CB, Teheran – Menteri Luar Negeri Iran,
Mohammed Javad Zarif, mengatakan pembentukan “Iran Action Group” di
kementerian Luar Negeri Amerika Serikat bertujuan untuk menjatuhkan
Republik Islam ini.
Zarif mengatakan upaya Grup Aksi Iran ini bakal gagal. Dia mengatakan ini saat peringatan ulang tahun ke 65 kudeta dukungan AS, yang menjatuhkan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh pada 1953, yang terpilih secara demokratis dan berhaluan nasionalis.
Saat itu, pemerintah AS mendukung naiknya Shah Mohammed Reza Pahlavi
sebagai penguasa Iran. Revolusi Islam Iran pada 1979 menjatuhkan rezim
Shah Iran.
Seperti dilansir Reuters, Zahid mencuit lewat akunnya di Twitter @Jzarif pada Ahad, 19 Agustus 2018.
“65 tahun lalu, AS menjatuhkan pemerintahan demokratis populer yang terpilih yaitu Dr Mossadegh, mengembalikan diktator dan menundukkan Iran selama 25 tahun berikutnya. Sekarang sebuah “Grup Aksi” bermimpi melakukan hal sama lewat tekanan, misinformasi dan hasutan. Tidak bakal terulang lagi.”
AS dan Inggris menggerakkan kudeta terhadap Mossadegh setelah terjadinya nasionalisasi industri minyak Iran, yang sebagian dimiliki investor asing.
Sputnik News melansir pernyataan Zarif ini muncul tiga hari setelah Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengumumkan pembentukan Grup Aksi, yang akan bertanggung jawab untuk mengarahkan, mengkaji ulang, dan mengkoordinasikan semua aspek dari kementerian Luar Negeri terkait Iran. Grup Aksi ini dipimpin oleh Brian Hook, yang menjabat sebagai Direktur Perencanaan Kebijakan dari Kemenlu, dan menjadi utusan khusus untuk Iran.
Menurut Pompeo, grup ini juga bertugas untuk membangun upaya internasional melawan perilaku Iran. Sebelum menjabat di posisi barunya ini, Hook memang bertugas untuk bernegosiasi dengan sekutu Eropa untuk mengubah isi perjanjian nuklir Iran, yang ditolak Presiden AS, Donald Trump.
Hubungan AS dan Iran menegang pasca keputusan Trump untuk keluar dari perjanjian nuklir 2015, yang diteken oleh 6 negara besar seperti Inggris, Prancis, Jerman, Cina, dan Rusia. Keputusan Trump ini bertentangan dengan lima negara penandatangan lainnya, yang tetap mendukung isi perjanjian nuklir itu.
Pada 7 Agustus 2018, AS mengumumkan sanksi pertama untuk Iran, yang menargetkan pembelian dolar AS, perdagangan dengan emas dan logam, serta transaksi terkait mata uang nasional. AS bakal meluncurkan sanksi berikutnya pada 4 November 2018 terkait pembatasan ekspor minyak Iran dan energi.
Ketua DPR Iran, Ali Larijani, mengatakan kudeta terhadap PM Mossadegh merupakan contoh sejarah terbaik yang menunjukkan AS tidak bisa dipercaya.
“Beraninya Anda bicara soal kebebasan bangsa Iran dengan rekam jejak gelap Anda pada kudeta 19 Agustus 1953, lalu menunjuk rezim totaliter boneka,” kata Larijani seperti dilansir kantor berita IRNA menunjuk kepada masa pemerintahan rezim Shah Iran.
“Amerika mengenakan sanksi tapi mereka mengklaim mendukung kebebasan, HAM, dan keamanan global dan regional,” lanjut Larijani.
Menurut Reuters, kudeta dukungan Inggris dan Amerika pada 1953 ini menjadi luka yang tidak sembuh dalam hubungan Iran dengan Barat. Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, mengakui peran AS dalam upaya kudeta itu pada 2000 dan menyebutnya sebagai ‘kemunduran bagi perkembangan politik Iran”.
