Politisi Sunni Libanon, Saad
Al-Hariri, mengatakan bahwa negaranya juga tidak akan menjadi “provinsi
Iran” yang bermusuhan dengan Arab Saudi. (Reuters/Hasan Shaaban)
Mantan perdana menteri Libanon itu berbicara di Beirut, Minggu (14/2), pada peringatan 11 tahun pembunuhan ayahnya, Rafik al-Hariri. Ini merupakan kali ketiga kunjungannya kembali ke Libanon sejak aliansi yang didominasi oleh Hizbullah menggulingkan kabinetnya pada 2011.
Tensi antara Arab Saudi dan Iran, yang memiliki pengaruh kuat di Libanon, telah mempengaruhi konflik di Timur Tengah, termasuk di Suriah.
Sementara Hizbullah, yang Syiah dan didukung oleh Iran, berperang bersama tentara Suriah dalam mendukung Presiden Bashar al-Assad dalam melawan kelompok pemberontak yang telah menerima dukungan dari Arab Saudi, Turki, Amerika Serikat, dan negara-negara lain.
Lima anggota Hizbullah sendiri telah didakwa oleh pengadilan internasional atas pembunuhan Rafik al-Hariri pada 2005.
Hizbullah membantah terlibat dalam pembunuhan yang telah mendorong Libanon ke ambang perang saudara itu. Pembunuhan itu memperdalam perpecahan sektarian dalam politik Libanon yang masih berengaruhi hingga hari ini.
Dia secara terbuka menegaskan untuk pertama kalinya bahwa akhir tahun lalu ia mengajukan proposal kepada Suleiman Franjieh, sekutu Hizbullah dan teman Assad, untuk mengisi jabatan presiden yang telah kosong selama 21 bulan.
Tapi dia mempertanyakan apakah rival politiknya benar-benar ingin mengakhiri krisis yang mencerminkan kelumpuhan lebih luas dalam pemerintahan Lebanon. Inisiatifnya belum memperoleh traksi. Hizbullah sendiri memilii kandidat lain, Michel Aoun.
"Kami tulus. Kami ingin presiden bagi republik ini. Kami ingin menyudahi vakum. Kami telah membayar akibatnya di rumah dan di luar negeri," kata Hariri.
Credit CNN Indonesia