Referendum akan menentukan apakah
Thailand akan menerima konstitusi militer, dua tahun setelah kudeta oleh
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pada Mei 2014. (Reuters/Athit
Perawongmetha)
Referendum akan menentukan apakah Thailand akan menerima konstitusi militer, dua tahun setelah kudeta oleh Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pada Mei 2014.
“Secara keseluruhan, semuanya tenang,” kata Kolonel Winthai Suvaree, juru bicara pemerintah junta. “Jika sesuatu yang ilegal terjadi, pihak berwenang siap beraksi.”
Reuters melaporkan bahwa otoritas Thailand telah menangkap dan menahan puluhan aktivis dan politikus menjelang referendum, beberapa karena mencoba menyebarkan pamflet berisi seruan agar rakyat memilih “tidak”.
Sementara itu, militer menyatakan bahwa konstitusi baru akan mengantarkan negara itu ke politik yang stabil dan bersih, setelah lebih dari satu dekade mengalami perpecahan.
“Dari [informasi] intelijen yang diterima, tidak ada yang mengarah ke kekerasan di hari referendum,” kata Kolonel Peerawat Saengthong, juru bicara Komando Operasi Keamanan Internal—unit militer yang berurusan dengan keamanan nasional, Rabu (3/8).
Reuters melaporkan protes terkait referendum relatif kecil, dan itu pun dibungkam, terutama karena adanya Undang-Undang yang akan mengancam hukuman penjara hingga 10 tahun jika berkampanye soal referedum.
Kelompok oposisi, termasuk Front Persatuan untuk Demokrasi Melawan Diktator (UDD), yang dikenal dengan “kaos merah”, telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mengganggu jalannya referendum.
“Kami tak punya rencana aktivitas, namun akan memonitor pemilihan dengan seksama di rumah,” kata Thanawut Wichaidit, juru bicara UDD.
Pemerintah junta yang menamakan diri Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban, melarang kritik atas konstitusi. Pihak berwenang sendiri telah menahan dan mendakwa puluan orang yang melawan konstitusi, termasuk politikus dan aktivis mahasiswa.
Credit CNN Indonesia