Guruh Soekarno Putra di depan poster Bung Karno, Jakarta. (MI/M Irfan).
Keduanya terbahak. Mereka tak sadar, dari arah belakang di atas teras, sang ayah sudah pasang muka cemberut. “Guruh!, Sukma!, kemarilah!” setengah teriak sosok yang oleh banyak orang masyhur disapa Bung Karno itu memanggil keduanya.
Inilah kejadian yang paling diingat Guruh Soekarnoputra, anak bungsu dari Sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno. Ia mengaku, dari sinilah keyakinannya muncul tentang seorang bapak dengan rasa cinta yang sempurna. Tidak hanya kepada rakyat, keluarga, manusia, bahkan kepada hewan sekalipun. “Apa alasanmu menceburkan kucing itu ke kolam?” tanya Soekarno.
“Tidak, Bapak, kami tidak bermaksud menyiksa. Kami hanya penasaran dan ingin tahu saja, apakah kucing bisa berenang?” jawab Guruh, sebagaimana ia ceritakan ulang kepada Telusur Metrotvnews.com di Jalan Sriwijaya Raya No. 26, Jakarta, Senin (15/8/2016) kemarin.
Guruh dan kakaknya, Soekmawati Soekarnoputri tertunduk diam. Setelahnya, Presiden Soekarno berpesan: “Kamu jangan menyakiti siapapun, apapun, segala makhluk ciptaan Tuhan. Apalagi manusia.”
Ajaran cinta dari Istana
Di atas podium, Bung Karno kerap dipandang garang. Di saat menyampaikan pesan dan gagasannya melalui orasi, orang-orang akan berdecak kagum dengan intonasinya yang teratur, juga suara tegas nan lantang yang menambah kewibawaan. Namun di sisi lain, di mata anak-anak dan keluarganya, Soekarno adalah orang yang lemah lembut. Dikasihinya keluarga dengan penuh kehangatan, tanpa amarah.
“Seumur hidup, saya belum pernah dimarahi bapak,” kata Guruh.
Cinta kasih Soekarno, kata Guruh, seiring sejalan dengan sosoknya yang memiliki tingkat spiritual yang tinggi. Jika sedang berhadapan dengan suatu persoalan yang dianggap berat, Soekarno tak turut memasang muka masam di depan anak-anaknya.
“Paling jika memang butuh ketenangan untuk membangun konsentrasi tinggi, Bung Karno menyendiri, semacam bertafakkur,” ujar dia.
Bung Karno dibilang jarang memberikan wejangan kepada keluarga dan anak-anaknya secara verbal. Lebih sering, pemimpin berjuluk Putra Sang Fajar itu memberikan teladan yang baik melalui tindakan.
Sebut contoh, ketika Guruh memasuki usia lima tahun, Bung Karno merombak sebuah gazibu tinggalan Belanda yang terletak di kebun antara Istana Negara dan Istana Merdeka menjadi tempat belajar anak-anak. Penyelenggaraan taman kanak-kanak (TK) di tempat yang pada masa kolonial menjadi lokasi favorit berpesta ini baru dipahami maksud dan tujuannya ketika Guruh mulai beranjak dewasa.
“Siapa yang sekolah? Itu dari berbagai golongan. Ada anak sopir, tukang kebun, pegawai Istana, sampai anak pejabat Setneg (sekretariat negara), juga beberapa dari anak petinggi jenderal dan menteri. Semuanya bercampur, termasuk saya. Bapak menanamkan sikap kesetaraan tanpa membeda-bedakan antar sesama manusia,” kata Guruh.
Jangan ada benci kala berbeda pandang
Indonesia telah resmi berdiri. Pengakuan kedaulatan dari negara-negara sahabat berduyun berdatangan. Perlahan tapi pasti, fungsi pemerintahan mulai dijalankan. Namun sebagaimana sebuah keyakinan bahwa Tuhan juga menguji bangsa yang luhur, perbedaan pandangan mulai terasa di antara para pendiri negeri, termasuk, ada sekelumit babak pertentangan antara Soekarno dan Mohammad Hatta.
Puncaknya, pada 1 Desember 1956 dua sahabat karib itu harus bersimpang jalan. Hatta memilih meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden. “Dengan mengundurkan diri, sebenarnya Hatta ingin memberikan kesempatan kepada Presiden Soekarno untuk membuktikan dirinya mampu membawa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur,” tulis Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi.
Ada beberapa sebab yang menjadikan dwitunggal itu berpisah. Di antaranya, Hatta tak setuju dengan gaya kepemimpinan sentralistik yang tengah dijalankan kawannya itu. Hatta menganggap, Soekarno tanpa sadar dengan sendirinya menjadi feodal dan otoriter.
Lain lagi anggapan Bung Karno. Sudah lama ia tak sepakat dengan gagasan Hatta yang ingin menghidupkan partai-partai politik. Sebenarnya kerenggangan ini bisa dirasakan ketika Hatta menabuh gong sistem multipartai dengan menandatangani Dekrit Wakil Presiden Nomor 10 Tahun 1945.
“Soekarno sebagai pemimpin bertipe Solidarity Maker, yang lebih mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai hal yang dicita-citakan,” tulis Peter.
Sementara Hatta, kata Peter, sebagaimana mengutip The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia karangan sarjana politik Australia Herbert Feith, adalah pemimpin bertipe Administrator. Yakni pemimpin yang lebih merujuk pada cara-cara yang rasional dalam upaya membangun bangsa.
“Tapi itu hanya bersilang pendapat dalam hal politik. Dalam sehari-harinya keluarga kami tetap dekat,” kata Guruh.
Guruh pun mengaku masih mengingat dengan jelas masa-masa itu. Tradisi bertukar penganan di pagi atau sore hari yang biasa dilakukan dua keluarga sejak lama ini masih terus berlangsung, tanpa terganggu sedikitpun. “Apalagi ibu (Fatmawati), tetap menjaga. Bertukar makanan, Ibu (Siti Rahmiati) Hatta kirim makanan apa, kita hadiahi makanan apa,” ujar Guruh.
Tak hanya dengan Hatta, Bung Karno pernah pula berseberangan dengan Jenderal Nasution. Usai Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, hubungan keduanya berjarak, bahkan memanas lantaran Nasution khawatir pembubaran Konstituante dan gagasan kembali kepada UUD 1945 akan mengembalikan pula sikap totaliter Soekarno.
Meski begitu, nyatanya, Guruh dan anak sulung Nasution, Hendrianti Saharah, tetap diperkenankan saling kunjung ke rumah untuk berlatih aneka tarian Nusantara, juga berangkat sekolah dan bermain bersama.
“Hal yang sama juga ketika Bapak berbeda pendapat dengan orang-orang dari PSI (Partai Sosialis Indonesia, pimpinan Sutan Sjahrir). Ibu tetap bersahabat dengan teman-temannya di sana, dan tentu Bapak tak melarangnya,” kata Guruh.
Menirukan apa yang pernah dikatakan Bung Karno, Guruh berucap, “Jangan benci seseorang secara pribadi hanya karena berbeda pandangan.”
Credit Metrotvnews.com