Jumat, 20 November 2015

Umat Muslim AS Berjuang Hadapi Islamofobia Pascateror Paris


Umat Muslim AS Berjuang Hadapi Islamofobia Pascateror Paris  
Gedung Balai Kota San Fransisco disinari lampu berwarna bendera Perancis usai serangan 13 November lalu. (Reuters/Stephen Lam)
 
 
Jakarta, CB -- Kebencian publik akan tragedi pengeboman dan penembakan di Paris, Perancis pada Jumat (13/11) memang tak terelakkan. Namun, reaksi yang beredar tetap saja membuat kaget. Kata-kata hujatan kian menjamur di media sosial, berbalut xenofobia.

Tetapi ketika sebagian orang menuding Islam sebagai dalang tragedi itu, sebagian lainnya justru menunjukkan kasih sayang, pengertian, dan cinta.

Bagi Muslim di Amerika Serikat, baik warga negara maupun bukan, reaksi-reaksi yang muncul itu tidaklah mengejutkan. Mereka telah mencecapnya sejak peristiwa 11 September 2001 dan seterusnya, kapanpun seseorang berbuat keji atas nama keyakinan.

"Orang merasa takut, gempar, dan tersakiti, namun tahukah Anda apa yang paling terasa? Gelombang patriotisme," anggota kongres Keith Ellison berujar kepada CNN, dilansir pada Kamis (19/11). Ellison adalah Muslim pertama yang terpilih masuk Kongres, sekaligus satu di antara dua anggota di Capitol.

"Rasanya seperti, 'Tunggu dulu, saya pun orang Amerika. Ini juga negara saya. Saya rela berjuang dan mati untuknya, dan saya tidak akan membiarkan ISIS mengacaukan Muslim di seluruh dunia."

Aksi kekerasan

Kebencian itu bermula selang beberapa jam usai tragedi Paris, dan terus bergulir.

Di Meriden, Connecticut, sebuah masjid ditembak. Sementara di Nebraska, seseorang melempar batu lewat pintu ke dalam masjid di Omaha.

Bahkan, jamaah di Pflugerville, Texas, menemukan pintu depan masjidnya berlumur tinja. Robekan kertas berisi ayat al-Quran turut berserakan di lantai.


Tetapi itu semua tak berhenti di masjid.

Seorang pengemudi taksi di Carolina Utara mengaku diserang oleh penumpang karena mengira dirinya seorang Muslim.

"Dia bertanya apakah saya Muslim. Saya bilang, bukan," Sang sopir, Wamson Woldemichael mengisahkan. "Dia menyerang saat saya sedang menyetir."

Woldemichael mengatakan bahwa ia seorang Kristen. Ia menginjak tanah Paman Sam delapan tahun lalu dari Ethiopia.

Pandangan miring terhadap segala yang berbau Islam juga tercermin saat empat orang yang diduga keturunan Timur Tengah diturunkan dari penerbangan menuju Chicago di Bandara Internasional Washington, usai dilaporkan berperilaku mencurigakan. Namun keempatnya ditemukan tak bermasalah dan dibebaskan oleh pihak berwenang.

Anti-Muslim

Rasa benci itu tak kunjung mereda.

Di Florida, sebuah pesan antiagama tertuju pada Komunitas Islam St. Petersburg dan Pinellas County.

"Kami lelah dengan kalian. Kami punya pasukan untuk mengebom dan menembak kalian di kepala," tulis pesan tersebut.

Hassan Shibly dari Dewan Hubungan Amerika-Islam menyebut perbuatan macam itu "sebuah bentuk terorisme".

"Itu bukan Amerika. Itu menjijikan dan ngeri," katanya berpendapat.

"Kami tidak bisa membiarkan musuh di luar sana memecah kami di rumah kami sendiri. Tidak ada ruang bagi ucapan jahat seperti itu di masyarakat kami."

Menurut Laporan Statistik Kekerasan Kebencian dari FBI, kekerasan terhadap umat Muslim naik 14 persen tahun lalu. Peningkatan itu terjadi justru ketika angka kekerasan kebencian di Amerika Serikat menurun secara keseluruhan.

Cinta

Namun keadaan tidak sesuram itu. Sebab di tengah kecurigaan seperti saat ini, masih tersisa rasa peduli dan pengertian.

Di masjid Texas yang berlumur tinja, bocah 7 tahun Jack Swanson merasa begitu sedih dengan apa yang dilihatnya hingga menyumbangkan US$20 (sekitar Rp275 ribu) dari celengannya sendiri.

"Walau hanya 20 dolar, ini datang dari tabungan Jack. Ini berharga 20 juta dolar bagi kami dan umat Muslim," ujar Faisal Naeem, seorang anggota dewan masjid.

Sementara di universitas negeri Florida, para mahasiswa Muslim menyerahkan 150 kantong permen, yang saling tersambung dengan ayat al-Quran.

"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia,” bunyi ayat yang diambil dari surat al-Maidah ayat 32.

Dan di dunia maya, kampanye tagar #NotInMyName kian meluas demi melawan Islamofobia di tanah Barat.

"Saya tidak melihat Muslim pada ISIS. Saya lihat teroris pada mereka," kata Philistine Ayad, seorang feminis Muslim. "Bagi saya, teror tidak mengenal agama. Mereka memilih-milih hal dalam agama, memutarbalikkan, dan membelokkannya untuk membenarkan perbuatan mereka yang tidak benar."

Ayad menandaskan, "Jika kampanye #NotInMyName bisa membantu menghapuskan Islamofobia dan menghapuskan ketakutan saya... itu patut disyukuri."

Credit  CNN Indonesia