Pernyataan ini disampaikan setelah perang antara Azerbaijan dan separatis Nagorno-Karabakh dukungan Armenia telah memasuki hari ketiga dan menewaskan sejumlah tentara.
Azerbaijan dan Armenia yang keduanya bekas negara di bawah Uni Soviet, pernah terlibat perang memperebutkan wilayah itu pada awal 1990-an yang menewaskan ribuan orang dan ratusan ribu mengungsi.
Perang itu berakhir lewat gencatan senjata pada 1994 namun tidak pernah menghentikan kekerasan. Gencatan senjata itu terancam berantakan akibat pertempuran sengit tiga hari terakhir ini yang menewaskan beberapa orang dari kedua belah pihak.
Kendati dunia internasional menyeru Azerbaijan dan separatis Nagorno-Karabakh untuk mengakhiri kekerasan, pertempuran terus terjadi di wilayah pegunungan itu Senin.
Kementerian pertahanan Azerbaijan mengklaim tiga tentaranya tewas, sedangkan pemimpin separatis Nagorno-Karabakh mengaku beberapa anggota militernya gugur.
"Eskalasi lebih jauh dari aksi militer akan menciptakan konsekuensi yang tidak dapat diduga untuk mengarah kepada perang skala penuh," kata Presiden Armenia Serzh Sarksyan.
Kembalinya perang di daerah Azerbaijan namun berpenduduk mayoritas Armenia yang posisinya strategis di jalur pengiriman minyak dan gas itu juga bakal menyeret dua negara besar di kawasan ini, yakni Rusia dan Turki.
Rusia mendukung Armenia, sedangkan Turki mendukung Azerbaijan.
Nagorno-Karabakh adalah sebuah kantong daerah pegunungan dengan mayoritas penduduknya keturunan Armenian, namun berada di dalam wilayah Azerbaijan. Kekerasan di sini kerap meluber menjadi perang antara Azerbaijan yang mayoritas muslim melawan Armenia yang mayoritas kristen.
Ketegangan di wilayah ini bermula ketika Uni Soviet bubar. Dengan bantuan Armenia, separatis Nogorno-Karabakh angkat senjata melawan kekuasaan Azerbaijan.
Sampai gencatan senjata 1994, kaum separatis mengusir pasukan Azerbaijan keluar dari hampir seluruh sudut Nagorno-Karabakh, selain menguasai daerah-daerah di sekelilingnya, demikian Reuters.
Credit ANTARA News