JAKARTA, CB - Perdagangan intra-ASEAN menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia.
Dengan pasar fantastis sekitar 600 juta penduduk, ditambah integrasi ekonomi dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pemerintah seharusnya menempatkan perdagangan di kawasan ini sebagai prioritas.
Sayangnya, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, pemerintah sampai awal 2016 ini pun belum serius mempersiapkan diri menghadapi kompetisi bebas ASEAN.
"Kita punya potensi besar di pasar ASEAN. Tapi yang dikejar malah e-commerce AS dan sebagainya. Ya kita tidak akan pernah mengalahkan negara pesaing di ASEAN," ucap Enny saat dihubungi kompas.com di Jakarta, Senin (15/2/2016).
Kurangnya daya saing Indonesia di ASEAN, terindikasi dari neraca perdagangan dengan Thailand yang lagi-lagi mencetak defisit hingga 328,6 juta dollar AS.
Enny mengemukakan, memang setahun terakhir ini perdagangan dengan Thailand selalu mencetak defisit.
Padahal, di kawasan ASEAN Indonesia merupakan negara dengan pasar paling besar, lebih dari 200 juta penduduk.
Atas dasar ini, Enny melihat ada kemungkinan Thailand bisa menjadi juara di MEA.
Lebih lanjut dia menerangkan, penetrasi barang-barang produksi Thailand ke negara-negara di kawasan ASEAN bisa sangat optimal lantaran pengelolaan kawasan industri mereka sangat baik.
Tapi sebetulnya, imbuh Enny, baik Thailand maupun Malaysia awalnya meniru Indonesia dalam pengembangan kawasan industri.
"Mereka niru kita, yang formatnya Batam, waktu awal-awal Free Trade Zone (FTZ)," ucap Enny.
Sayangnya, kata Enny, format yang sudah baik di Batam itu tidak dibarengi dengan penambahan kapasitas dan perbaikan infrastruktur.
Hal inilah yang membuat biaya untuk bongkar-muat di Batam pun juga relatif sama mahalnya dengan di luar FTZ.
"Ditambah lagi dualisme kewenangan, ada dewan kawasan, ada badan pengusahaan Batam. Ini membuat ribet. Sehingga akhirnya banyak yang relokasi ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia," jelas Enny.
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir neraca perdagangan RI Januari 2016 hanya mencetak surplus 50,6 juta dollar AS.
Surplus neraca perdagangan terjun bebas dibandingkan Januari 2015 yang mencapai sebesar 632,3 juta dollar AS.
Sementara dengan negara-negara kawasan ASEAN, neraca perdagangan Indonesia juga mengalami defisit sebesar 72,1 juta dollar AS.
Defisit terbesar terjadi pada perdagangan dengan Thailand sebesar 328,6 juta dollar AS.
Adapun dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perdagangan RI masih mencetak surplus.
"Di MEA ini, lawan terberat kita adalah Thailand," ucap Kepala BPS Suryamin.
Dengan pasar fantastis sekitar 600 juta penduduk, ditambah integrasi ekonomi dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pemerintah seharusnya menempatkan perdagangan di kawasan ini sebagai prioritas.
Sayangnya, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, pemerintah sampai awal 2016 ini pun belum serius mempersiapkan diri menghadapi kompetisi bebas ASEAN.
"Kita punya potensi besar di pasar ASEAN. Tapi yang dikejar malah e-commerce AS dan sebagainya. Ya kita tidak akan pernah mengalahkan negara pesaing di ASEAN," ucap Enny saat dihubungi kompas.com di Jakarta, Senin (15/2/2016).
Kurangnya daya saing Indonesia di ASEAN, terindikasi dari neraca perdagangan dengan Thailand yang lagi-lagi mencetak defisit hingga 328,6 juta dollar AS.
Enny mengemukakan, memang setahun terakhir ini perdagangan dengan Thailand selalu mencetak defisit.
Padahal, di kawasan ASEAN Indonesia merupakan negara dengan pasar paling besar, lebih dari 200 juta penduduk.
Atas dasar ini, Enny melihat ada kemungkinan Thailand bisa menjadi juara di MEA.
Lebih lanjut dia menerangkan, penetrasi barang-barang produksi Thailand ke negara-negara di kawasan ASEAN bisa sangat optimal lantaran pengelolaan kawasan industri mereka sangat baik.
Tapi sebetulnya, imbuh Enny, baik Thailand maupun Malaysia awalnya meniru Indonesia dalam pengembangan kawasan industri.
"Mereka niru kita, yang formatnya Batam, waktu awal-awal Free Trade Zone (FTZ)," ucap Enny.
Sayangnya, kata Enny, format yang sudah baik di Batam itu tidak dibarengi dengan penambahan kapasitas dan perbaikan infrastruktur.
Hal inilah yang membuat biaya untuk bongkar-muat di Batam pun juga relatif sama mahalnya dengan di luar FTZ.
"Ditambah lagi dualisme kewenangan, ada dewan kawasan, ada badan pengusahaan Batam. Ini membuat ribet. Sehingga akhirnya banyak yang relokasi ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia," jelas Enny.
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir neraca perdagangan RI Januari 2016 hanya mencetak surplus 50,6 juta dollar AS.
Surplus neraca perdagangan terjun bebas dibandingkan Januari 2015 yang mencapai sebesar 632,3 juta dollar AS.
Sementara dengan negara-negara kawasan ASEAN, neraca perdagangan Indonesia juga mengalami defisit sebesar 72,1 juta dollar AS.
Defisit terbesar terjadi pada perdagangan dengan Thailand sebesar 328,6 juta dollar AS.
Adapun dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perdagangan RI masih mencetak surplus.
"Di MEA ini, lawan terberat kita adalah Thailand," ucap Kepala BPS Suryamin.
Credit KOMPAS.com