Rabu, 22 April 2015

R-80, Pesawat Buatan Indonesia 'Kejutan' untuk Dunia?


CB, Jakarta - Mesin Allison menderu kencang, 2 baling-baling berputar cepat, sebuah pesawat putih, dengan warna biru di perutnya, mengambil posisi take off setelah berputar 180 derajat di ujung landasan. Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat diliputi suasana tegang kala itu. Sejumlah mobil pemadam kebakaran disiagakan, mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.
Selang beberapa menit, burung besi dengan berat kosong 13.660 kg pun melaju sangat kencang, mendongak, dan kemudian mengangkasa dengan anggun. Dipandu CN-235 yang lepas landas lebih dulu.
Pesawat itu adalah N-250 Gatotkaca. Namanya diambil dari tokoh pewayangan yang konon punya kesaktian luar biasa: otot kawat balung wesi (berotot kawat dan bertulang besi). Ia juga mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap.
Dan ketika Sang Gatotkaca mengangkasa di atas Kota Bandung, ketegangan sirna. Kegelisahan orang-orang yang ada di sana berganti senyuman. Semua bertepuk tangan. Tak sedikit yang mengucurkan air mata.

Dari darat, Presiden Soeharto kemudian berbincang melalui radio komunikasi dengan pilot N-250 yang sedang mengudara. Di sampingnya, ada Dirut PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Ia orang yang paling lega saat itu. Prediksi seujumlah pakar yang menyebut N-250 tak mampu terbang, dipatahkan telak.
Itulah momentum bersejarah penerbangan perdana pesawat ‘asli’ buatan anak bangsa, yang melalui proses panjang sejak tahun 1985.
Peristiwa terbang perdana pesawat N-250 pada 10 Agustus 1995 dijadikan peringatan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.
Sayangnya, keberhasilan ini tidak berlangsung lama. Proyek pesawat N-250 terhenti setelah krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998. Kini pesawat yang pernah menjadi kebanggan ini ‘mangkrak’ di area PT Dirgantara Indonesia (PT DI), yang dulunya bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Sang primadona dirgantara mungkin tak akan pernah bangkit.
Namun, kini, muncul pesawat-pesawat berlabel made in Indonesia. Memberi sepercik harap industri kedirgantaraan nusantara akan kembali bangkit. Salah satunya, Regio Prop 80 (R-80).

Industri Dirgantara RI Bangkit?
Dua puluh tahun berlalu sejak penerbangan perdana N-250. Pada Senin 13 April 2015, BJ Habibie muncul di ajang National Innovation Forum (NIF) 2015 di Puspiptek, Serpong, Tangerang, Banten.
Di depan Presiden Jokowi, ia mempresentasikan salah satu produk pesawatnya yang diberi label R-80. Pesawat yang diklaim bakal lebih hebat dari N-250.
Melalui PT Ragio Aviasi Industri (RAI), produsen R-80, Habibie mengatakan, pesawat terbarunya tak membutuhkan waktu lama untuk bisa mengudara di langit Nusantara. Tak seperti N-250 yang ‘mati suri’.
Menurut Habibie, pesawat itu merupakan generasi baru pesawat berpenumpang 80-90 orang berkecepatan tinggi dan merupakan regional turboprop aircraft.
R-80 juga dinilai unggul karena biaya operasinya yang paling rendah di kelasnya, menawarkan keandalan, sistem avionik kelas lanjut yang memungkinkan tingkat keselamatan semakin tinggi, kenyamanan bagi penumpang, hingga ramah lingkungan.
Presiden ke-3 RI itu menyebut, dukungan dari pemerintah mutlak diperlukan. Sebab, investor dari dalam dan luar negeri baru mau berinvestasi ke perusahaannya jika ada dukungan dari negara. "Pesawat ini baru akan mengudara tahun 2019. Sudah dua tahun, kita sudah jauh bekerjanya," kata Habibie.
Pria yang pernah menjadi petinggi perusahaan pesawat Jerman,  Messerschmitt-Bölkow-Blohm pernah menyebut, R-80 akan menjadi kejutan. Tak hanya bagi Indonesia, tapi juga dunia. "It's a surprise, you'll see it," kata Habibie pada 2013 lalu.

