BANDUNG - Guna menjamin kemandirian teknologi
militer, Kementerian Pertahanan dan TNI tengah berupaya mengembangkan
minimum essential force (MEF) 2024 atau kekuatan pokok minimal
pertahanan dalam proses modernisasi Alutsista.
Asisten Perencanaan Umum (Asrenum) Panglima TNI, Laksda Agung Pramono menegaskan, sebuah negara akan memiliki militer kuat apabila didukung industri pertahanan. Kendati demikian, Agung membeberkan kendala dalam mencapai cita-cita tersebut, di antaranya, aspek kebijakan. Terlebih saat ini masih terjadi hambatan antara pengguna (TNI) dengan industri pertahanan.
"Masih terhambatnya sinkronisasi kebutuhan alat perlengkapan pertahanan dan keamanan antara user dan industri pertahanan," ujar Agung di kantor PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/2/2016).
Jenderal TNI AL bintang dua itu menambahkan, pemerintah juga perlu menyelesaikan aturan pelaksanaan dari UU nomor 16 tahun 2012 tentang Pertahanan. Agung menyebut, terdapat dua Perpres yang menjadi tugas pemerintah yaitu Perpres Pengelolaan Industri Pertahanan serta Perpres Program Nasional Pesawat Tempur dan Kapal Selam. "Lalu satu ketetapan KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) sebagai lead integrator produk alutsista," imbuhnya.
Kendala selanjutnya ialah adanya kesenjangan antara fungsi kebijakan dan implementasi. Hal tersebut lantaran belum optimalnya koordinasi antara lembaga terkait dengan kemandirian industri pertahanan.
"Lalu di aspek manajemen, bentuk organisasi industri pertahanan belum menndukung kemandirian, selain industri alat utama, ada industri komponen utama dan penunjang, industri bahan baku, serta industri komponen pendukung," sambungnya.
Terakhir, Agung menyebut aspek penelitian dan pengembangan teknolog juga masih menjadi tugas pemerintah. Hal tersebut lantaran belum optimalnya dukungan pendanaan serta belum sinerginya lembaga penelitian dan pengembangan dengan industri pertahanan. "Litbang pihak swasta belum terkoordinasi dengan baik," tukasnya.
Asisten Perencanaan Umum (Asrenum) Panglima TNI, Laksda Agung Pramono menegaskan, sebuah negara akan memiliki militer kuat apabila didukung industri pertahanan. Kendati demikian, Agung membeberkan kendala dalam mencapai cita-cita tersebut, di antaranya, aspek kebijakan. Terlebih saat ini masih terjadi hambatan antara pengguna (TNI) dengan industri pertahanan.
"Masih terhambatnya sinkronisasi kebutuhan alat perlengkapan pertahanan dan keamanan antara user dan industri pertahanan," ujar Agung di kantor PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/2/2016).
Jenderal TNI AL bintang dua itu menambahkan, pemerintah juga perlu menyelesaikan aturan pelaksanaan dari UU nomor 16 tahun 2012 tentang Pertahanan. Agung menyebut, terdapat dua Perpres yang menjadi tugas pemerintah yaitu Perpres Pengelolaan Industri Pertahanan serta Perpres Program Nasional Pesawat Tempur dan Kapal Selam. "Lalu satu ketetapan KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) sebagai lead integrator produk alutsista," imbuhnya.
Kendala selanjutnya ialah adanya kesenjangan antara fungsi kebijakan dan implementasi. Hal tersebut lantaran belum optimalnya koordinasi antara lembaga terkait dengan kemandirian industri pertahanan.
"Lalu di aspek manajemen, bentuk organisasi industri pertahanan belum menndukung kemandirian, selain industri alat utama, ada industri komponen utama dan penunjang, industri bahan baku, serta industri komponen pendukung," sambungnya.
Terakhir, Agung menyebut aspek penelitian dan pengembangan teknolog juga masih menjadi tugas pemerintah. Hal tersebut lantaran belum optimalnya dukungan pendanaan serta belum sinerginya lembaga penelitian dan pengembangan dengan industri pertahanan. "Litbang pihak swasta belum terkoordinasi dengan baik," tukasnya.
Credit Okezone