Kisah hidup Mochtar diceritakan sejak awal dari kehidupan kedua orang tuanya, pasangan Taslim Kusumaatmadja seorang apoteker ternama asal Sukapura, Jawa Barat, dengan Sulmini Soerawisastra, seorang guru yang berasal dari Cirebon hingga perjalanan karir sebagai ahli hukum dan dosen di Universitas Padjadjaran di Bandung yang kemudian menjadi menteri dan diplomat ulung.
Perjalanan panjang karir Mochtar itu disusun dalam buku setebal 496 halaman oleh Nina Pane, salah seorang penulis Indonesia dengan meracik hasil wawancara dari para saksi hidup dan keluarga maupun daftar pustaka yang banyak merekam jejak sang tokoh.
Laiknya buku biografi, sanjungan bertebaran di halaman-halaman yang menampilkan kisah hidup maupun buah pikiran Mochtar, tetapi semua itu dapat dibuktikan dengan kenyataan yang juga dipaparkan dan diperkuat oleh testimoni pada saksi.
Profesor Dr Mochtar Kusumatadmadja adalah seorang konseptor utama dalam penetapan prinsip Indonesia sebagai suatu negara kepulauan, yang kemudian di ditetapkan dalam Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957.
Mochtar tekun memperjuangkan konsep Wawasan Nusantara itu sepanjang karirnya di pemerintahan hingga dunia internasional mengakuinya 25 tahun kemudian.
"Namanya diingat banyak orang sebagai ali hukum internasional, disiplin ilmu yang amat relevan dengan kondisi geografis kepulauan di Indonesia," tulis Jakob Oetama dalam kata sambutan di buku yang berjudul "Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusumaatmadja".
Ketika menjadi rektor Unpad pada 1972, Mochtar mencetuskan gagasan hukum lingkungan hidup bukan hanya tataran nasional melainkan internasional yang mendahului lahirnya gerakan pembangunan lingkungan hidup yang dikumandangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pendekatan yang dipakai mengacu pada hukum tradisional suku-suku bangsa di Indonesia yang sangat sadar dan arif mengatur tata lingkungan hidup (halaman 145).
Mochtar tetap bertugas menangani hukum laut ketika diangkat menjadi Menteri Kehakiman oleh Presiden Soeharto pada tahun 1974 hingga 1978 dan pada waktu itu ia menciptakan landasan Kontinen Indonesia dengan melalui perjuangan cukup berat untuk berunding dengan negara-negara tetangga dalam menetapkan garis batas landas kontinen.
Yuwono Sudarsono, sepupunya yang kemudian juga menjadi Menteri Pertahanan di bawah kabinet Susilo Bambang Yudhoyono menuturkan gaya Mochtar yang sesekali bercanda dapat mencairkan suasana, seperti ketika memberi wawancara kepada media Australia pada saat publik dan media Australia masih khawatir tentang ancaman militer Indonesia.
"Pak Mochtar dengan penuh canda bertukas Do I look dangerous?" ungkapan pada pertengahan 1980-an ini mencairkan suasana Australia-Indonesia (halaman 376).
Dalam buku yang terbagi menjadi delapan bagian itu Mochtar disorot kiprahnya sebagai seorang yang "jenius" sejak muda, meraih gelar doktor pada usia muda (33 tahun), seorang konseptor, pemikir, bapak pendidikan dan hukum, teknokrat juga pejuang hingga seorang diplomat yang memajukan kebudayaan dan suka memasak.
Adalah Mochtar Kusumaatmadja yang ketika itu menjadi Menlu, membentuk Yayasan Nusantara Jaya pada 1984 sebagai organisasi nirlaba yang mempromosikan kebudayaan Indonesia, disusul dengan membentuk Orkes Kamar Nusantara (1988) yang kemudian berganti menjadi Simfoni Nusantara.
Mochtar yang gemar memasak dan terkenal dengan masakan martabak telur dengan daging cincang ketika studi di Amerika Serikat, juga mengedepankan pentingnya diplomasi kuliner dan bermimpi masakan Indonesia dengan sentuhan khusus dapat terkenal seperti masakan bangsa-bangsa lain.