Ditemui di tempat terpisah, Komisaris PT RAI, Ilham Habibie menambahkan, sejauh ini pemerintah sudah menunjukan bukti nyata mendukung program ini. Namun, ia belum berani memberikan detail kerjasamanya. Masih terlalu dini.
"Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa R-80 akan menjadi program nasional. Tapi memang kita memiliki beberapa ide, tapi belum bisa saya sebutkan di sini," ujar Ilham dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com, Kamis 16 April 2015.
Dukungan pemerintah, kata dia, bisa berupa pendanaan atau fasilitas tertentu seperti pengurangan pajak. "Banyak sekali instrumen-instrumen yang akan sangat bermanfaat."


Sementara itu, pengamat Aviasi UGM, Arista Atmadja mengatakan, pemerintah harus belajar dari masa lalu. Ia menilai, penguasa sebelumnya kurang perhatian dengan sektor industri kedirgantaraan.
Akhirnya, banyak anak bangsa yang cerdas memilih mengembangkan pesawat di negeri lain. Yang akhirnya mempengaruhi perkembangan industri pesawat di dalam negeri. “SDM kita di PT Dirgantara banyak diambil Boeing mereka lari ke Amerika. Kan sayang insinyur kita ke sana semua,” kata dia.
Arista menambahkan, dari segi pendidikan, di Indonesia sejatinya sudah mumpuni. Di Institut Teknologi Bandung (ITB) ada jurusan teknik penerbangan. Lulusannya sudah terbiasa menangani penerbangan sejak 1979.
“Namun,  karena industri penerbangan kurang dukungan yang serius mereka pada kabur. Bahkan para insinyur kita terlibat dalam pembuatan Boeing 787 Dreamliner. Padahal, mereka adalah aset bangsa," ujar Arista.

Dosen UGM itu berpendapat, R-80 adalah pesawat ideal. Juga kuat dalam bisnis pesawat di kelas 80 seat atau tempat duduk.
Pesawat tanggung ini menurut Arista hampir tidak ada yang menyaingi. Mungkin hanya Embraer (Brasil) dan Bombardier CRJ (Kanada), atau ATR (Prancis) -- para 'raksasa' yang bermain di kelas di bawah 100 seat.
Menurut Arista, tingkat persaingan yang dihadapi R-80 kurang ketat dan kompetitif. Pesawat itu juga tak jadi kekhawatiran dan pressure untuk produsen kelas besar seperti Eropa dan Amerika. Airbus dan Boeing.
"Kita harus waspadai bisnis manufaktur pesawat. Ini bisnis prestise dan membawa nama baik negara,” kata dia. Butuh upaya luar biasa untuk bersaing dengan Boeing atau Airbus. Jika tak mampu, bisa-bisa justru mati.


Pesawat ‘Bandel’ R-80
R-80 merupakan pesawat terbang komersial berjenis turboprop yang bisa mengangkut 80-100 orang. Memiliki kecepatan maksimal 330 knots (378 mph, 605 km/h), R-80 dapat menempuh jarak tempuh kurang dari 600 km.
Komisaris PT Regio Aviasi Industri, Ilham Habibie ‎menerangkan sejumlah keunggulan lain pesawat R-80. Salah satunya, "Ini pesawat bandel," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis 16 April 2015.

‎Kenapa disebut bandel, Ilham membeberkan kelebihan pesawat dengan mesin turboprop dibanding jet. Yakni mampu take off dan landing di landasan pacu yang pendek dan kondisi berbatu kerikil.
Dengan mesin turboprop, take off atau landing di landasan yang banyak batu kerikil tak akan berujung bahaya. Sebab, batu-batu kecil itu tidak akan tersedot ke dalam mesin. "Kalau mesin jet itu, bahaya, batu-batu kerikilnya bisa tersedot ke dalam mesin," ujar Ilham.

Tak cuma itu, R80 disebut Ilham juga merupakan pesawat yang lebih besar dan luas dari pesawat sejenis lainnya. R80 akan didesain memiliki 80 kursi penumpang, engine termutakhir, ruang kabin pilot yang lebih luas.

