Foto: REUTERS/Ammar Awad
Diberitakan kantor berita Turki, Anadolu News Agency, Knesset mengesahkan undang-undang yang juga menyatakan 'Yerusalem bersatu' sebagai Ibu Kota Israel, dan bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa resmi. Adapun bahasa Arab yang sebelumnya juga menjadi bahasa resmi, hanya diakui sebagai bahasa yang memiliki 'status khusus'.
Tamar Zandberg, ketua partai sayap kiri, Partai Meretz menggambarkan undang-undang itu sebagai 'memalukan'.
"Zionisme bukan lagi sebuah gerakan nasional, tapi nasionalisme yang dipaksakan yang mempermalukan minoritas dan memantabkan supremasi rasional," kata Zanberg.
Hal senada disampaikan pemimpin oposisi Israel lainnya, Isaac Herzog. "Sejarah akan menentukan apakah undang-undang tersebut akan menguntungkan Israel atau tidak," kata dia.
Mantan Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni menyatakan undang-undang tersebut hanya akan menguntungkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. "Netanyahu menginginkan hukum tersebut demi perjuangannya," kata Livni, anggota Persekutuan Zionis.
Partai Livni, partai oposisi terbesar dengan 24 kursi di Knesset telah menentang undang-undang tersebut selama tiga kali sidang pembahasan.
Netanyahu menyebut undang-undang tersebut sebagai 'momen yang menentukan bagi Zionisme dan Israel.'
Seusai sidang pleno pengesahan UU, anggota Knesset Arab Ahmad Tibi dan Ayeda Touma-Souliman meneriaki Netanyahu, "Anda meloloskan hukum apartheid, hukum yang rasis."
"Mengapa Anda takut pada bahasa Arab?" teriak Tibi seperti dilansir situs berita Israel, Haaretz. PM Netanyahu disebut membalas teriakan Tibi dengan mengatakan, "Beraninya kau berbicara seperti itu pada satu-satunya demokrasi di Timur Tengah?"
Sejumlah aktivis hak-hak minoritas Arab di Israel juga mengecam UU itu sebagai 'kolonial' dan 'menunjukkan elemen kunci apartheid.'
"Undang-undang itu menjamin karakter etnis-keagamaan Israel sebagai eksklusif Yahudi dan menguasai hak istimewa yang dinikmati warga Yahudi, di saat bersamaan melakukan diskriminasi terhadap warga Palestina dan melegitimasi pengecualian, rasisme dan ketimpangan sistemik," kata Adalah Legal Center for Arab Minority Rights dalam sebuah pernyataan.
Undang-undang baru Israel itu juga melanggar hukum internasional dengan 'memproklamirkan praktik apartheid, termasuk hukum sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan."
"Undang-undang baru secara konstitusional mengabadikan identitas Israel sebagai negara bagi bangsa Yahudi, meskipun terdapat 1,5 juta warga Palestina," kata pernyataan tersebut.
Undang-undang baru itu juga dikecam kelompok advokasi Yahudi di Amerika Serikat, American Jewish Committee. "Undang-undang itu membahayakan komitmen para pendiri Israel untuk membangun sebuah negara Yahudi yang demokratis," demikian pernyataan AJC seperti dilansir Anadolu.
Credit cnnindonesia.com