karena kekhawatiran bahwa situasi dapat memburuk. Saham AS juga turun, dengan S & P 500 dan Dow jatuh untuk sesi keempat berturut-turut.
Untuk perusahaan-perusahaan Asia yang beroperasi di Turki, situasinya menimbulkan keprihatinan yang signifikan. Karena lokasi geografis dan biaya tenaga kerja yang murah, negara ini telah lama dianggap sebagai gerbang ideal ke pasar Eropa dan telah menarik investasi yang meningkat dari Asia.
Sejauh ini, tidak satu pun dari perusahaan-perusahaan Asia secara terbuka menyatakan keprihatinan, tetapi para investor telah bereaksi dengan cepat. Saham Toyota turun 2,1 persen di Bursa Efek Tokyo, melampaui kejatuhan 2.0 persen dari indeks Nikkei 225.
Di Malaysia, IHH Healthcare turun 7 persen sementara patokan KLCI turun sedikit di atas 1 persen. Di Hong Kong, Cosco Shipping Ports turun 4 persen dan indeks Hang Seng turun 1,2 persen.Banyak perusahaan Turki telah mengambil pinjaman dalam mata uang asing yang akan membuat mereka semakin sulit untuk membayar kembali, sementara bank-bank yang menjamin mereka khawatir tentang dampaknya pada neraca mereka.
Takashi Kodama, kepala penelitian ekonomi di Daiwa Institute of Research, mengatakan bahwa lira murah bisa meningkatkan daya saing, meskipun manfaat apa pun akan tergantung pada penyebaran dampak krisis Turki ke ekonomi Eropa.
Dilaporkan Reuters, 15 Agustus 2018, bank BBVA dari Spanyol, UniCredit dari Italia, BNP Paribas dari Prancis, bank Belanda ING dan HSBC Inggris, adalah yang paling terdampak krisis Turki dan rentan terhadap mata uang lira yang jatuh bebas.
Analis melihat skenario terburuk meskipun masih kecil kemungkinan terjadi, yakni ketika bank-bank ini terpaksa sepenuhnya berhenti beroperasi dan keluar dari Turki.
Tetapi masalah Turki memberi penghindaran risiko di kalangan investor, yang khawatir tentang gejolak pasar keuangan menyebar ke negara-negara berkembang lainnya atau bahkan Italia, yang menghadapi masalah anggaran dan kredit.BBVA Spanyol menguasai 49,9 persen bank Turki Garanti setelah menaikkan kepemilikannya pada Februari tahun lalu. Garanti Bank, yang memiliki nilai US$ 5 miliar (Rp 73 triliun) untuk BBVA, memiliki aset US$ 84 miliar (Rp 1200 triliun) pada laporan 30 Juni.
Garanti menyumbang sekitar 13 persen dari penghasilan BBVA, menurut Deutsche Bank, yang memperkirakan bahwa skenario terburuk akan menghapus sekitar 12 persen dari ekuitas BBVA.
UniCredit yang merupakan bank terbesar di Italia memiliki sekitar 40 persen dari Yapi Kredi, bank terbesar keempat Turki. Deutsche Bank memperkirakan penurunan 4 persen terhadap ekuitas UniCredit dalam skenario terburuk.
Mata uang Lira Turki [REUTERS]
Bank ING Belanda memiliki anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki di negara ini, yakni ING Turki. Analis Deutsche Bank memperkirakan skenario terburuk akan terdampak sekitar 4 persen untuk nilai buku ING karena hilangnya ekuitas serta pendanaan intra-grup.
JPMorgan Cazenove melihat erosi hingga 87 poin dari modal inti ING di bawah skenario ekstrem karena eksposur pendanaan intragroup yang besar. BNP PARIBAS dari Prancis menguasai 72 persen dari Bank Ekonomi Turki (TEB), sebagian melalui perusahaan lokal.
Analis Deutsche Bank memperkirakan kepemilikan Turki sekitar 2,5 persen dari laba sebelum pajak BNP Paribas. Dalam skenario terburuk, kelompok perbankan akan kehilangan 1,7 persen dari nilai buku bersihnya.
HSBC Grup mengoperasikan HSBC Turki di negara tersebut dan Deutsche Bank memperkirakan akan kehilangan US$ 400 juta (Rp 5.8 triliun) atau 0,3 persen dari total ekuitas grup dalam skenario terburuk.Sementara perusahaan dan investor Asia tetap waspada terhadap krisis Turki karena jatuhnya mata uang liar mengancam keuangan global.
Dilansir dari Asia Nikkei, lira turun lebih dari 20% selama akhir pekan, dan mencatat level terendah baru di Asia pada Senin dari 7,2 lira terhadap dolar AS. Penurunan ini dipicu oleh respon ragu Presiden Tayyip Erdogan terhadap inflasi yang tumbuh dengan cepat.
Bank Sentral Turki [REUTERS]
Kejatuhan lira memacu aksi jual di mata uang negara berkembang lainnya, dengan rupee India jatuh ke rekor terendah. Rupiah Indonesia merosot ke level terendah sejak Oktober 2015.
Saham Asia mengalami tekanan pada Senin 13 Agustus. Semua indeks utama Asia, kecuali untuk VN Vietnam, jatuh karena kekhawatiran bahwa situasi dapat memburuk. Saham AS juga turun, dengan S & P 500 dan Dow jatuh untuk sesi keempat berturut-turut.
Untuk perusahaan-perusahaan Asia yang beroperasi di Turki, situasinya menimbulkan keprihatinan yang signifikan. Karena lokasi geografis dan biaya tenaga kerja yang murah, negara ini telah lama dianggap sebagai gerbang ideal ke pasar Eropa dan telah menarik investasi yang meningkat dari Asia.
Sejauh ini, tidak satu pun dari perusahaan-perusahaan Asia secara terbuka menyatakan keprihatinan, tetapi para investor telah bereaksi dengan cepat. Saham Toyota turun 2,1 persen di Bursa Efek Tokyo, melampaui kejatuhan 2.0 persen dari indeks Nikkei 225.
Di Malaysia, IHH Healthcare turun 7 persen sementara patokan KLCI turun sedikit di atas 1 persen. Di Hong Kong, Cosco Shipping Ports turun 4 persen dan indeks Hang Seng turun 1,2 persen.Banyak perusahaan Turki telah mengambil pinjaman dalam mata uang asing yang akan membuat mereka semakin sulit untuk membayar kembali, sementara bank-bank yang menjamin mereka khawatir tentang dampaknya pada neraca mereka.
Takashi Kodama, kepala penelitian ekonomi di Daiwa Institute of Research, mengatakan bahwa lira murah bisa meningkatkan daya saing, meskipun manfaat apa pun akan tergantung pada penyebaran dampak krisis Turki ke ekonomi Eropa.
Credit tempo.co