"Lalu bahan bakarnya lebih irit. Tempat duduk pilot juga lebih luas. Kita juga pakai sistem yang mendukung dengan komputer," kata Ilham.
Menurut putra sulung B. J. Habibie ini, desain  yang diusung R-80 berbeda dengan N-250. Desain ini dikerjakan oleh puluhan desainernya  yang berpengalaman baik di dalam maupun luar negeri menggunakan software CATIA atau Dassault Systemes di fasilitas milik PT DI.
"Secara prinsip memang mirip tapi semuanya desain baru. Yang lebih penting pengalaman dari N-250. Karena ahlinya berasal dari program N-250. R-80 adalah kesempatan sekarang atau tidak sama sekali karena orang-orangnya  sudah tua dan hampir pensiun,"imbuhnya.
Ilham menuturkan, saat ini program R-80 sudah masuk di tahap desain pendahuluan atau preliminary design. Setelah selesai, akan masuk dalam tahap design rinci atau detail design. "Preliminary design dimaksudkan untuk membuat desain itu utuh dari ujung ke ujung,” kata Ilham.
Meski belum masuk detail design, Ilham menjamin pesawat yang dikerjakan pihaknya memiliki banyak keunggulan dibanding pesawat sejenis. Salah satunya adalah teknologi "Fly by Wire" atau sistem yang membatasi gerakan pesawat udara melalui komputer elektronik atau Flight Control Computer (FCC).

"Jadi kita untuk menggunakan sistem pengendalian pesawat terbang, kita juga menggunakan teknologi mutakhir yaitu adalah kita pakai sistem yang didukung oleh komputer.”
Menurut pengamat aviasi UGM, Arista Atmadja, R-80 cocok untuk kondisi Indonesia yang memiliki belasan ribu pulau. Apalagi, tidak perlu landasan pacu yang panjang untuk menerbangkannya.

"Ia bisa landing di landasan pacu yang pendek 1.900 meter cukup lah. Penumpang kapasitas 80 juga cocok di Indonesia yang negara kepulauan dan memiliki 237 bandara" bebernya.

Dia menambahkan, R-80 bisa memenuhi pangsa pasar domestik walaupun market internasional cukup bagus seperti kawasan Asia dan Asia Tenggara: Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia dan Thailand.


Tantangan Besar
Program R-80 bukan mudah dilakukan. Selain pendanaan, tantangan yang harus dihadapi adalah masalah Sumber Daya Manusia (SDM)  dan fasilitas. Untuk itu, PT Ragio Aviasi Industri (RAI) mengajak PT Dirgantara Indonesia untuk turut serta dalam program ini.
"Pertama, pendanaan selalu menjadi tantangan, tapi kita selalu menemukan solusi tapi boleh dikatakan itu adalah salah satu tantangan. Kedua SDM, kita memang punya secukupnya tapi memang kita punya beberapa yang harus didorong,” kata Ilham Habibie.
PT RAI, tambah Ilham, mempercayakan PT DI, salah satu perusahaan BUMN Industri Strategis, untuk mengerjakan beberapa bagian pesawat. Namun, untuk detailnya Ilham belum bisa berkomentar banyak. Pembicaraan antar kedua pihak telah dilakukan.
"Dalam kasus R-80 ini mereka (PT DI) partner kita. Ada beberapa pekerjaan kita sub-con kepada mereka dari segi engineering saat ini. Ke depan, kita harapkan dia bisa membuat paling tidak sebagian daripada program ini dari segi fuselage dan juga wings-nya," cakapnya.