Armida Salsiah Alisyahbana, putrinya yang akrab disebut Sally mengatakan, "Ayah saya yang sering ke luar negeri sudah melihat, kuliner dari berbagai bangsa ada yang bisa mendunia, disajikan di berbagai kota di seluruh dunia. Kuliner Indonesia tidak kalah lezatnya tentu bisa diangkat ke tataran internasional. Tapi harus dikemas dulu, diperindah dan citarasanya diolah supaya agak sesuai dengan lidah asing."
Kesaksian Meyakinkan
Orang-orang di sekitar Mochtar juga memberikan penilaian, seperti Erika (Rike Basuki) yang menjadi sekretarisnya selama puluhan tahun menuturkan, "Pak Mochtar saya kenal dengan kebijaksanaan dan keadilannya, misalnya dalam melakukan rotasi yang bijaksana dan adil di antara para diplomat di Deplu, sebab ada tempat favorit dan tempat tidak favorit dan ini sangat sensitif. Saya banyak belajar tentang kehidupan dan kemanusian dari beliau dari cara beliau memimpin."
Soetandyo Wignjosoebroto, seorang sosiolog dalam buku Mochtar Kusumaatmadja dan Teori Hukum Pembangunan menulis khusus suatu subjudul berjudul "Roscoe Pound, Mochtar and Konsep Law as A Tool of Social Engineering" mengatakan bahwa Mochtar menyatakan dirinya sebagai eksponen "Sociologial Jurisprudence" di dan untuk Indonesia. Alasannya dipengaruhi oleh bacaan buku-buku Roscoe Pound semasa kuliah di Amerika.
Dalam posisi sebagai Menlu, kepiawaian Mochtar sebagai diplomat antara lain diuji dalam menangani masalah integrasi Timor Timur yang didasari oleh Deklarasi Balibo pada November 1975 dan diperjuangkan dalam berbagai sidang internasional.
"Keberhasilan Menlu Mochtar juga perlu dicatat adalah dalam upaya menghadapi sandungan politik luar negeri RI yaitu masalah Timor Timur, karena upaya Portugal dan orang Timor Timur yang antiintegrasi di luar negeri. Indonesia mendapat hujatan di PBB dan berbagai forum internasional," kata Nugroho Wisnumurti, seorang pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri saat itu.
Buku yang diterbitkan oleh penerbit Kompas, Februari 2015 dengan sampul lukisan diri sang tokoh karya Basuki Abdullah (1983), berisi banyak catatan sejarah yang bisa menjadi referensi bagi pembaca.
Dalam catatan Sekapur Sirih buku ini, Sarwono Kusumaatmadja, adik Mochtar yang kelak menyusul tiga kali menjadi menjadi menteri yaitu sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Pembangunan V, Menteri Lingungan Hidup pada Kabinte Pembanguan VI dan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) mengatakan bahwa rencana menerbitkan biografi atau memoar ini sudah ada lebih dari 10 tahun lalu, namun belum segera terwujud karena sulit meyakinkan Mochtar yang menganggap cerita seperti ini akan merupakan pembenaran semata-mata.
Pria yang lahir di Jakarta pada 17 April 1929 dan menikah dengan Siti Hadidjah ini memiliki putra-putri yaitu Emir Kusumaatmadja, Armida Alisyahbana yang juga pernah menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas pada Kabinet Indonesia Bersatu II, serta putra bungsu Askari Kusumaatmadja.
Buku yang penuh informasi ini sayangnya tidak menyediakan halaman khusus berisi biografi singkat sosok Mochtar, meskipun secara melompat-lompat pembaca bisa mendapatkan informasi seutuhnya.
Sosok putra bungsunya, Askari nyaris sulit dilacak, tertulis di bagian-bagian belakang, sementara hanya dua nama kakaknya muncul sejak awal.
Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusumaatmadja telah mengungkapkan semua sepak terjangnya untuk Indonesia dan menurut wartawan kawakan Jacob Oetama, niscaya buku ini menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya khususnya generasi muda.
Credit ANTARA News