Sejak jatuhnya Shah Iran, AS dan Iran tidak memiliki hubungan diplomatik selama bertahun-tahun. Hubungan kedua negara melunak pada 2015 saat Presiden Barack Obama dan lima pemimpin dunia lainnya menandatangani perjanjian nuklir Iran. Namun, hubungan ini kembali memanas sejak Trump menyatakan keluar dari perjanjian itu.
Zarif mengatakan upaya Grup Aksi Iran ini bakal gagal. Dia mengatakan ini saat peringatan ulang tahun ke 65 kudeta dukungan AS, yang menjatuhkan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh pada 1953, yang terpilih secara demokratis dan berhaluan nasionalis.
Seperti dilansir Reuters, Zahid mencuit lewat akunnya di Twitter @Jzarif pada Ahad, 19 Agustus 2018.
“65 tahun lalu, AS menjatuhkan pemerintahan demokratis populer yang terpilih yaitu Dr Mossadegh, mengembalikan diktator dan menundukkan Iran selama 25 tahun berikutnya. Sekarang sebuah “Grup Aksi” bermimpi melakukan hal sama lewat tekanan, misinformasi dan hasutan. Tidak bakal terulang lagi.”
AS dan Inggris menggerakkan kudeta terhadap Mossadegh setelah terjadinya nasionalisasi industri minyak Iran, yang sebagian dimiliki investor asing.
Sputnik News melansir pernyataan Zarif ini muncul tiga hari setelah Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengumumkan pembentukan Grup Aksi, yang akan bertanggung jawab untuk mengarahkan, mengkaji ulang, dan mengkoordinasikan semua aspek dari kementerian Luar Negeri terkait Iran. Grup Aksi ini dipimpin oleh Brian Hook, yang menjabat sebagai Direktur Perencanaan Kebijakan dari Kemenlu, dan menjadi utusan khusus untuk Iran.
Menurut Pompeo, grup ini juga bertugas untuk membangun upaya internasional melawan perilaku Iran. Sebelum menjabat di posisi barunya ini, Hook memang bertugas untuk bernegosiasi dengan sekutu Eropa untuk mengubah isi perjanjian nuklir Iran, yang ditolak Presiden AS, Donald Trump.
Hubungan AS dan Iran menegang pasca keputusan Trump untuk keluar dari perjanjian nuklir 2015, yang diteken oleh 6 negara besar seperti Inggris, Prancis, Jerman, Cina, dan Rusia. Keputusan Trump ini bertentangan dengan lima negara penandatangan lainnya, yang tetap mendukung isi perjanjian nuklir itu.
Pada 7 Agustus 2018, AS mengumumkan sanksi pertama untuk Iran, yang menargetkan pembelian dolar AS, perdagangan dengan emas dan logam, serta transaksi terkait mata uang nasional. AS bakal meluncurkan sanksi berikutnya pada 4 November 2018 terkait pembatasan ekspor minyak Iran dan energi.
Ketua DPR Iran, Ali Larijani, mengatakan kudeta terhadap PM Mossadegh merupakan contoh sejarah terbaik yang menunjukkan AS tidak bisa dipercaya.
“Beraninya Anda bicara soal kebebasan bangsa Iran dengan rekam jejak gelap Anda pada kudeta 19 Agustus 1953, lalu menunjuk rezim totaliter boneka,” kata Larijani seperti dilansir kantor berita IRNA menunjuk kepada masa pemerintahan rezim Shah Iran.
“Amerika mengenakan sanksi tapi mereka mengklaim mendukung kebebasan, HAM, dan keamanan global dan regional,” lanjut Larijani.
Menurut Reuters, kudeta dukungan Inggris dan Amerika pada 1953 ini menjadi luka yang tidak sembuh dalam hubungan Iran dengan Barat. Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, mengakui peran AS dalam upaya kudeta itu pada 2000 dan menyebutnya sebagai ‘kemunduran bagi perkembangan politik Iran”.
Sejak jatuhnya Shah Iran, AS dan Iran tidak memiliki hubungan diplomatik selama bertahun-tahun. Hubungan kedua negara melunak pada 2015 saat Presiden Barack Obama dan lima pemimpin dunia lainnya menandatangani perjanjian nuklir Iran. Namun, hubungan ini kembali memanas sejak Trump menyatakan keluar dari perjanjian itu.
Credit tempo.co