Jumat, 16 Oktober 2015

Presiden Perancis: Serangan Rusia Tak Akan Selamatkan Assad


Presiden Perancis: Serangan Rusia Tak Akan Selamatkan Assad Presiden Perancis, Francois Hollande menilai intervensi militer Rusia di Suriah tidak akan menyelamatkan Presiden Bashar al-Assad dari desakan untuk mundur. (Reuters/Francois Lenoir)
 
Jakarta, CB -- Presiden Perancis, Francois Hollande, pada Jumat (16/10) menyatakan bahwa intervensi militer Rusia di Suriah tidak akan menyelamatkan Presiden Bashar al-Assad dari desakan publik internasional untuk mundur.

Dalam pertemuan dengan para pemimpin Uni Eropa di Brussels, Hollande menyerukan transisi politik untuk pemimpin baru di Suriah, agar perang saudara yang telah berlangsung selama empat tahun di Suriah dapat berakhir.


"Sangat jelas bahwa Bashar tidak bisa dapat menjanjikan masa depan (di Suriah). Transisi politik harus secepatnya dilakukan," kata Hollande, dikutip dari Al-Arabiya, Jumat (16/10).

"Intervensi Rusia dari sudut pandang ini dapat memperkuat rezim tetapi tidak akan menyelamatkan Bashar," kata Hollande menambahkan.

Sementara, pada Kamis (15/10), Rusia menyebutkan serangan udara yang diluncurkan ke Suriah akan dikurangi, karena pasukan militer Suriah yang setia dengan Assad tengah memperluas serangan melawan kelompok pemberontak.

Serangan terbaru Rusia menargetkan sejumlah wilayah, termasuk Damaskus, Idlib, Hama, Deir Ezzor, dan provinsi Aleppo.

Kremlin menyatakan bahwa tujuan serangan udara yang diluncurkan Rusia di Suriah sejak 30 September tersebut merupakan upaya membantu pasukan Assad yang terkepung saat memerangi kelompok militan ISIS.

Meski demikian, Amerika Serikat menilai Rusia menargetkan kelompok pemberontak yang didukung AS untuk menentang Assad.

Ikut sertanya Rusia dalam konflik di Suriah menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kemungkinan konfrontasi dengan koalisi serangan udara internasional pimpinan AS yang memulai serangan udara melawan di Suriah dan Irak lebih dari setahun yang lalu.

Lebih dari 245 ribu orang tewas di Suriah sejak pertempuran pecah pada Maret 2011. Kini, lebih dari empat juta warga meninggalkan negara mereka untuk mencari kehidupan yang lebih baik, sebagian besar bermigrasi ke Eropa.


Credit  CNN Indonesia