Djarot menjelaskan, pengembangan thorium harus dimulai dari uranium terlebih dahulu. “Karena thorium tidak dapat berdiri sendiri,” kata Djarot dalam konferensi pers di Gedung BATAN, Jakarta Selatan, Kamis (4/2).
Pemanfaatan thorium menjadi energi listrik itu masih membutuhkan waktu lama. Hal ini terbukti masih belum ada negara satupun yang mengaplikasikan secara penuh thorium. Meski begitu, penelitian terhadap thorium sudah terjadi di beberapa negara.
Karena situasi demikian, Djarot berpendapat, saat ini Indonesia memang masih belum bisa menerapkan thorium sebagai energi listrik. Untuk itu, pihaknya akan lebih memprioritaskan pengembangan uranium terlebih dahulu.
Di samping itu, kata Djarot, dana untuk penelitian dan pengembangan thorium juga masih kekurangan. Sekitar Rp 3,9 Triliun untuk penelitian dari awal hingga akhir. Sementara untuk pendataan potensinya saja bisa menghabiskan dana sekitar tiga miliar rupiah.
Sementara Anggota International Atomic Energy Agency (IAEA), Matthias Krause, mengatakan kelimpahan thorium memang lebih banyak tiga sampai empat kali lipat dibandingkan uranium. Dari segi fisiknya pun lebih baik karena titik lebarnya lebih tinggi. “Memang ada sisi masalah kimianya, tapi tidak telalu berpengaruh,” ujar Matthias.
Uranium merupakan unsur yang dapat membelah diri setelah bereaksi nuklir. Reaksi uranium akan menghasilkan plutonium, yakni hal yang biasa digunakan dalam dunia persenjataan.
Sementara itu, thorium memiliki sifat yang tidak dapat membelah diri. Thorium hanya akan membelah diri apabila direaksikan dengan neutron terlebih dahulu. Karena tidak bisa membelah diri, maka ini berarti tidak dapat menghasilkan plutonium. Dengan kata lain penggunaannya aman karena tidak ada pemanfaatan untuk persenjataan.
Credit REPUBLIKA.CO.ID