Bung Hatta (kiri). (MI/M Soleh)
“Dalam kesehariannya, Ayah (Mohammad Hatta) itu rapi, tertib, dan tidak berantakan,” ujar putri bungsu Mohammad Hatta, Halida Nuriah Hatta kepada Telusur Metrotvnews.com di Jalan Diponegoro No 57, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/7/2016) beberapa pekan lalu. Oleh karenanyalah, maka tak heran jika sosok dengan nama lahir Mohammad Athar ini menjadi semacam muara bagi kawan-kawan seperjuangannya. Hatta banyak dicari dan dikagumi orang sebagai tempat mencurahkan gagasan, meminta pertimbangan, bahkan menjadi tempat keluh-kesah para pendiri Republik di saat Indonesia mulai memasuki babak baru di dunia perpolitikan.
“Bung Hatta dikenal pandai dalam memisahkan urusan pribadi dan kepentingan negara,” ujar Halida.
Pendamping setia Bung Besar
Mereka pertama kali jumpa pada 1923. Soekarno dan Hatta sama-sama sedang bergerak dan berjuang untuk mewujudkan bangsa yang berdaulat, Indonesia.
Kisah perjumpaan diawali dengan rasa saling kagum di antara keduanya. Soekarno di Hindia Belanda, sementara Hatta yang masih menempuh kuliah di Netherland itu saling mencari tahu. Meski begitu, pertemuan keduanya baru terjadi ketika Hatta memutuskan untuk pulang ke Tanah Air. Pada 1932, Hatta menyusul ke Bandung, menemui sosok yang kelak sehidup semati membangun negeri.
Keduanya dinilai sama-sama memiliki karakter yang kuat. Soekarno yang berani dan menggelora berhadapan dengan pria berkacamata yang mengukur segala sesuatu dengan konsep yang tertib, terstruktur, juga cermat. Maka wajar pula, jika di awal perjumpaan itu, pasangan yang nantinya dikenal dengan sebutan Dwitunggal ini langsung diwarnai perbedaan pendapat dan pandangan dalam prinsip politik.
Perbedaan cara pandang yang paling mecuat adalah di kala keduanya berbeda tafsir dalam memandang strategi perjuangan politik non-cooperation era 1930an. Gagasan untuk tidak menjalin kerjasama dengan penjajah yang lebih dipahami Hatta tidak secara terperinci dan tidak bisa digebuk rata ini digaungkan Soekarno dengan pemaknaan secara utuh dan gelondongan. Maka, perselisihan pun muncul tentang hukum perjuangan bagi bumiputera yang duduk di Tweede Kamer, alias majelis rendah parlemen bikameral Belanda. Pada ruang ini, Hatta menganggap bisa juga dijadikan sebagai salah satu jalan perjuangan.
“Paham ini aneh sekali! Bukan sikap dan cara berjuang lagi menjadi ukuran orang radikal atau tidak, non atau co, melainkan memboikot atau duduk di dalam parlemen,” tulis Hatta dalam Untukmu Negeriku (2): Berjuang dan Dibuang.
Di kalangan pergerakan, boleh jadi mereka berbeda. Namun di mata Pemerintah Kolonial Belanda, keduanya sama-sama dianggap berbahaya. Dua tahun berikutnya, mereka dipisahkan. Hatta diasingkan bersama Sutan Sjahrir ke Boven Digoel, Papua pada 1934. Sementara Soekarno setahun lebih dulu menjalani pengasingan di Ende, Flores.
Memasuki 1941, keduanya telah sama-sama pulang dari negeri buangan. Sepasang sahabat ini kembali bersatu. Mereka kompak untuk melupakan polemik yang lalu itu demi mulusnya jalan perjuangan menuju Indonesia merdeka.
“Kepada Etek Johor, Bung Karno menyampaikan pesan bahwa ia sudah datang dari Sumatera. Ia tidak mau bicara dengan siapa pun juga sebelum ia bertemu dan bicara dengan aku,” tulis Hatta dalam Untukmu Negeriku (3): Menuju Gerbang Kemerdekaan.
Setelah kembali seiring sejalan, benar juga, jalan kemerdekaan terbuka lebar. Kebulatan tekad rakyat dalam mendorong kemerdekaan, serta konflik global yang tengah menimpa Jepang berupa kekalahan dalam perang Pasifik, menjadikan kedua karib mampu tampil guna mengantarkan negerinya meraih kedaulatan, melalui pembacaan naskah proklamasi, tepatnya pada 17 Agustus 1945.
Bung Hatta terus setia mendampingi Soekarno dalam membangun negara yang mereka dan rakyat Indonesia cita-citakan sejak lama. Hanya saja, perbedaan karakter dan cara pandang itu kembali memunculkan pilihan untuk berpisah di kali kesekian. Pada 1 Desember 1956, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Pada awalnya, Bung Karno tak tinggal diam, atas sikap kawannya itu, ia mencoba merayu melalui Siti Rahmawati, istri tercinta Hatta.
“Namun Ibu saya mengatakan, Om, apa yang sudah menjadi keputusan Kak Hatta, itu sudah dianggapnya sebagai yang terbaik. Karena itu saya ikut saja dengan keputusan Kak Hatta,” tulis Meutia Farida Hatta dalam Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya.
Rumah bersama bagi “mereka”
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden dan bertekad membangun negeri dari luar lingkar pemerintahan, Bung Hatta menerima tawaran mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Selain karena kecintaannya terhadap buku dan pengetahuan, kesempatan itu diambil Bung Hatta demi memenuhi kebutuhan keluarganya yang saat itu hanya mengandalkan uang pensiunan.
“Meski sudah tidak lagi menjadi Wakil Presiden, tetapi sifat leader Ayah masih ada. Beliau tetap dianggap oleh banyak orang sebagai pemimpin. Ia mengayomi,” kata Halida.
Seusai Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, suhu politik di dalam negeri cenderung memanas. Tidak hanya Hatta, beberapa nama yang dulunya lebih dekat dengan Soekarno kini lebih memilih untuk menjaga jarak. Bahkan di sisi lain, Bung Karno pun banyak dikatakan mulai menyisihkan kawan-kawan yang sudah tak lagi seide-sepemikiran.
Satu dari sekian orang itu adalah Sutan Sjahrir. Ia dianggap ikut andil dalam percobaan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Sjahrir ditangkap Soekarno dan menjadi tahanan kota pada 1962. Sejak saat itulah, Sjahrir kerap menenangkan diri dengan mencurahkan segala keluh kesahnya kepada Bung Hatta.
“Termasuk ketika Pak Sjahrir datang pamit untuk berobat ke Zurich, bersama Ibu Sjahrir. Mereka berbicara kepada Ayah. Tapi saya tidak mengerti betul apa yang diobrolkan. Sebelum akhirnya beliau berangkat dan terdengar kabar beliau meninggal dunia di sana,” kata Halida.
Hal yang serupa juga dilakukan Prawoto Mangkusasmito, M Roem, Buya Hamka, dan banyak orang yang merasa perlu mencurahkan isi hatinya kepada Hatta; sebuah muara para pendiri bangsa.
Credit Metrotvnews.com