Sedangkan, dari pihak PT Dirgantara Indonesia mengaku siap membantu. Namun, mereka akan mengkaji mulai masalah bisnis plan, market analisis, maupun perkembangan apa yang telah dihasilkan.
“Secara program kita kalau dilihat 2015-2016 itu sudah full, sudah terstruktur. Jadi kita lagi melihat lagi program ini. Saat ini kita masih sebatas diskusi, kita harus melihat juga bagaimana kapasitas PT DI, bantuan apa yg bisa diberikan PT DI, bagaimana positioning-nya, ini belum ada keputusan masih dalam ranah diskusi.,” ucap Ade Yuyu Wahyuna, Kepala Pengembangan Bisnis PT. DI saat dihubungi  tim Liputan6.com.
Ditambahkan Ade, sebagai perusahaan negara yang berkecimpung di industri dirgantara, pihaknya juga akan membicarakan masalah pendanaan hingga kaitannya dengan pemerintah. Pembicaraan panjang pun akan dilakukan PT RAI dan PT DI agar program ini bisa maksimal.
 “Memang kita harus duduk lagi untuk membicarakan pengembangan bisnis seperti apa? Kaitan dengan pemerintah, masalah pendanaanya jadi masih kasar belum berbentuk. Tapi kita sudah mulai berdiskusi, tapi belum berbentuk kesepakatan,” kata dia.
Komponen Dalam Negeri
Untuk menjadi pesawat transport nasional, selain desain diperlukan juga komponen-komponen yang diproduksi di dalam negeri. Peneliti Utama Pustekbang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Sulistyo Atmadi berharap kehadiran pesawat nasional juga mendatangkan industri-industri komponen pesawat di dalam negeri.
Ia berharap, siapa pun yang terlibat di dalam program pesawat nasional jangan pernah melupakan kemajuan industri manufaktur di dalam negeri.
“Pesawat transport nasional adalah pesawat yang semakin banyak menggunakan komponen lokal, itu harapan saya seperti itu. Memang  masih sulit untuk total, tapi mudah-mudahan komponen-komponen lainnya sudah lokal. Jadi jangan terlalu banyak komponen dari luar negeri, karena nantinya malah bukan pesawat nasional ya,” ungkap Sulistyo.
PT Infoglobal, perusahaan dalam negeri yang berkecimpung di industri avionik, mengaku siap jika nantinya mereka dipilih untuk membantu program ini. Saat ini, beberapa hasil produksinya sudah digunakan TNI di pesawat militer.
“Kami ini dalam rangka mau mengundang Pak Habibie agar beliau bisa melihat workshop kami di Surabaya sehingga beliau mau melihat langsung bagaimana kompetensi kami di bidang avionik,” kata dia.
“Kami satu-satu di dalam negeri yang sudah mendesain, manufaktur avionik pesawat tempur,”tutur Ahmad Fauzi, Marketing Manager PT. Infoglobal kepada Liputan6.com.

Menurut Ahmad, avionik pesawat militer dengan pesawat sipil relatif sama. Namun, saat ini pihaknya belum masuk ke pasar sipil karena terkendala masalah sertifikasi.
Ia pun berharap pemerintah membantu agar program pesawat nasional bisa sempurna dengan produk dalam negeri. “Pesawat sipil dan tempur itu avioniknya relatif sama, hanya berbeda regulasi dan sertifikasi. Sertifikasi di dunia selama ini masih didominasi FAA dari Amerika dan EASA dari Eropa. Di negeri kita sampai saat ini belum ada lembaga pemerintah yang membidangi itu. Bisa mensertifikasi dalam negeri. Makanya kami ingin sekali bersama-sama mencari solusi agar sertifikasi tidak tergantung luar,” cakapnya.
 “Kalau pemerintah berkenan membantu kita sertifikasi dalam negeri maka cita-cita itu bisa terwujud. Seperti yang dilakukan oleh China, yang tidak mau bergantung kepada 2 lembaga sertifikasi tadi sehingga pasar pesawat sipil tidak harus dipegang dua raksasa itu. Kebutuhan dalam negeri kita kan cukup besar, kenapa harus dari luar,”
Sementara itu, menurut Ilham kehadiran komponen dalam negeri sangat dimungkinkan di tempatkan di pesawat  R-80. Namun, semua akan melewati seleksi karena berkaitan dengan masalah tanggung jawab perusahaan.
“Kita adalah project owner dari pesawat R-80 ini. Kalau seandainya ada bagian-bagian belum bisa kita buat dari dalam negeri tapi katakanlah dalam waktu 5-10 tahun sudah ada supplier dari dalam negeri jadi kita bisa merekomendasikan ini yang akan kita gunakan bukan dari luar negeri lagi,” tutup Ilham.
Selain R-80, pemerintah telah  menetapkan N-219 dan N-245 sebagai program pesawat transport nasional. Pesawat ini dikembangkan oleh PT Dirgantara Indonesia dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.




Credit  Liputan6.com