CB - Setiap kali memberikan pidato, BJ Habibie memang selalu mengungkapkan hal yang intinya sama dan memakan waktu lama.
Orang yang mendengarkannya boleh saja bosan. Namun, di negeri di mana ilmu pengetahuan dan teknologi belum menjadi perhatian, pidatonya tetap bermakna dan memberi motivasi.
Seperti ketika memberikan pidato di pertemuan Dewan Riset Nasional (DRN) di Solo pada Selasa (9/8/2016), presiden ketiga Republik Indonesia itu mengingatkan kembali tentang pentingnya penguasaan teknologi.
Dalam ceramahnya yang berapi-api dan berlangsung sekitar 45 menit, Habibie mengingatkan kembali bahwa Indonesia takkan bisa hidup tanpa penguasaan teknologi.
"Dapatkah anda bayangkan ekonomi Indonesia tanpa satelit dan pesawat terbang? Mungkin tidak? Itu impossible," katanya.
"Bagaimana kita akan membayar kebutuhan kita? Dengan sumber daya alam saja? Tidak bisa. Minyak? Tidak bisa. Kelapa sawit? Apalagi. Tidak bisa," imbuhnya.
"Satu-satunya cara adalah dengan jam kerja. Dengan otak dan keringat kita sendiri," tegas pria yang kerap dijuluki Bapak Teknologi Indonesia itu.
Memberikan ilustrasi, Habibie mengungkap hitung-hitungan kasarnya tentang bagaimana teknologi mampu menunjang ekonomi.
"Kalau saya bisa produksi N 250 atau R 80 tiap hari, maka seluruh produksi beras, tanpa gangguan hama wereng, tanpa gangguan musim kemarau, dan saya bisa deliver 1 pesawat tiap hari, saya hanya butuh 170 hari," jelasnya.
Maksud Habibie, ia hanya membutuhkan 170 hari untuk mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan nasional, setara dengan uang yang dihasilkan dari sektor pertanian selama ini.
Bukan berarti Habibie menomorduakan pertanian, ia hanya mengungkapkan bahwa teknologi - pesawat misalnya - bukan hanya soal gengsi tetapi juga soal memajukan ekonomi.
Habibie meminta agar Indonesia terus fokus mepada ilmu pengetahuan dan teknologi, diantaranya dengan cara menyusun undang-undang yang mendukung serta memperkuat lembaga-lembaga pelaksana kegiatan riset.
Ia secara khusus meminta agar organisasi seperti DRN yang semula hanya beranggotakan 20 orang tetap bertahan, jangan sampai bubar atau dibubarkan.
Ia juga menegaskan pentingnya undang-undang. Habibie mengakui bahwa Orde Baru memberikan kesempatan baginya untuk mengembangkan teknologi. Namun, Orde Baru lupa membuat aturan pendukung.
"Pak Harto bilang, silakan kamu bikin apa saja, Habibie. Dia memberi saya semuanya. Tapi lupa soal Undang-undangnya," katanya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir, mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menciptakan situasi yang mendukung perkembangan iptek.
"Baru saja kita selesaikan tentang masalah paten. Dulu royalti hanya diberikan pada organisasi. Sekarang, royalti dari paten dibagi 40/60 untuk peneliti," katanya.
"Saya juga tengah mendorong revisi Perpres 54 tahun 2010. Saya harap ada aturan tentang pengadaan barang dan jasa untuk penelitian," imbuhnya.
Ia juga berharap masalah inovasi juga masuk dalam beragam aturan perundangan. "Kita harapkan ada UU juga soal inovasi," katanya.
Orang yang mendengarkannya boleh saja bosan. Namun, di negeri di mana ilmu pengetahuan dan teknologi belum menjadi perhatian, pidatonya tetap bermakna dan memberi motivasi.
Seperti ketika memberikan pidato di pertemuan Dewan Riset Nasional (DRN) di Solo pada Selasa (9/8/2016), presiden ketiga Republik Indonesia itu mengingatkan kembali tentang pentingnya penguasaan teknologi.
Dalam ceramahnya yang berapi-api dan berlangsung sekitar 45 menit, Habibie mengingatkan kembali bahwa Indonesia takkan bisa hidup tanpa penguasaan teknologi.
"Dapatkah anda bayangkan ekonomi Indonesia tanpa satelit dan pesawat terbang? Mungkin tidak? Itu impossible," katanya.
"Bagaimana kita akan membayar kebutuhan kita? Dengan sumber daya alam saja? Tidak bisa. Minyak? Tidak bisa. Kelapa sawit? Apalagi. Tidak bisa," imbuhnya.
"Satu-satunya cara adalah dengan jam kerja. Dengan otak dan keringat kita sendiri," tegas pria yang kerap dijuluki Bapak Teknologi Indonesia itu.
Memberikan ilustrasi, Habibie mengungkap hitung-hitungan kasarnya tentang bagaimana teknologi mampu menunjang ekonomi.
"Kalau saya bisa produksi N 250 atau R 80 tiap hari, maka seluruh produksi beras, tanpa gangguan hama wereng, tanpa gangguan musim kemarau, dan saya bisa deliver 1 pesawat tiap hari, saya hanya butuh 170 hari," jelasnya.
Maksud Habibie, ia hanya membutuhkan 170 hari untuk mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan nasional, setara dengan uang yang dihasilkan dari sektor pertanian selama ini.
Bukan berarti Habibie menomorduakan pertanian, ia hanya mengungkapkan bahwa teknologi - pesawat misalnya - bukan hanya soal gengsi tetapi juga soal memajukan ekonomi.
Habibie meminta agar Indonesia terus fokus mepada ilmu pengetahuan dan teknologi, diantaranya dengan cara menyusun undang-undang yang mendukung serta memperkuat lembaga-lembaga pelaksana kegiatan riset.
Ia secara khusus meminta agar organisasi seperti DRN yang semula hanya beranggotakan 20 orang tetap bertahan, jangan sampai bubar atau dibubarkan.
Ia juga menegaskan pentingnya undang-undang. Habibie mengakui bahwa Orde Baru memberikan kesempatan baginya untuk mengembangkan teknologi. Namun, Orde Baru lupa membuat aturan pendukung.
"Pak Harto bilang, silakan kamu bikin apa saja, Habibie. Dia memberi saya semuanya. Tapi lupa soal Undang-undangnya," katanya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir, mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menciptakan situasi yang mendukung perkembangan iptek.
"Baru saja kita selesaikan tentang masalah paten. Dulu royalti hanya diberikan pada organisasi. Sekarang, royalti dari paten dibagi 40/60 untuk peneliti," katanya.
"Saya juga tengah mendorong revisi Perpres 54 tahun 2010. Saya harap ada aturan tentang pengadaan barang dan jasa untuk penelitian," imbuhnya.
Ia juga berharap masalah inovasi juga masuk dalam beragam aturan perundangan. "Kita harapkan ada UU juga soal inovasi," katanya.
Credit KOMPAS.com